SIDANG KASUS BANTAQIAH DIWARNAI PROTES MAHASISWA

Banda Aceh, Kompas
Peradilan koneksitas kasus penembakan Teungku Bantaqiah dan 56 orang lainnya, Rabu (19/4), digelar di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh. Sidang yang menghadapkan 24 terdakwa anggota TNI Angkatan Darat dan seorang sipil ini diwarnai aksi unjuk rasa mahasiswa di luar pengadilan.

Mereka memprotes pelaksanaan sidang yang disebut sebagai "peradilan sandiwara" karena tidak adanya saksi kunci, Letkol (Inf) Sudjono. Mantan Kepala Seksi Intel Komando Resor Militer 011 Lilawangsa (LW) ini merupakan saksi kunci sekaligus tersangka dalam kasus pembunuhan di Beutong Ateuh, 23 Juli 1999 itu.

Para tersangka dibawa ke pengadilan dari tahanan Detasemen Polisi Militer Banda Aceh menggunakan beberapa mobil panser polisi dengan pengawalan ketat. Jalan Cut Meutia, tempat persidangan itu dilangsungkan, ditutup bagi semua jenis kendaraan. Warga yang ingin melihat persidangan harus jalan kaki.

Persidangan juga dihadiri Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Hasballah M Saad, Ketua Komisi Independen Pengusut Tindak Kekerasan di Aceh Amran Zamzami, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Brigjen (Pol) Bahrumsyah Kasman, dan Komandan Korem 012/Teuku Umar Kolonel (CZI) Syarifudin Tippe.

Para mahasiswa dalam jumlah puluhan datang ke pengadilan membawa sejumlah poster dan berorasi di luar pagar pengadilan. Meski terjadi desak-desakan, mereka tidak diizinkan masuk oleh polisi antihuru-hara yang berjaga-jaga. Bentrokan pun terjadi, seorang di antaranya terluka di bagian kepala dan dilarikan ke rumah sakit.
 
Perintah Danrem
Jaksa Nuraini AS dalam dakwaannya menyatakan, sebelum operasi militer dilakukan ke Beutong Ateuh, Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel (Inf) Syafnil Armen memperoleh informasi bahwa Teungku Bantaqiah dan pengikutnya memiliki 100 pucuk senjata api. Senjata itu ditanam di sekitar tempat tinggalnya.

Informasi itu juga menyebutkan, pemimpin pesantren Babul Mukarramah itu memiliki pasukan yang beranggotakan sekitar 300 personel. Warga sekitar juga sering mendapat ancaman dari kelompok Bantaqiah.

Berdasarkan informasi itu, Danrem kemudian membuat telegram pada 15 Juli 1999, No STR/232/VII/1999, kepada Komandan Batalyon Infantri 113/ JS, Wadan Yonif Linud 100/PS, Dan Yonif Linud 328/DGH, Dan Tim Guntur Rem-011/LW, dan Kasi Intel Rem 011/LW. Isinya antara lain, cari, temukan, dekati, dan tangkap tokoh gerakan pengacau keamanan (GPK) dan simpatisannya hidup atau mati.

Menurut jaksa, sesuai telegram itu, lalu dibentuk pasukan gabungan di bawah pimpinan Letkol (Inf) Heronimus Guru, Dan Yonif 328 Kostrad Cilodong, Jawa Barat, sebagai komandan lapangan. Sementara Letkol (Inf) Sudjono, Kasi Intel Korem 011 Lilawangsa, sebagai pengawas operasi/penunjuk jalan. Pasukan beranggotakan sekitar 215 personel.

Kelompok pelaksana lapangan dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu penangkap/penyergap dan kelompok penutup. Kelompok penangkap/penyergap bertugas menangkap  Teungku Bantaqiah dan pengikutnya,  dalam keadaan hidup atau mati. Sedangkan kelompok penutup, dengan komandannya Mayor (Inf) Endi, Wadan Yon Linud 100/PS, bertugas mengamankan pasukan penangkap/ penyergap tersebut.

Pada 23 Juli 1999, pasukan tiba di Beutong Ateuh dan bertemu Teungku Bantaqiah di kompleks pesantren. Setelah bertemu Teungku Bantaqiah, melalui radio, Letkol Sudjono berkomunikasi dengan Letkol Heronimus Guru yang sudah berada di sekitar lokasi itu. "Bagaimana Dik, kita bunuh saja mereka semua?" tanya Sudjono. Namun, Heronimus Guru tak menjawab pertanyaan itu. Sudjono kemudian meninggalkan lokasi itu.

Dalam dakwaan setebal 38 halaman, dijelaskan pula bahwa pasukan kemudian menggeledah lokasi dan memerintahkan semua pria dewasa turun dari bangunan pesantren dan jongkok sambil memperlihatkan kartu tanda penduduk (KTP). Mereka disuruh melepaskan pakaian, kecuali celana dalam.

Bersamaan dengan itu, tim yang dipimpin Sudjono menuju ke lokasi itu. Sementara tim lain menutup jalan dan menjaga jembatan untuk mencegah orang keluar masuk kompleks pesantren. Saat itulah Teungku Bantaqiah ditembak. Sebanyak 34 orang meninggal di tempat dan 23 lainnya luka-luka. Yang luka-luka itu kemudian dinaikkan ke truk militer, lalu ditembak mati dan dibuang ke jurang.

Dari 25 terdakwa yang diajukan ke pengadilan koneksitas tersebut, terdapat tiga perwira, yakni Kapten (Inf) Anton Yuliantoro, Letda Maychel Asmi, dan Letda Trijoko Adwiyono. Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil.

Majelis hakim mengundurkan sidang hingga Sabtu (22/4) untuk mendengarkan tanggapan penasihat hukum terdakwa atas dakwaan jaksa. Majelis hakim yang dipimpin Ruslan Dahlan itu terdiri atas Kolonel CHK Amiruddin, Letkol CHK J Pieter, Sarbun Harahap, dan Zulkifli.

Ketatnya penjagaan dalam persidangan koneksitas ini disesalkan banyak pihak. Selain persidangan menjadi tidak sepenuhnya terbuka, pergelaran pasukan yang besar itu juga menimbulkan ketakutan baru di masyarakat Aceh.

Ketua Yayasan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Munir berpendapat, persidangan koneksitas kasus Bantaqiah itu lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan politik Menteri Negara HAM saja, dan sama sekali tidak memperhatikan penyelesaian hukum menyeluruh untuk menyelesaikan soal Aceh. "Persidangan itu hanya untuk menunjukkan bahwa sudah ada persidangan, dan mengabaikan substansi dari tuntutan masyarakat Aceh yang menginginkan keadilan, bukan sekadar pengadilan," tegasnya. (nj/oki)