PEMERINTAH TAK PUNYA TAWARAN MEKANISME PENYELESAIAN ACEH

Jakarta, Kompas
Kondisi Aceh dua minggu terakhir semakin tidak menentu. Berbagai aksi kekerasan terjadi dan sudah memakan banyak korban jiwa. Ketegangan antara rakyat Aceh dengan aparat keamanan, khususnya dari Polri, semakin meningkat seperti tercermin pada persiapan sampai terselenggaranya Sidang Rakyat Aceh untuk Perdamaian (Sira Rakan), belum lama ini. Padahal, di wilayah Aceh masih berlaku Jeda Kemanusiaan.

Menurut Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman, inti permasalahan adalah, pemerintah tidak punya alternatif tawaran mekanisme untuk penyelesaian soal Aceh, sehingga dialog dengan seluruh komponen rakyat Aceh untuk penyelesaian soal Aceh tidak pernah dilakukan.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Munarman yang dilakukan di Jakarta hari Jumat (17/11).

Menurut Anda, apa sebenarnya substansi masalah sehingga soal Aceh terus berkepanjangan dan seperti tidak bisa diselesaikan?     Kalau dilihat dari apa yang terjadi, substansinya orang Aceh menginginkan ada formulasi ulang hubungan antara Indonesia dengan Aceh. Yang kedua adalah perlu ada kesepakatan soal mekanisme untuk menyelesaikan formulasi hubungan itu seperti apa? Kalau di pihak Indonesia, satu-satunya cara yang kita lihat dari praktik yang
dilakukan adalah dengan melalui pendekatan hukum dan pendekatan keamanan. Di Aceh, mereka menawarkan mekanisme lain yang dinamakan referendum. Artinya ada dua mekanisme yang berbeda. Kalau tidak ada dialog silang, misalnya soal mekanisme ini penyelesaiannya seperti apa, maka tetap peluang bagi operasi-operasi militer terbuka luas selama mekanismenya itu tidak disepakati.

Aceh itu kan berkembang sejak mulai pencabutan DOM, ketika itu tuntutannya adalah mengadili pelanggar HAM. Akan tetapi tuntutan ini tidak dipenuhi sehingga rakyat Aceh menuntut otonomi penuh, itu juga tidak direspon. Otonomi yang ditawarkan pemerintah adalah otonomi versi DPR yang sekarang. Yang dilakukan oleh Sira adalah menawarkan mekanisme penyelesaian soal Aceh, belum pada isinya. Dan itu yang sampai sekarang belum pernah disepakati. Selama mekanisme
penyelesaian itu tidak disepakati, memang akan susah.    

Namun, kalau mekanismenya melalui referendum, pemerintah pasti tidak ingin terulang seperti Timor Timur?
Memang harus ada pembicaraan tentang itu. Jadi tidak serta merta juga referendum harus disetujui. Itu yang belum pernah dicoba. Penawaran mekanisme ini yang paling penting bukan cuma dengan GAM atau dengan SIRA, tetapi dengan seluruh elemen masyarakat Aceh. Itu yang belum pernah coba dilakukan oleh pemerintah. Jadi sebetulnya tidak ada kemajuan dalam mekanisme penyelesaian soal Aceh.

Apa Anda melihat pemerintah punya konsep untuk menyelesaikan soal Aceh?
Menurut saya faktor yang paling berpengaruh adalah memang pengalaman pemerintah dalam soal Timtim. Ada faktor trauma dengan kejadian Timtim. Ini terkait dengan faktor kedua, yaitu pemerintah sendiri tidak punya konsep bagaimana untuk menyelesaikannya, dan sepertinya terpaku bahwa referendum sebagai satu-satunya konsep alternatif, sehingga pemerintah bersikukuh pada mekanismenya sendiri yaitu pendekatan hukum dan keamanan.

Kalau begitu, apakah Jeda Kemanusiaan masih perlu?    
Jeda Kemanusiaan sebagai suatu titik terang harus dilihat sebagai satu indikasi bahwa GAM mau dibawa ke meja perundingan. Jeda Kemanusiaan jangan dilihat sebagai suatu instrumen penyelesaian, karena Jeda Kemanusiaan dibatasi oleh waktu dan apa yang diurus dalam Jeda Kemanusiaan pun ruang lingkupnya terbatas yaitu lebih ke bagaimana memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi di Aceh, bukan untuk menyelesaikan problem Aceh. Jeda Kemanusiaan itu
ditujukan untuk memberikan ruang bagi penyaluran bantuan kemanusiaan, tetapi syarat untuk itu sebenarnya adalah pemberhentian aksi-aksi militeristik.

Kalau Aceh betul-betul mau diselesaikan maka prasyarat utama adalah gencatan senjata antara GAM dengan Pemerintah Indonesia. Selain gencatan senjata, ditetapkan juga zona-zona damai dan zona-zona demiliterisasi. Memang problem yang paling krusial adalah soal pihak mana yang akan jadi pemantau dalam gencatan senjata. Namun, itu semua bisa dibicarakan di meja perundingan dan itu harus melibatkan komponen-komponen masyarakat Aceh. Kalau gencatan senjata bisa disepakati, baru bisa masuk ke tahap perundingan untuk menyelesaikan formulasi konsepnya.

Untuk pengawasan gencatan senjata, kalau pengawasnya aparatur Indonesia, tidak akan pernah bisa netral dan tidak akan bisa diterima GAM maupun rakyat Aceh. Tetapi, kalau pengawasnya dari negara Barat, pemerintah Indonesia juga khawatir. Oleh karena itu, bisa saja kita minta pengawasnya dari negara ASEAN, itu memungkinkan, misalnya Malaysia dan Thailand. Ini perlu disepakati oleh kedua belah pihak pada perundingan di Geneva itu.

Apa perundingan masih dimungkinkan, mengingat tuntutan untuk melakukan referendum itu kini semakin keras?
Yang menjadi point penting, kenapa rakyat Aceh maju mundur dalam melakukan perundingan? Itu karena mereka mengalami kalaupun ada perundingan di meja, tanpa ada gencatan senjata, tembak-me-nembak terus terjadi dan mereka menjadi korban. Oleh karena itu gencatan senjata itu bagian penting dari pemulihan kepercayaan rakyat Aceh.

Mengapa Jeda Kemanusiaan tidak mampu menghentikan aksi-aksi kekerasan para pihak dalam masalah Aceh?
Sebabnya tidak ada tindak lanjut setelah adanya Jeda Kemanusiaan itu. Tetapi, itu bukan kegagalan Jeda Kemanusiaan, karena Jeda Kemanusiaan tidak ditujukan untuk menyelesaikan soal Aceh. Soal kemanusiaan yang diatur dalam Jeda Kemanusiaan hanya sebatas soal pangan dan papan. Itu pun bagaimana bisa sukses kalau sumber dayanya tidak dikumpulkan, kemudian ada soal birokrasi, siapa yang menyalurkan?

Apakah soal Aceh bisa diselesaikan dua pihak, pemerintah dan GAM?
Tidak. Pemerintah dan GAM itu hanya membuat prasyarat. Prasyaratnya yaitu gencatan senjata. Kalau prasyaratnya terpenuhi maka harus dilakukan perundingan menyeluruh antara pemerintah dengan seluruh elemen masyarakat Aceh, bukan cuma dengan GAM penyelesaian itu. Pemerintah lupa, soal-soal otonomi dan federal hanya dibahas di DPR di Jakarta. Pemerintah lupa, wakil-wakil Aceh di DPR itu tidak mewakili sama sekali, karena pada Pemilu 1999 lalu tidak sampai 15
persen orang Aceh yang menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu, semestinya tawaran yang diajukan DPR harus diajukan lewat perundingan dengan berbagai elemen masyarakat Aceh. (oki)