Jakarta, 14 Juli 2025 - Mahkamah Konstitusi menggelar persidangan perkara pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pada persidangan ini Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mendapat kesempatan untuk menghadirkan ahli dan saksi untuk didengar keterangannya dalam persidangan oleh Mahkamah. Pada kesempatan ini Koalisi menghadirkan Fajri Nursyamsi selaku ahli dan Andrie Yunus selaku saksi.
Terbukti pasca protes ruang partisipasi justru semakin restriktif terhadap publik. Pada persidangan hari ini terungkap fakta bahwa pasca aksi protes yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, saksi Andrie Yunus mendapatkan berbagai teror, intimidasi baik secara fisik dan digital. Bahkan dalam keterangannya saksi mengungkapkan banyak teror digital yang teridentifikasi dengan kontak “Forkabin”, “Den Intel Dam Jaya” hingga “Cakra 45” dll.
Selain itu, alih-alih ruang partisipasi tersebut dibuka justru pembahasan di Hotel Fairmont langsung dijaga oleh Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI. Hal ini mengindikasikan pemerintah memang tidak memiliki itikad baik untuk menjalankan partisipasi publik terhadap proses pembahasan revisi UU TNI. Lebih lanjut, dokumen resmi legislasi seperti Naskah Akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hingga draft rancangan undang–undang tidak pernah didapatkan serta diakses publik hingga akhirnya disahkan pada 20 Maret 2025.
Tanpa transparansi, partisipasi tidak mungkin terjadi. Ahli Fajri Nursyamsi menyampaikan poin penting terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurutnya tanpa transparansi maka partisipasi tidak mungkin terjadi. Selama ini PSHK juga turut memantau proses pembahasan Revisi UU TNI, pemantauan tersebut menunjukkan tidak ada dokumen baik naskah akademik maupun draf undang-undang yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Oleh karenanya, tanpa dokumen maka mustahil masyarakat bisa memberikan masukan terhadap substansi perubahan. Di satu sisi, ia juga menerangkan kelemahan tata tertib DPR yang hanya memuat hak mengenai informasi publik kepada publik tanpa diikuti dengan kewajiban dan konsekuensi apabila DPR tidak membuka dokumen dan menjadikan prosesnya akuntabel. Sehingga, ia juga menjelaskan bahwa Mahkamah perlu memberikan rambu-rambu berkaitan ini.
Terungkap DPR tidak serius dalam persidangan JR Formil UU TNI. Fakta lainnya yang terungkap adalah, Mahkamah sejak Mei 2025 telah mengirimkan pemberitahuan salinan permohonan kepada DPR dan Pemerintah namun, sejak persidangan dimulai Tim Advokasi mencatat DPR tidak pernah hadir dalam setiap pemeriksaan. Baru pada 14 Juli 2025 hari ini DPR hadir ketika dimana DPR mendapatkan kesempatan mengajukan ahli. Bahkan agenda sidang hari ini mendengarkan keterangan ahli juga ditunda, karena DPR baru mengirimkan dokumen administrasi dan keterangan ahli kurang dari 2 (dua) hari kerja yang menyalahi Peraturan MK.
Kami menilai DPR tidak memiliki keseriusan dalam mengikuti sidang uji formil ini. Dalam persidangan hari ini, terbuka fakta bahwa DPR selama ini tidak pernah menunjuk kuasanya untuk hadir dalam persidangan. Tidak hanya itu, DPR juga belum menyerahkan dokumen penting yang berkaitan Revisi UU TNI. Padahal dokumen-dokumen tersebut telah diminta sejak awal persidangan oleh majelis hakim. Jangan salahkan apabila publik beranggapan bahwa ketidakseriusan dalam memenuhi perintah majelis hakim tersebut sejatinya juga menunjukkan bahwa DPR meremehkan sidang dan Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat.
Dalam persidangan hari ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra kembali mengingatkan dan meminta kepada DPR untuk menyerahkan dokumen berupa risalah pembahasan Revisi UU TNI. Hal ini diminta oleh Saldi Isra karena selama persidangan terdapat ketidakjelasan tentang jumlah pasal yang diubah selama proses Revisi UU TNI. “Ada yang mengatakan 3 (tiga) pasal, ada yang mengatakan 7 (tujuh) pasal. Tolong DPR tunjukkan berkas-berkas pembahasan perubahan dalam rapat-rapat yang dilakukan.”
Senada dengan Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arsul Sani juga meminta kepada DPR untuk secara tegas menjelaskan tentang status dari UU No. 3 Tahun 2025. “Apakah UU TNI adalah kumulatif terbuka atau carry over? Kami butuh penegasan soal ini”, tanya Arsul Sani . Kejelasan tentang status UU 3 Tahun 2025 menjadi penting karena UU TNI tidak pernah tercantum dalam Dokumen Prolegnas Prioritas 2025 dan dipaksakan untuk masuk pasca Surat Presiden pada Maret 2025.
Dari berbagai fakta dan keterangan yang terungkap pada persidangan tersebut maka telah jelas dan terang bahwa proses pembahasan perubahan UU TNI memang bermasalah sejak awal dan tidak memenuhi prinsip dan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tim Advokasi berharap majelis hakim dapat melihat secara seksama berbagai fakta yang terungkap dan mempertimbangkan dalam putusan nantinya.
Jakarta, 15 Juli 2025
Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Narahubung:
Fadhil Alfathan Nazwar (LBH Jakarta)
Gina Sabrina (PBHI)
Riyadh Putuhena (Imparsial)
Muhammad Yahya Ihyaroza (KontraS)

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan