Komisi Kebenaran Dan Penghentian Kekerasan Negara




Untitled Document

SIARAN PERS

KONTRAS

NO. 50/SP-KONTRAS/X/99

TENTANG

KOMISI KEBENARAN DAN PENGHENTIAN KEKERASAN NEGARA

Sejak terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden berbagai aspirasi disampaikan, dengan harapan adanya perubahan kearah kehidupan bernegara yang lebih baik. Salah satu alat ukur perubahan kearah yang lebih baik adalah peningkatan secara jelas terhadap kualitas penghormatan HAM dan mengecilnya, atau bahkan dihapusnya penggunaan kekerasan oleh alat negara terhadap rakyat. Tentunya hal ini disadari benar bukanlah suatu yang mudah untuk dipecahkan, akan tetapi keterlambatan mengambil langkah, akan melahirkan situasi yang tidak menetu kembali, dimana posisi rakyat akan selalu berada sebagai pihak yang menjadi korban.

Dalam catatan KONTRAS, sampai saat akhir sidang umum MPR yang baru lalu, belum terdapat gagasan yang cukup jelas terhdap langkah-langkah yang harus diambil bagi upaya penyelesaian persoalan HAM yang telah berlansung sepanjang masa Orde Baru dan Pemerintahan Habibie, serta pengurangan ataupun peniadaan tindakan kekerasan oleh alat-alat negara atas nama integrasi bangsa ataupun stabilitas keamanan. Untuk itu, kami megajukan dua langkah mendesak yang perlu dilakukan bagi perubahan dan masa depan Indonesia yang lebih baik, yaitu :

1. Pembentukan Komisi Kebenaran (Truth Commission)

Menghadapi berbagai bentuk tuntutan masyarakat, serta banyaknya permasalahan pelanggaran HAM sepanjang periode pemerintahan Orde Baru dan Habibie, pemerintah tidak mungkin menghindarkan diri dari keharusan mempertanggungjawabkannya secara politik atas semua itu demi penegakan keadilan. Untuk itu perlu segera dibentuk sebuah komisi kebenaran, yang akan bekerja untuk mengungkap pihak-pihak yang harus bertanggung jawab secara hukum terhadap berbagai bentuk dan tindakan pelanggaran HAM.

Komisi tersebut terdiri atas perwakilan pemerintah dan masyarakat, terutama pelibatan unsur masyarakat yang menjadi korban dan organisasi yang tumbuh menghimpun para keluarga tersebut seperti IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang) maupun SKKN (Solidaritas Korban Kekerasan Negara) dan lain-lain organisasi korban yang ada.

Tindak lanjut dari segala temuan komisi tersebut perlu diberikan jaminan terhadap dimungkinkannya penyelesaian secara hukum. Artinya, penyelesaian politik semata atas persoalan pelanggaran HAMselama ini, justru telah berakibat buruk terhadap sistem hukum nasional, sistem sosial, serta secara politik jelas telah memperburuk kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Kalaupun hasil-hasil kerja komisi kebenaran digunakan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional, maka rekonsiliasi nasional tidaklah menjadi pemicu baru dari sengketa politik, akibat ada sebagian masyarakat, khususnya dikalangan korban merasa diperlakukan tidak adil. Kami menyambut baik gagasan Presiden untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional. Namun demikian kami berpendapat bahwa konsep dasar rekonsiliasi haruslah bergerak dan berbasis pada nilai keadilan, dan bukan semata-mata konsilidasi elite politik yang kemudian memanipulasi rasa keadilan rakyat dan tuntutan penegakan hukum.

Perlu dicatat, kasus komisi kebenaran di Afrika Selatan dan beberapa negara di Aamerika Latin, yang diikuti rekonsiliasi, ternyata hanya mampu menhidupkan konsolidasi politik elite. Dalam sisi lain, konsolidasi elite yang manipulatif ini menimbulkan persengketaan yang lebih jauh dikalangan rakyat, akibat tidak terjawabnya asas-asas keadilan. Di sisi yang lain lagi, perlu juga dilihat, kasus Argentina, pemerintah membentuk komisi kebenaran dan tanpa proses rekonsiliasi nasional, yang kemudoan menemukan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat serta tuntutan terhadap pihak yang harus bertanggung jawab, trnyata telah mengakibatkan pembangkangan kalangan militer terhadap pemerintah yang berkuasa karena merasa terpojik dalam posisi yang dianggap paling bersalah. Oleh karena itu menjadi teramat penting, pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk membangun kepatuhan riil kalangan militer serta komitmennya untuk mendukung proses pertanggungjawaban terhadap berbagai persoalan pelanggaran HAM, pada saat yang sama segala upaya pengungkapan dilakukan.

Tapol dan Napol :

Persoalan lain yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan di atas, adalah adanya keharusan pemerintah segera menerbitkan amnesti umum bagi para Tahanan dan Narapidana politik. Sulit untuk dikatakan telah terjadi perubahan menuju ke suatu sistem yang lebih demokratis, apabila didalamnya masih terdapat pemenjaraan anggota masyarakat yang memiliki pandangan politik berbeda.

Persoalan Timor-Timur :

Tentunya juga perlu untuk dicatat, bahwa persoalan pelanggaran HAM di Tim-Tim yang kemudian berbuntut tekanan internasional yang menuntut pertanggungjawaban dugaan adanya tindakan kejahatan perang oleh satuan Militer Indonesia, tidak mungkin dapat diselesaikan hany melalui langkah-langkah pembentukan komisi kebenaran ataupun rekonsiliasi di atas. Untuk itu sudah seharusnya pemerintah perlu mengembangkan sikap kooperatif terhadap langkah-langkah internasional dalam penyelesaian permasalahan tersebut, termasuk dengan menerima keberadaan International Inquiry Commission yang hendak melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya kejahatan perang.

Kalaupun pemerintah Indonesia berkehendak melakukan penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Tim-Tim itu sendiri di peradilan Indonesia, maka mutlak harus dilakukan sesuai dengan Statuta Tribunal Internasional dan konvensi Genewa 1949. Artinya, harus dilakukan dalam suatu peradilan yang jujur dan tidak memihak, serta menuntut pertanggungjawaban para pelaku berdasarkan ketentuan hukum meteriil yang sesuai dngan ketentuan internasional pula. Tidak dapat sama sekali dituntut berdasarkan hukum pidana biasa. Perlu kita semua catat, bahwa apabila para pelaku hanya dihukum berdasarkan hukum pidana biasa (KUHP), maka pihak PBB masih tetap memiliki hak untuk menuntut para pelaku di tribunsl Internasional. Untuk itu jelas, ketentuan Perpu No 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM, ataupun ketentuan lain yang berisi kelemahan yang sama dengan Perpu tersebut haruslah ditiadakan terlebih dahulu atau diganti denganyang baru.

2. Penanggulangan penggunaan kekerasan sebagai alat perekat integrasi sosial dan bangsa,serta stabilitas politik .

Problem rasialisme dan segresi agama

KONTRAS mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir telah terjadi banyak peristiwa kekerasan yang tidak jarang berdimensi horisontal dengan melibatkan sentimen agama, suku, dan ras. Tidak   dapat disangkal pula adanya kecenderungan brutalisme ini dikuti dengan berbagai keinginan sementara warga untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Indonesia.

Menghadapi semua itu, kami juga telah mencatat berbagai peristiwa itu bukanlah merupakan kejadian yang mandiri dan lepas dari konteks politik, ekonomi, dan sosial yang ada secara nasional. Terdapat bukti-bukti cukup kuat mengindikasikan adanya hubungan anatara merebaknya kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia dengan agenda politik ditingkat nasional. Demikian pula terdapat korelasi yang nyata antara keinginan untuk memisahkan diri beberapa daerah dengan kekecewaan yang besar dari rakyat yang ada di sana terhadap pemerintah dan kebijakan-kebijakannya terutama di sektor ekonomi dalam hubungan dengan daerah. Sehingga, akan menjadi pekerjaan yang sia-sia apabila upaya penyelesaian yang dilakukan tidak disertai dengan kebijakan di tingkat nasional untuk segera menghentikan segala penggunaan kekerasan dalam menangani masalah.

Diperlukan kepekaan yang besar dan sikap tanggap dari pemerintah pusat terhadap berbagai gejolak yang ada. Dalam pada itu kami menuntut kepada presiden untuk segera mengadakan usaha yang nyata dalam menghentikan penggunaan kekerasan oleh aparatur negara di dalam menghadapi soal-soal yang muncul.

Sikap tegas juga harus segera dilakukan terhadap kekuatan-kekuatan yang selama ini secara sengaja telah memanfaatkan sentimen-sentimen agama dan isu-isu rasial lainnya demi keuntungan politik maupun ekonomi mereka dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam catatan kami hingga saat ini, masih terbukti bahwa negara telah gagal melindungi hak-hak warga negara untuk mendapatkan keamanan, kepastian hukum dan hak akan keadilan, dengan tidak terselesaikannya berbagai kasus seperti Ambon, Sambas, Kupang, Aceh dll.

Terakhir kami menyerukan kepada pemerintah, bahwa upaya mempertahankan integrasi bangsa tidak dapat dilakukan dan dipercayakan hanya kepada kekuatan represif negara untuk memobilisir sebanyak mungkin kekerasan. Peristiwa Aceh, Papua Barat dan Timor-Timur sendiri telah membuktikan kegagalan metode tersebut.

Jakarta, 25 Oktober 1999

Badan Pekerja KONTRAS

ORI RAHMAN, SH                                           Y. TOMI ARYANTO

Wakil Koordinator                                         Koord. Div. Monitoring dan Kajian