Konflik di Maluku: KETUA MPR SETUJU KEADAAN DARURAT

Jakarta, Kompas
Sejumlah kalangan menyetujui diterapkannya keadaan khusus untuk mengatasi konflik antarkelompok yang terus memburuk di wilayah Ambon dan Maluku. Bahkan, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais setuju diberlakukannya keadaan darurat sipil di Maluku.    

"Saya setuju sekali diberlakukan darurat sipil di Ambon. Jika perlu darurat militer karena satu nyawa anak bangsa sangat berharga dan tidak bisa dihargai dengan milyaran rupiah atau milyaran dollar," kata Amien Rais di Jambi, Minggu (25/6).

Sementara itu, Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra cenderung pada pemberlakukan status keadaan khusus di Maluku dengan mengundangkan terlebih dahulu Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Bila suatu wilayah dinyatakan dalam keadaan khusus, kata Yusril, dapat dilakukan isolasi terhadap wilayah tersebut karena penguasa khusus setempat berwenang mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengendalikan keadaan.

"Pemerintah besok (hari ini-Red) akan menyampaikan saran dan menyambut apa yang disampaikan DPR untuk segera mengundangkan sekaligus merevisi RUU PKB," kata Yusril di Jakarta, Minggu.    

Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Widodo AS (bukan jenderal seperti yang disebut Kompas kemarin-Red) mempersilakan pemberlakuan darurat sipil di Maluku. Panglima TNI juga menegaskan, TNI akan bertindak lebih tegas dan keras dalam mengatasi kerusuhan di Maluku.    

Penerapan darurat sipil yang mengacu pada UU No 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya dan penerapan sebuah wilayah dalam keadaan khusus sebagaimana tertuang dalam RUU PKB yang sudah disetujui DPR, memang mempunyai konsekuensi yang berbeda. Jika pemerintah akan memberlakukan keadaan khusus di Maluku, termasuk menutup Maluku dari orang luar, presiden tinggal menandatangani RUU PKB dan mengundangkannya serta memberlakukan Maluku dalam status khusus.

Dukungan pemberlakukan keadaan darurat sipil juga disuarakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Ketua Badan Pengurus Kontras Munir, kondisi di Ambon yang sudah sangat kacau tidak mungkin lagi diatasi dengan pendekatan yang biasa. Penerapan darurat sipil, perlu segera dilakukan untuk menghindarkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian materiil yang lebih besar.

Wakil Ketua Komnas HAM Bambang W Soeharto di Jakarta, Minggu malam, mengatakan, pemberlakuan darurat sipil di Ambon dan Maluku Utara lebih ideal menghentikan konflik yang terjadi di sana. Sebab, dalam status darurat sipil, TNI dan Polri bisa bertindak lebih tegas. Hal itu karena saat ini telah banyak pernyataan keprihatinan dari luar negeri, di antaranya dari Amerika Serikat. Jika Pemerintah tidak cepat bertindak, masalah akan bertambah dengan turut campurnya badan-badan asing.

Ketua DPRD Maluku Zeth Sahubarua mengatakan, tidak ada rencana pemberlakuan darurat sipil di Maluku. Yang ada adalah permintaan kepada Panglima Daerah Militer (Pangdam) XV/Pattimura Brigjen Max Tamaela untuk bertindak lebih tegas.    

Tidak setuju
Namun, sosiolog Universitas Indonesia asal Maluku Dr Thamrin Amal Tomagola menyatakan, tidak setuju terhadap pemberlakukan keadaan darurat sipil atau militer di Maluku karena hanya akan mengukuhkan cengkeraman teritorial di wilayah tersebut. Apalagi ada indikasi kuat yang menunjukkan, sejumlah aparat TNI ikut bermain dalam kerusuhan Ma-luku.

Daripada menutup wilayah Maluku, Thamrin justru menyarankan agar pemerintah mengundang Palang Merah Internasional dan membuka akses seluas-luasnya kepada pers asing maupun nasional. Bila keadaan semakin memburuk, sebaiknya pasukan PBB diminta datang.

Thamrin, yang yang baru beberapa bulan lalu, terjun di Maluku mengungkapkan, ia menemui saksi-saksi yang menyebutkan keterlibatan sejumlah aparat dalam kelompok yang bertikai. Ia juga mengecam Panglima XVI/ Pattimura Brigjen Max Tamaela yang dinilainya tidak mampu mengatasi keadaan.
   
UU PKB
Di sela-sela menghadiri Milad I Yayasan Al-Amiriyah, di Jakarta, Minggu, Yusril mengatakan, pemerintah akan segera memberlakukan UU PKB untuk mengefektifkan penanganan konflik-konflik yang terjadi di Tanah Air, yang hingga kini belum kunjung selesai. "Memang ada permintaan dari DPR agar UU PKB itu segera diundangkan," katanya.    

RUU PKB telah disetujui oleh DPR pada masa pemerintahan Habibie untuk disahkan menjadi UU, akan tetapi sekarang belum diundangkan oleh pemerintah, sehingga belum bisa diberlakukan.    

"Melihat perkembangan keadaan sekarang ini seperti terjadinya kerusuhan di mana-mana, dirasakan perlu sekali adanya dasar hukum bagi TNI untuk bergerak, dalam rangka mengamankan keadaan," jelas Yusril.    

Bila RUU tersebut tidak segera diberlakukan, maka yang dipakai untuk menangani berbagai konflik adalah dengan UU No 23/Prp/1959 yang isinya jauh lebih keras dibandingkan dengan UU PKB.    

Ketika ditanya tentang apa saja yang akan direvisi dalam RUU tersebut, Yusril mengatakan, pemerintah menghendaki adanya revisi mengenai hal-hal yang menghambat upaya untuk segera menyatakan suatu keadaan tertentu yang berlaku di suatu daerah, yaitu keadaan khusus, keadaan darurat, dan keadaan perang.

"Prosedurnya kan agak panjang yaitu gubernur memanggil sidang DPRD terlebih dahulu, dengan kesepakatan DPRD kemudian diajukan ke pemerintah pusat, baru kemudian dinyatakan keadaan itu khusus. Jadi prosedurnya agak panjang. Bagaimana caranya bisa lebih singkat, misalnya dengan konsultasi antara gubernur dengan pimpinan DPRD dapat mengusulkan kepada pemerintah pusat agar suatu daerah dinyatakan dalam keadaan khusus," katanya.

UU PKB, demikian Yusril, tidak mengenal istilah darurat sipil sebagaimana yang diatur dalam UU No 23/Prp/1959, tetapi yang dipakai adalah status keadaan khusus, keadaan darurat, dan keadaan perang. "Keadaan khusus ditetapkan manakala terjadi kerusuhan dan sulit dikendalikan dengan cara-cara biasa, sehingga perlu dibentuk Dewan Khusus yang dipimpin oleh gubernur, panglima militer setempat, kepolisian, juga dari kalangan masyarakat untuk mengendalikan
keadaan," katanya. (p03/oki/wis/Antara)