Runtuhnya Demokrasi dan HAM, Orde Baru Resmi Mewujud Kembali

Pada tanggal 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak seluruh gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dan menerima hasil Pemilu yang memenangkan pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa lembaga peradilan yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi (guardian of constitution) serta ‘benteng’ terakhir penegak nilai demokrasi justru melegitimasi pemimpin yang terpilih lewat cara yang problematik. Kami menilai bahwa Putusan MK tersebut memberi kesan bahwa para peserta dalam kontestasi Pemilu dapat menang melalui serangkaian proses yang bermasalah.

Putusan MK menjadi semakin problematik karena dalam pertimbangannya MK juga menyatakan bahwa terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden adalah sah dan Putusan No. 90 terkait batas usia Cawapres dalam UU Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka bukan bagian dari nepotisme. MK juga seakan mengabaikan fakta bahwa para proses Pemilu yang telah berlangsung terjadi, diwarnai dengan dugaan pengerahan aparat seperti Pj Kepala Daerah dan perangkat desa, ditambah politisasi bantuan sosial untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Padahal fakta-fakta tersebut telah nyata terbukti di lapangan dan telah dihadirkan selama proses pembuktian di persidangan. Selain itu, putusan tersebut memberi kesan bahwa MK tidak mampu untuk memberikan putusan yang menghasilkan keadilan substantif dan mengekang dirinya pada sebatas keadilan prosedural semata. Lewat putusan PHPU tersebut, lembaga peradilan dalam hal ini MK sebagai salah satu harapan publik telah resmi gagal menyelamatkan situasi demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasca Putusan MK tersebut, pada 24 April 2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Prabowo-Gibran sebagai “pemenang” Pemilu 2024. Ditetapkannya Prabowo yang merupakan terduga pelaku Pelanggaran HAM Berat pada peristiwa Penghilangan Paksa 1997-1998 menandakan bahwa agenda-agenda Reformasi telah dikhianati oleh sistem demokrasi yang dilahirkan oleh proses reformasi itu sendiri. Pemilu yang merupakan ‘buah’ dari perjuangan reformasi justru dijadikan oleh para pelanggar HAM untuk berkuasa.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyebut “Figur yang seharusnya menghadapi penyidikan dan proses peradilan akibat keterlibatan dalam kasus Pelanggaran HAM Berat justru terpilih menjadi Presiden. Setelah berlangsung mengalami jatuh-bangun selama 26 tahun, kini mencapai titik terendahnya. Selama ini para Presiden yang terpilih pasca-reformasi yakni Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo belum berhasil menuntaskan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat yang telah terjadi. Kini, pasca Prabowo Subianto resmi terpilih menjadi Presiden nampaknya proses penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM berat semakin jauh dari harapan.”

“Selain konteks reformasi dan pelanggaran HAM berat, nilai-nilai anti KKN yang disuarakan saat reformasi dan dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo pada awal masa pemerintahannya telah sepenuhnya dikhianati saat Gibran yang notabene merupakan anak kandung dari Presiden Joko Widodo terpilih sebagai Wakil Presiden. Terlebih praktik ‘busuk’ ini telah dilegitimasi oleh Mahkamah Konstitusi, sebab Gibran dipilih lewat pemilihan langsung. Padahal nepotisme telah didefinisikan secara tegas sebagai perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009.” Ujar Dimas.

Dimas pun menambahkan “Berangkat dari putusan MK dan ditetapkannya Prabowo-Gibran sebagai Presiden terpilih, kami menilai bahwa era reformasi secara resmi telah berakhir. Dengan terpilihnya mantan menantu dari Soeharto dan suburnya praktik KKN, Indonesia telah kembali sepenuhnya ke ‘jurang’ rezim orde baru. Adapun Pemilu sebagai saluran utama daulat rakyat justru telah terselenggara dengan curang lewat berbagai manuver politik dan intervensi kekuasaan. Begitupun agenda supremasi hukum yang tak berdaya untuk mengadili kesewenang-wenangan kekuasaan.”

 

Jakarta, 25 April 2024
Badan Pekerja KontraS,

 

Dimas Bagus Arya
Koordinator