KEKERASAN AKAN MEMBAWA KEMBALI KE SISTEM OTORITER

Jakarta, Kompas
Kekerasan dalam berbagai bentuknya yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat harus diwaspadai karena kekerasan itu akhirnya akan mengembalikan bangsa ini ke sistem otoriter. Oleh karena itu, aparat yang berwenang harus menjalankan tugasnya menegakkan hukum, setidaknya melalui langkah yang paling minimal, misalnya memberi peringatan kepada kelompok yang menggunakan cara kekerasan. Partai politik (parpol) juga harus menjalankan peran lebih besar untuk mencegah terjadinya kekerasan, dengan membuat semacam komitmen bersama untuk tidak melakukan bentuk kekerasan.

Demikian rangkuman pemikiran yang berkembang pada diskusi Pencegahan Kekerasan Politik dan Politik Kekerasan Dalam Pemilu, Selasa (20/4), yang diselenggarakan Center for Law dan Order Studies dan Lembaga Pembela Hak Sipil dan Politik (La Pasip), di Jakarta.

Diskusi itu menghadirkan pembicara antara lain Direktur Laboratorium Politik FISIP UI Valina Singka Subekti, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Electoral Information and Voters Education (In-Live) Kastorius Sinaga, Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat Mulyana W Kusumah, dan Bambang Sugiyanto dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Para pembicara sependapat, kekerasan sekitar pemilihan umum merupakan fenomena yang umum di negara sedang berkembang, khususnya negara yang sedang dalam peralihan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi liberal. "Mereka menggunakan kekerasan sebagai jalan pintas menuju kekuasaan, sehingga kekerasan menjadi pragmatisme politik. Dengan demikian, kekerasan sebenarnya manifestasi elite-elite politik sendiri," ungkap Sinaga.

Dua aspek
Menurut Valina, ada dua aspek yang dapat menjadi pengundang konflik dan kekerasan politik dalam Pemilu 1999, yaitu aspek kesiapan suprastruktur dan kesiapan infrastruktur. Aspek suprastruktur ialah adanya titik-titik lemah dalam Undang-undang (UU) Politik baru, yang dapat mengundang gerakan oposisi yang kontraproduktif terhadap pemilu; misalnya jatah kursi ABRI di DPR, syarat Parpol ikut pemilu, dan masalah lain. Di samping itu juga ada kesiapan kelembagaan dan
kapasitas politik lembaga pengelola pemilu dalam penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu, serta minimnya kredibilitas aparatur pengendali keadaan.

Sedangkan aspek infrastruktur antara lain kesiapan partai-partai politik peserta pemilu, dan kesiapan masyarakat berpartisipasi dalam pemilu. "Waktu yang sangat pendek sejak UU Politik disahkan menyulitkan partai-partai baru untuk melakukan konsolidasi atau membangun basis ikatan politik dan ideologi dengan
massa, dan mensosialisasikan makna pemilu yang jujur dan adil (Jurdil) serta langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) kepada anggota partai dan massanya. Kesenjangan komunikasi dan informasi antara partai dengan massanya akan menjadikan massa mudah diprovokasi dan potensial beringas," ungkap Valina.

Valina, Sinaga maupun Mulyana sependapat, pengunduran jadwal pemilu akan berpotensi menimbulkan munculnya tindak-tindak kekerasan, karena pengunduran pemilu akan membuat masyarakat tidak percaya terhadap penyelenggara pemilu.

Para pembicara sependapat untuk mencegah merebaknya kekerasan semasa pemilu. Parpol-parpol harus membuat komitmen bersama untuk tidak melakukan kekerasan, lebih khusus lagi di tingkat lokal. (oki)