TINDAKAN REPRESIF TAK BISA HENTIKAN KEKERASAN

Semarang, Kompas
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Munir menegaskan, tindakan represif tidak bisa menghentikan berbagai problem yang terjadi di Indonesia. Kekerasan hanya bisa diatasi dengan birokrasi yang kuat, didukung pemerintah yang mempunyai struktur komando dan kepercayaan dari rakyat.

"Eksperimen tindakan represif di Ambon juga gagal, terbukti kerusuhan di Ambon masih berlangsung hingga saat ini," kata Munir kepada wartawan di Semarang, Senin (15/2), seusai Seminar Budaya Kekerasan Sosial. Tampil sebagai pembicara dari Universitas Diponegoro (Undip) Satjipto Rahardjo, Darmanto Jatman, Satoto, serta Eko Budihardjo.

Selain itu, kata Munir, perlu dibangun komunikasi sosial yang menghidupkan fungsi kelembagaan sosial dan mempertemukan pandangan yang berbeda serta membangun posisi tawar-menawar sampai ke tingkat bawah. "Perlu ada kesepakatan formal di antara mereka yang memiliki basis sosial yang jelas. Ini yang penting, karena sekarang tidak ada organisasi yang mempunyai kekuatan sampai ke bawah. Implikasi massa mengambang masih menjadi problem besar di Indonesia, sehingga kalau terjadi kerusuhan tidak jelas organisasinya," katanya.

Oleh karena itu, Munir menilai untuk membangun basis masyarakat yang jelas perlu adanya ruang politik bagi masyarakat sehingga ada pengendalinya. Apalagi memasuki arena pemilu, pertikaian akan semakin rumit apabila tidak ada struktur sosial yang jelas.

Kerusuhan yang terjadi saat ini, menurut Munir, tidak semata-mata karena peran provokator, tetapi juga ada kerusuhan riil karena ledakan ketidakpuasan politik dari masyarakat. "Jika pakai teori dalang, semua kerusuhan akan dianggap ada dalangnya. Seolah-olah kita tidak ada masalah, yang bermasalah cuma provokatornya. Itu politik cuci tangan, tidak bisa begitu," tandasnya.

Munir mengibaratkan keadaan Indonesia bagaikan rumput kering yang terhampar di semua tempat, yang bisa dengan mudah terbakar di mana saja. "Seperti catatan saya tahun 1998 ada 250 kerusuhan yang terjadi di Indonesia, apa pun bisa membuat Indonesia rusuh," tambahnya.
       
Frustrasi
Sementara Satjipto Rahardjo menilai, kekerasan ada dua kategori yakni kekerasan eksternal dan ekpresif. Kekerasan eksternal sasarannya memperoleh materi, sedangkan ekspresif hanya ingin meluapkan dorongan jiwa. Diperkirakan, kekerasan yang dilakukan sekarang adalah tipe ekspresif, ini terkait dengan kondisi jiwa yang frustrasi.

Menurut Satjipto, sangat rasional sekali kalau seseorang menjadi frustrasi, karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), kesulitan mencari pekerjaan, dan sebagainya.

"Pengikut Orde Baru juga bisa frustrasi, karena ia mengira telah melakukan pekerjaan yang benar dengan mengabdi kepada pemerintah Orba dan ternyata merupakan rezim yang banyak digugat," katanya.

Percaturan politik, seperti demokrasi telah menjadi medan peperangan di mana taruhannya menang atau kalah. Implikasi dari peperangan seperti itulah, Menurut Satjipto, menjadikan orang tidak bisa menerima kekalahan.

"Kita sadar bahwa masih banyak yang salah dalam pendidikan, kita mesti belajar berdemokrasi karena tidak benar bahwa kita sudah lama menjadi bangsa yang demokratis," tandasnya. (son)