SIARAN PERS
KOMISI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN
NO. 49/KONTRAS/X/99
TENTANG
PERPU PERADILAN HAM
Pemerintah pada tanggal 8 Oktober 1999 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM. Penerbitan Perpu ini didasarkan pada adanya Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM yang mendelegasikan pembentukan peradilan HAM. Perpu ini lahir dari reaksi Pemrintah RI atas resolusi Komisi Tinggi HAM PBB yang membentuk Komisi Inquiry untuk penyelidikan atas dugaan praktek kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan oleh Aparat Militer Indonesia di wilayah Timor-Timur dalam satu tahun terakhir.
Secara umum Perpu tersebut mengatur segara dibentuknya peradilan HAM di bawah payung peradilan umum, yang membuka kemungkinandibentuknya hakim ad hoc, jaksa dan penyidik ad hoc, serta komisi penyelidik di bawah Komnas HAM. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang harus memperoleh perhatian atas aspek yang bersifat subtansial dan prosedural dari lahirnya Perpu tersebut. Beberapa persoalan itu antara lain:
Pertama , Perpu No. 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM secara prosedural kelahirannya bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 22 yang kesemuanya mensyaratkan adanya kondisi mendesak atau situasi genting yang memaksa, barulah Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Undang-undang (PERPU).
Dalam konteks peradilan HAM ini sama sekali tidak ditemukan alasan-alasan yang dapat diterima agar pemerintah dapat melahirkan Perpu tersebut. Mengingat resolusi Komisi HAM PBB atas persoalan Tim-Tim tersebut di atas tidaklah mengakibatkan adanya kondisi yang mewajibkan pemerintah melahirkan ketentuan semacam itu.
Menurut hemat kami, Perpu ini justru dilahirkan dari upaya memanipulasikan kepentingan beberapa orang yang harus bertanggung jawab atas praktek kejahatan kemanusiaan dan perang di wilayah Timor-Timur, dengan menempatkan seolah-olah hal itu merupakan kebutuhan secara keseluruhan rakyat Indonesia. Hal ini tampak jelas dari logika yang diuraikan pada penjelasan Perpu tersebut. Tindakan penerbitan Perpu ini merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya bagi kelangsungan upaya membangun sistem hukum dan proses demokratisasi.
Sehingga tindakan Presiden Habibie menerbitkan Perpu tersebut adalah praktek penyalah-gunaan kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan .
Kedua , secara subtansial Perpu tersebut mengandung pasal-pasal yang tidak dapat menjamin adanya penegakan ketentuan hukum dan HAM. Bahwa justru sebaliknya, prosedur pengaturan hukum acara dan hukum materiil didalamnya sangat terbuka kemungkinan bagi tidak adanya pertanggungjawaban hukum.
Untuk itu, jelas komisi ini tidak dapat bekerja apabila masih di bawah bayang-bayang produk hukum yang amat sangat mengandung kelemahan fundamental semacam itu.
Berdasarkan uraian di atas, KONTRAS memandang perlu menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :
Pertama , Pemerintah harus segera mencabut kembali Perpu No 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM, serta tidak melahirkan produk hukum lain yang semata-mata tambal sulam kepentingan prakmatis melindungi diri dari pertanggungjawaban.
Kedua , DPR segera melakukan pembahasan dan menolak keberadaan Perpu No 1 tahun 1999, serta mencabut berbagai ketentuan hukumyang bertentangan dengan agenda penegakan HAM, seperti undang-undang No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Ketiga , MPR dalam sidang pertanggungjawaban Presiden, wajib memeriksa dan meminta pertanggungjawaban dari presiden akibat adanya dugaan penyalah-gunaan kekuasaan dalam penerbitan Perpu No 1 tahun1999.
Keempat , Satu bagian tak terpisah dari pertanggungjawaban itu, adalah realitas banyak berbagai kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah dipertanggungjawabkan, seperti kasus penembakan terhadap mahasiswa dan masyarakat di Trisakti, Semanggi I dan II, UBL, Palembang, kasus Priok, kasus Lampung, kasus Penculikan Aktivis, kasus Ambon, kasus Sambas, kasus Banyuwangi dst.
Jakarta, 12 Oktober 1999
Badan Pekerja KONTRAS
M U N I R, SH
Koordinator