Dari KKB kembali ke OPM: Konsekuensi Buruk Terhadap Penanganan Konflik dan Situasi Kemanusiaan di Papua

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi dan sepihak mengubah terminologi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penetapan ini diberlakukan seiring dengan terbitnya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024. Surat tersebut berisikan bahwa Panglima TNI memerintahkan kepada Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari untuk menggunakan kembali sebutan OPM.[1]

Berdasarkan keterangan pers yang disampaikan oleh Panglima TNI, perubahan nomenklatur menjadi OPM didasarkan pada sikap kelompok bersenjata di Papua yang menamakan dirinya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang mana ditafsirkan sama halnya dengan OPM. Sementara itu, lewat Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI,  istilah OPM dikarenakan riwayat kekerasan yang telah dilakukan kelompok tersebut di Bumi Cenderawasih sehingga perubahan nama tersebut merupakan bentuk komitmen pimpinan TNI dalam melindungi prajurit di lapangan.[2]

Kami menilai bahwa langkah berupa perubahan nama ini tentu saja akan memiliki sejumlah konsekuensi baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perubahan ini pun secara langsung mengakui aktivitas perjuangan kemerdekaan yang selama ini dilakukan oleh OPM. Di luar itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selaku organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian besar pada situasi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua memiliki beberapa pandangan berkaitan dengan langkah Panglima TNI tersebut. Adapun catatan kami sebagai berikut.

Pertama, perubahan nama KKB menjadi organisasi separatis berpotensi menyebabkan dominasi peran militer dalam menangani situasi konflik di Papua. Hal ini bahkan ditegaskan langsung oleh Kapuspen TNI yang menyebut agar prajurit di lapangan untuk tidak ragu-ragu lagi untuk menindak tegas anggota OPM.[3] Militer memang diperkenankan untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan demikian pendekatan yang dibangun akan bergeser dari pendekatan yang berbasis penegakan hukum menjadi penggunaan kekuatan militer. Hal tersebut pun berkonsekuensi bahwa militer akan dikerahkan dengan skala yang lebih besar menuju daerah-daerah pos konflik di Papua. Hal ini sekaligus menandakan bahwa TNI akan melakukan penggunaan kekuatan militer yang besar dalam menghadapi kelompok bersenjata. Padahal cara-cara berbasis militerisme semacam ini terbukti tidak efektif dan berimbas signifikan terhadap perbaikan situasi kemanusiaan di Papua. Peran militer dalam berbagai kesempatan bahkan menimbulkan pelanggaran HAM seperti halnya extra-judicial killing, penyiksaan hingga penghilangan paksa (enforced disappearance).

Kedua, perubahan nomenklatur ini berpotensi meningkatkan intensitas kontak tembak antara aparat TNI-Polri dan TPNPB dan tak menutup kemungkinan menyasar juga pada warga sipil. Kekhawatiran ini cukup beralasan, sebab pendekatan yang dilakukan akan memusatkan militer menjadi garda terdepan yang bergesekan langsung dengan kelompok bersenjata di Papua. Selama ini, konflik bersenjata di Papua bukan saja menimbulkan korban dari pihak yang berkonflik, melainkan juga dari warga sipil. Kami mencatat dalam medio tiga bulan terakhir saja yakni Januari hingga Maret 2024, setidaknya terdapat 8 warga sipil yang menjadi korban dari kekerasan dan kontak tembak di Papua. Terbaru, dua anak kembali menjadi korban tembak di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah.[4] Kejadian ini bukan kali pertama, pada Oktober 2021 lalu, dua anak yakni Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mazau (6 tahun) juga menjadi korban tembak di Intan Jaya.[5] Sayangnya, belum ada pelaku yang berhasil diproses dan diberikan sanksi atas tertembaknya dua anak tersebut. Perubahan yang dilakukan oleh Panglima TNI juga tidak diiringi dengan jaminan perlindungan warga sipil dari aktivitas kontak tembak yang berpotensi makin intens terjadi. Merujuk pada prinsip hukum humaniter internasional, pada Non-international armed conflicts atau konflik bersenjata non-internasional, warga sipil harus betul-betul dijamin haknya untuk terhindar dari aktivitas bersenjata.

Ketiga, penetapan bergantinya KKB menjadi OPM secara sepihak oleh Panglima TNI merupakan tindakan sewenang-wenang. Lewat pemantauan media, sejauh ini kami tidak menemukan peraturan perundang-undangan yang dirujuk oleh Panglima TNI dalam melakukan perubahan nama tersebut. Panglima TNI seharusnya tidak secara gegabah dalam mengambil langkah ini, sebab perubahan nama dalam suatu operasi harus melibatkan berbagai unsur kelembagaan dan dilakukan berbasis pada akuntabilitas publik. Hal tersebut misalnya diatur dalam Pasal 5 UU TNI yang menyebut bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya harus menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Lebih lanjut, kebijakan dan keputusan politik negara yang dimaksud yakni kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[6] Penetapan oleh Panglima TNI berkaitan dengan OPM tentu belum melalui prosedur perundang-undangan tersebut sehingga dapat dikatakan langkah ini cacat secara hukum.

Keempat, penyematan nama OPM menegaskan pendekatan berbasis stigmatisasi dan berbahaya bagi kebebasan sipil. Selama bertahun-tahun, pemerintah terus melanjutkan stigmatisasi terhadap kelompok pro-kemerdekaan di Papua. Selain KKB, pemerintah juga pernah mengubah nama kelompok bersenjata dengan sebutan Kelompok Separatis Teroris (KST). Cara-cara stigmatisasi semacam ini terbukti tidak efektif dan menarik simpati masyarakat Papua maupun internasional. Langkah ini lagi-lagi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia belum menyentuh akar masalah dalam mencari jalan keluar penanganan konflik di Papua. Lebih jauh, stigma OPM ini juga dapat berimplikasi negatif terhadap pihak-pihak yang melakukan penyampaian pendapat secara damai. Sehingga perubahan nomenklatur KKB menjadi OPM pun dapat memperburuk situasi kebebasan sipil di Papua. Pembatasan dengan eksesif akan dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang kritis menyampaikan ekspresinya. Selain itu, mereka yang memiliki pandangan berbeda akan makin mudah distigma sebagai separatis dan ‘halal’ untuk diberangus.

Kelima, ketidakjelasan operasi dapat memantik rivalitas TNI dan Polri dalam penanganan konflik di Papua. Ditetapkannya nama OPM oleh Panglima TNI sebetulnya terlihat tidak terkoordinasi dengan baik, utamanya dengan Polri. Hal tersebut terlihat posisi terakhir Polri yang masih menggunakan terminologi kelompok kriminal bersenjata.[7] Hal ini sekaligus menunjukan bahwa selama ini status operasi di Papua tidak kunjung mengalami kejelasan. Fenomena ini pun terlihat semacam perebutan klaim entitas mana yang paling bertanggung jawab dalam mengatasi konflik di Papua. Polri selalu menggunakan nama KKB karena beralasan mengedepankan pendekatan penegakan hukum (law enforcement) dengan basis criminal justice system. Sementara itu, maksud TNI menetapkan nama OPM tentu saja bermaksud untuk memimpin operasi dengan alasan tujuan menumpas kelompok separatis bersenjata. Perbedaan ini bukan saja menimbulkan kebingungan, melainkan mempertebal anggapan mengenai rivalitas antara kedua institusi keamanan tersebut. Kami mengkhawatirkan bahwa rivalitas ini justru akan berimplikasi pada gesekan antara TNI dan Polri. Merujuk pada peristiwa teranyar, bentrokan di Sorong, Papua Barat antara TNI dan Polri bahkan terjadi karena masalah yang sangat sepele.[8] Gesekan antara kedua institusi yang bertugas di lapangan tersebut tentu tidak akan terjadi jika Presiden memiliki visi yang jelas dalam penanganan dan penyelesaian konflik di Papua.

Keenam, kebijakan keamanan di Papua keliru dan minim evaluasi. Kami melihat bahwa pergantian nama berkali-kali untuk menangani kelompok bersenjata di Papua tidak berdampak cukup signifikan sejauh ini. Operasi komando teritorial, Operasi Nemangkawi hingga Operasi Damai Cartenz nyatanya masih menggunakan pola yang cenderung sama yakni dengan pendekatan keamanan lewat pengerahan kekuatan berupa pasukan dengan skala besar. Situasi makin diperparah saat Kapuspen TNI menyebut prajurit untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah tegas dan berdasarkan perangkat Hukum Humaniter Internasional, kombatan yang terlibat dalam perang, posisinya sah untuk dijadikan sasaran serang.[9] Pandangan ini jelas keliru total, sebab terminologi tersebut baru dapat digunakan dalam situasi perang atau konflik bersenjata. Sementara itu, selama ini pemerintah belum pernah sekalipun melakukan deklarasi resmi bahwa situasi Papua merupakan daerah operasi militer. Perubahan nama menjadi OPM tentu dapat dikatakan langkah yang cukup emosional dan tidak berbasis pada evaluasi yang objektif.

Daripada melakukan perubahan nomenklatur – yang hanya menunjukan wajah inkonsistensi dan kegagapan pemerintah dalam menangani situasi konflik di Papua, kami berpandangan pemerintah seharusnya dapat membuka jalan-jalan lain dalam melihat permasalahan konflik di Papua.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak:

Pertama, Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk mengedepankan cara-cara berbasis dialogis dengan tetap memperhatikan HAM serta perlindungan warga sipil di Papua;

Kedua, Panglima TNI untuk mencabut STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024 terkait perubahan nama KKB menjadi OPM karena tidak sesuai prosedur dan melampaui kewenangan institusi TNI;

Ketiga, DPR RI untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap langkah TNI yang mengubah nomenklatur KKB menjadi OPM;

Keempat, Komnas HAM untuk dapat melakukan pengkajian terhadap langkah TNI yang melakukan redefinisi KKB menjadi OPM dan melakukan pemantauan aktif pasca langkah tersebut diberlakukan.

Jakarta, 21 April 2024
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya
Koordinator

[1] Tempo.co, Perubahan Istilah KKB Jadi OPM: Kronologi, Kritikan hingga Langkah Pendekatan TNI di Papua, https://nasional.tempo.co/read/1856753/perubahan-istilah-kkb-jadi-opm-kronologi-kritikan-hingga-langkah-pendekatan-tni-di-papua

[2] Detiknews, Alasan TNI Kini Gunakan Istilah OPM di Papua, https://news.detik.com/berita/d-7290147/alasan-tni-kini-gunakan-istilah-opm-di-papua

[3] Yohanes Maharso Joharsoyo, Perubahan Istilah KKB, Kapuspen TNI: Prajurit Tak Ragu Lagi Tindak Tegas Anggota OPM, https://nasional.tempo.co/read/1855909/perubahan-istilah-kkb-kapuspen-tni-prajurit-tak-ragu-lagi-tindak-tegas-anggota-opm

[4] Pizaro Gozali Idrus, Baku tembak aparat dan pemberontak Papua, 1 anak tewas dan lainnya luka-luka, https://www.benarnews.org/indonesian/berita/konflik-papua-seorang-anak-tewas-04082024130348.html

[5] Rilis Kontras, Dua Anak Menjadi Korban Kontak Senjata, Konflik di Intan Jaya Harus Dihentikan Segera, https://kontras.org/2021/10/28/dua-anak-menjadi-korban-kontak-senjata-konflik-di-intan-jaya-harus-dihentikan-segera/

[6] Lihat Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

[7] BBC News Indonesia, TNI kembali pakai istilah OPM, Polri masih sebut KKB – ‘Kebijakan saling bertentangan, masyarakat Papua jadi korban’, https://www.bbc.com/indonesia/articles/c99zr10nj9ro

[8] Fabio Maria Lopes Costa, Bentrok TNI-Polri Berulang, Ujian Soliditas di Tanah Papua, https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/04/15/bentrok-tni-polri-berulang-ujian-soliditas-di-tanah-papua?loc=hard_paywall

[9] Noer Ardiansyah, Sebut OPM sebagai Kombatan, TNI Minta Prajurit Tak Ragu Bertindak, https://siap.viva.co.id/news/6668-sebut-opm-sebagai-kombatan-tni-minta-prajurit-tak-ragu-bertindak