MASIH DIPERDEBATKAN, SOAL ADIL DAN ARIF DALAM BERKOMUNIKASI

 Jakarta, Kompas
Keadilan dan kearifan dalam pemberitaan di media massa merupakan suatu proses yang bisa berubah seiring dengan realitas sosial masyarakat ketika itu. Di sisi lain, dalam masyarakat yang heterogen, adanya perbedaan interpretasi terhadap definisi keadilan dan kearifan itu sendiri sangat mungkin terjadi.

Padahal agar komunikasi bisa efektif, diperlukan definisi yang sama antara komunikator dan komunikan terhadap keadilan dan kearifan. "Karena adil dan arif itu adalah sesuatu yang abstrak," kata Soetandyo Wignjosoebroto, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang tampil sebagai pembicara dalam seminar "Forum Nasional: Reformasi Komunikasi", di Jakarta, Kamis (15/4).

Bicara mengenai keadilan dalam komunikasi, Soetandyo menyebutkan dua konsep keadilan, yaitu distributif dan komutatif. "Keadilan distributif terwujud dalam suatu proses distribusi. Dalam pembagian ini jumlah bagiannya belum tentu sama. Keadilan di sini ditentukan antara lain oleh situasi sosio-kultural masyarakat. Tak
salah bila dikatakan keadilan distributif tolok ukurnya ditentukan oleh suatu otoritas yang berkedudukan supra," katanya.

Sementara keadilan komutatif, tolok ukurnya ditentukan para subyeknya sendiri dan merupakan suatu kesepakatan. "Jadi soal keadilan dalam komunikasi menjadi relatif, tergantung kesepakatan dan kesempatan untuk mengaksesnya," ujar Soetandyo.

Riza Primadi, Direktur Pemberitaan SCTV menambahkan, keadilan komutatif bisa tercapai kalau ada kesetaraan antara komunikator dengan komunikan. Sebagai praktisi Riza mencontohkan, dalam menayangkan suatu peristiwa, pihaknya memberlakukan sensor diri yang dasarnya antara lain adalah tanggung jawab moral dan kepatutan atau rasa pantas pada masyarakat.

"Dalam beberapa peristiwa, kami tidak menayangkan gambar yang tak patut atau tidak sesuai dengan rasa tanggung jawab moral dan berbangsa kita, meski untuk itu keadilan tidak tercapai karena kita tidak menyuguhkan informasi yang sesungguh-sungguhnya. Di sini kearifan berperan untuk menentukan mana yang ditayangkan, mana yang tidak," ujarnya.
 
Transparansi
Pada diskusi hari pertama, Rabu, pengamat sosial Wimar Witoelar yang berbicara mengenai transparansi komunikasi berpendapat bahwa hal itu tak bisa terjadi begitu saja, tetapi merupakan sesuatu yang harus direbut. "Kalau tidak, transparansi itu tak akan pernah ditunjukkan. Padahal transparansi adalah kebutuhan semua orang," katanya.

Ketika informasi tak tersampaikan secara bebas, nilai komunikasi menjadi negatif. Orang lebih suka tak menonton TV karena informasinya bisa terbalik dari kenyataan yang diketahui. Namun, dengan adanya kebebasan menyampaikan informasi, tumbuh pula kebutuhan orang akan transparansi.

"Kalau komunikasi diibaratkan suatu komoditas pasar, di sini juga berlaku supply dan demand. Kebutuhan orang akan informasi yang transparan meningkat, sehingga penawaran pun muncul dan komunikasi berlangsung. Orang sekarang haus membaca koran dan menonton TV untuk mendapatkan informasi," ujarnya.

Sementara Munir SH, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan, dalam setiap informasi yang disampaikan media massa seringkali yang tertuang bukan transparansi, tetapi keinginan redaksi di balik berita itu. Alasannya, moralitas di balik penyajian berita mempengaruhi transparansi.

Menurut dia, peristiwa yang sama bisa disampaikan dengan interpretasi yang berbeda di media massa. Misalnya, demonstrasi mahasiswa, di satu media ditulis terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, sementara media lain hanya menyebutkan peristiwa itu mengganggu lalu lintas.

Pada seminar yang berlangsung dua hari itu berbicara pula Drs Lilik Arifin MSi (praktisi akademisi FISIP UI), Toety Adhitama MA (Wapemred Harian Media Indonesia), Dr Bachtiar Aly (pakar komunikasi), Drs Ishadi MSc (pengamat komunikasi), Brigjen TNI Sudrajat (Wakapuspen TNI), Dr Salim Said (pengamat politik dan militer), Drs Djafar H Assegaf (Pemred harian Media Indonesia) dan Susanto Pudjomartono (Pemred The Jakarta Post). (cp)