SIARAN PERS
4 / SP-KONTRAS / I / 99
KOMISI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN
(KONTRAS)
tentang
KERUSUHAN SOSIAL DI AMBON
Adu domba warga sipil sekali lagi terjadi, kali ini di Ambon. Seperti melanjutkan kerusuhan-kerusuhan dan adu domba sebelumnya, kerusuhan Ambon sebagaimana ditampilkan oleh media massa menunjukan eskalasi yang luas dan dalam, menyangkut segregasi agama, tempat tinggal dan asal usul kedaerahan.
Peristiwa kekerasan massa yang diawali pertikaian berbau kriminal, telah memakan korban lebih dari 50 orang meninggal dunia (angka tersebut sedang dikonfirmasi angka yang terlaporkan sebesar 149 orang). Secara umum kerusuhan Ambon telah dimainkan melalui proses :
Gejala konflik yang terjadi di Ambon tidaklah spesifik wilayah tersebut, akan tetapi merupakan pola umum dari berbagaikerusuhan sosial berbau SARA yang berlangsung sepanjang tahun 1998.
Meskipun pemerintah telah mengintroduksi penangkapan terhadap para provokator, kami menangkap adanya gejala pengembangan opini publik yang menyesatkan, sebagaimana di kasus-kasus lain yang tidak terungkap dan mengabaikan adanya realitas konflik dan jatuhnya korban dikalangan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.
Mengingat kerusuhan-kerusuhan serupa telah terjadi di banyak tempat di Indonesia disepanjang tahun ini dan tahun 1998, maka KONTRAS melihat beberapa benang merah dan catatan penting :
Pertama, kerusuhan Ambon menjadi salah satu elemen dari serangkaian kerusuhan yang mengadu domba dan memporakporandakan daya tahan masyarakat sipil, dimulai dari Jakarta dan lima kota besar lainnya pada tanggal 13-15 Mei tahun lalu, dilanjutkan dengan Aceh, Ketapang, Kupang dan Kerawang.
Kedua, melihat rangkaian ini serta melihat tidak adanya tanggung jawab yang cukup dari aparat negara untuk menjaga dan mencegah kemungkinan kerusuhan maka, patut dicurigai bahwa ada unsur kesengajaan dalam rangkaian kerusuhan itu.
Ketiga, sinyalemen ini sendiri diperkuat dengan pernyataan sementara petinggi politik seperti Kapolri bahwa dalang kerusuhan ada di dalam elite politik, serta pernyataan Gus Dur mengenai provokator.
Keempat, di beberapa daerah kerusuhan terdapat fakta yang menunjukan keterlibatan unsur militer dalam terjadinya dan membesarnya kerusuhan, seperti kerusuhan 13-15 Mei, kerusuhan di Aceh dan Kerawang.
Kelima, berbagai manuver politik menyangkut kerusuhan seperti yang dipraktekan sejumlah elite politik memperlihatkan gejala yang memprihatinkan, seperti menyerahkan persoalan kepada lobi-lobi kekuasaan ketimbang penyalesaian yang terbuka secara hukum, fair dan mendidik rakyat.
Keenam, melihat respon masyarakat yang mulai terbiasa dengan kerusuhan, pernyataan-pernyataan yang tidak punya makna hukum selain tunjuk menunjuk, diskursus provokator yang makin diabsurdkan, serta respon negara yang tidak bergeming, KONTRAS khawatir munculnya jalan buntu dalam kasus kerusuhan-kerusuhan ini.
Melihat situasi itu, maka KONTRAS menyerukan :
Jakarta, 29 Juni 1999
Badan Pekerja
MUNIR
Koordinator