MASYARAKAT JANGAN TUNGGU PEMERINTAH

Jakarta, Kompas
Masyarakat tidak usah menunggu untuk menyelesaikan konflik Ambon, apalagi menyalahkan pemerintah. Masyarakat bisa membantu menyelesaikan sendiri dengan menerapkan semangat antikekerasan.    

Demikian dikatakan sosiolog UI Dr Imam B Prasodjo dalam diskusi Meneropong dan Mencari Jalan Keluar Konflik SARA di Jakarta, Rabu (21/6).

Sikap masyarakat terhadap pelbagai konflik horizontal, menurut Imam, bisa dianalogikan dengan kisah tenggelamnya kapal Titanic. Ketika penumpang di dek bawah mulai tenggelam, penumpang di dek atas masih berpesta. "Masyarakat tidak responsif karena belum tergerak meredakan konflik kalau belum tertimpa langsung," katanya.    

Imam mengusulkan sejumlah langkah untuk menyelesaikan konflik Ambon. Pertama, membuat social mapping untuk mendeteksi wilayah yang gawat dan yang tidak. Lalu, perlu segera dibentuk pasukan penjaga perdamaian (peace keeping force) yang terdiri dari relawan, TNI, dan polisi untuk menjaga agar wilayah yang telah reda tidak rusuh lagi.    

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Munir meragukan efektivitas pembentukan pasukan tersebut. Berdasarkan pengalaman Kontras, jelasnya, mediator dari luar Ambon sulit diterima oleh pihak yang bertikai dan aparat keamanan. Munir melihat konflik Ambon harus diselesaikan secara politis karena kasus itu dipicu oleh faktor politis. Faktor tersebut adalah perebutan akses kekuasaan dan ekonomi, proses justifikasi posisi elite dalam
berkonsolidasi, dan kekerasan oleh alat negara.

Menurut Imam, elemen masyarakat harus secara intensif dan ekstensif berkampanye antikekerasan. Media massa harus mengajak komunitas lokal berpartisipasi dan yang menjadi fokus kampanye adalah masyarakat di daerah konflik.

Selanjutnya, perlu dibentuk forum-forum dialog lokal. "Yang harus berdialog adalah pemimpin tiap kubu yang bertikai," ujarnya.     Terakhir, harus dibentuk pusat informasi pengungsian, agar masyarakat tahu ke mana kalau hendak membantu. "Harus ada aksi massif agar konflik tidak menjalar ke daerah lain," katanya.
 
Akar konflik SARA
Prasangka sosial, menurut anggota MPR Nursyahbani Katjasungkana, merupakan akar konflik SARA di Indonesia. Prasangka sosial muncul saat masyarakat kurang informasi. Terutama jika informasi itu mengenai identitas komunal dan distribusi sumber daya.

Prasangka sosial berdasar identitas komunal telah ada sejak terbentuknya negara Indonesia. Ironisnya, pemerintah Orde Baru justru menggunakan beda identitas itu untuk mengontrol dan merepresi. Orba bahkan mempertajam perbedaan dengan memberi hak-hak istimewa kepada beberapa kelompok masyarakat, berdasarkan kelas dan agama.    

Suburnya prasangka sosial di Indonesia juga akibat pemerintah Orba jadi satu-satunya lembaga yang berhak mengartikan simbol-simbol identitas komunal. Toleransi jadi jargon yang efektif untuk menyelesaikan konflik antar komunitas. Akibatnya, toleransi lebih menyerupai alat represi, karena dipaksakan oleh pemerintah dan tidak muncul dari pengertian antarkelompok itu sendiri. (p02/p03)