Keharusan Pasca Pelepasan Polisi Dari ABRI

SIARAN PERS

KOMISI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN
NO 14 / SP †KONTRAS / IV / 1999

Tentang :

KEHARUSAN PASCA PELEPASAN POLISI DARI ABRI

 

Menhankam / Pangab menyatakan terhitung sejak 1 April 1999 POLRI terpisah dari ABRI, akan tetapi berada di bawah Menhankam dan pemisahan dilakukan secara gradual. Pemisahan ini sekaligus mengundang berbagai harapan akan meningkatnya profesionalitas, kemandirian polisi dari kecenderungan intervensi politik, serta mempersempit ruang penggunaan kekerasan oleh kepolisian akibat posisi dan prilaku kemiliteran (combat). Pemisahan kepolisian ini merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda, sebagai upaya untuk meningkatkan peran kepolisian sebagai bagian dari criminal justice sistem dan mendorong terjaganya tertib hukum dan kamtibmas.

Keputusan pemisahan kepolisian dari ABRI yang dinyatakan akan dilakukan secara gradual, akan tetapi tahapan menuju pemandirian polisi secara substansial masih menyisakan agenda yang tidak jelas.

Terhadap pemisahan POLRI dari ABRI tersebut, KONTRAS perlu menyatakan beberapa hal sebagai berikut :

Pertama , Pemerintah seharusnya mengumumkan secara jelas tentang tahapan dan batas waktu proses pemisahan kepolisian, serta perubahan †perubahan yang dilakukan pada tiap tahapan, sebagai bagian tidak terpisah dari upaya membangun tertib hukum. Perubahan dan tahapan tersebut seperti perubahan kepangkatan, struktur komando, hubungan – hubungan kelembagaan, pola pembinaan, anggaran dst.

Kedua , pemisahan dan perubahan posisi kepolisian seharusnya secara tegas merubah posisinya dari satuan militer serta berbagai bentuk pendekatannya, menjadi satuan sipil dengan orientasi sebagai civilian guardian. Dimana perubahan ini sendiri akan menuntut perubahan pola dan srtategi penjagaan keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum.

Ketiga , peristiwa pengambilalihan komando dari satuan POLRI di bawah institusi militer baik itu KODAM maupun KOREM atu yang lainnya, sebagaimana dalam peristiwa Ambon, Sambas, ataupun Satgas Wibawa di Aceh haruslah tidak dilakukan. Satuan militer dalam menghadapi gangguan keamanan dan ketertiban masyarkat adalah satuan bantuan yang tetap di bawah permintaan dan komando kepolisian. Ketertiban angkatan perang dalam persoalan tersebut dikemudian hari, menjadikan pemandirian POLRI hanyalah formalitas semata.

Penting dicatat untuk itu, perlu segera didorong meningkatnya kemampuan dan peran kepolisian daerah di berbagai wilayah, melalui peningkatan status wilayah, standar kepangkatan, maupun kesiapan perangkat pendukung, yang disesuaikan dengan tuntutan peran dan wilayah kerjanya.

Keempat , tahapan terpenting dari upaya pemandirian POLRI terletak pada keharusan mengembangan fungsi dan peran kontrol masyarakat. Untuk itu pemikiran kerah desentralisasi struktur kepolisian merupakan salah satu langkah penting bagi membangun fungsi kontrol masyarakat atas kinerja dan penegakan hukum.

Kelima , sebagai konsekwensi dari pemisahan POLRI, seharusnya dilakukan perubahan (amandemen) atau pencabutan Undang †Undang Kepolisian RI No 31 tahun 1997, mengingat UU tersebut masih mengatur beberapa hal sebagai berikut :

Pasal 8 (2) Presiden dalam menjalankan kekuasaan Kepolisian dibantu oleh Menteri dan Panglima.

Pasal 9 (2-3) Penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian RI berada ditangan Pangab.

Pasal 20, Pembinaan profesi kepolisian diatur dengan keputusan Pangab.

Ketentuan ini jelas masih menempatkan kepolisian merupakan subordinasi dari Panglima ABRI. Paling tidak posisi ketentuan ini masih menjamin ruang yang cukup luas bagi ABRI melakukan intervensi kedalam tubuh kepolisian.

Secara prinsip ketentuan UU Kepolisian masuh menempatkan Polri dalam basis kemiliteran dan dalam struktur komando kemiliteran. Hal ini mengandung konsekuensi kerja †kerja kepolisian secara substansial masih merupakan bagian tidak terpisah dari sikap dan struktur komando ABRI. Termasuk didalamnya upay mendorong profesionalisme polisi masih mengandung pola dan ukuran †ukuran profesionalisme satuan militer (combat).

Keenam , pencabutan UU No 26 tahun 1982 tentang pertahanan dan keamanan negara, sebagai konsekuensi dari pemisahan kepolisian, sudah seharusnya terdapat pembatasan yang jelas atas peran dan fungsi satuan ABRI dalam fungsi †fungsi kamtibmasdan penagakan hukum. Ketentuan Undang †Undang No 20 tahun 1982 sama sekali tidak mengatur atau memberikan pembatasan yang jelas antara tugas kepolisian dengan satuan angkatan perang lainnya, khususnya angkatan darat. Hal ini jelas merupakan ancaman akan terjadinya intervensi dan tumpang tindih tugas, atau eliminasi terhadap tugas †tugas Kepolisian oleh ABRI dikemudian hari.

Pasal 26 menyatakan ABRI sebagai kekuatan sosial di darat, laut, dan udara serta penertiban da keamanan masyarakat. Jelas arah peran ini merupakan bagian dari tumpang tindih dan intervensi terhadap peran dan tugas Kepolisian, yang juga dapat mengancam kepentingan penegakan hukum.

Pasal (28) ABRI berperan aktif dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan. Posisi ini semakin menjelaskan betapa luasnya peran ABRI yang juga mengancam upaya memandirikan kepolisian atau tertib hukum.

Pencabutan Undang †Undang ini, sekaligus mengandung kewajiban untuk menerbitkan regulasi baru yang membatasi secara tegas kewenangan ABRI serta berbagai perangkatnya dalam fungsi pertahanan dan keamananserta kamtibmas. Sebagai bagian tidak terpisah darinya adalah peninjauan kembali terhadap konsep pembinaan / operasi teritorial, dalam kelembagaan Kodim, Koramil, Korem dan Kodam. Kelembagaan operasi / pembinaan teritorial justru akan menihilkan fungsi kepolisian yang diarahkan pada pentingnya penegakan ketertiban dan hukum.

Jakarta, 30 Maret 1999

Badan Pekerja
KONTRAS

 

M U N I R
Koordinator