KEJAKSAAN AGUNG INGIN JADI PENUNTUT TUNGGAL

Jakarta, Kompas
Pemerintah hendaknya menghapuskan wewenang penuntutan oleh oditur militer dan mengembalikan fungsi penuntut tunggal negara pada jaksa di Kejaksaan Agung. Dualisme penuntutan-jaksa dan oditur militer-seperti yang berlaku sekarang ini sering menyebabkan penanganan kasus pidana yang melibatkan orang sipil dan militer tidak bisa cepat ditangani. Salah satu contoh adalah lambatnya penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh.

"Kita mencatat memang perkembangan penanganan kasus di Aceh agak lambat dan ini telah membawa dampak juga pada suasana perkembangan sosial politik. Karena itu di masa yang akan datang memang sebaiknya wewenang untuk menuntut personel ABRI atau TNI dalam hal ini, dikembalikan kepada kejaksaan agung sebagai jaksa tentara agung. Ini penting agar tidak terjadi dualisme penuntutan terhadap siapa pun yang melanggar hak asasi manusia tanpa membedakan apakah itu dari TNI atau bukan," kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pers di Jakarta, Rabu (29/11).

Untuk itu, kata Marzuki, saat ini pihaknya sedang bekerja ke arah pemantapan untuk mengembalikan fungsi kejagung melakukan penuntutan terhadap personalia TNI. Sebagai langkah awal, hal itu sudah disampaikan ke MPR.

Soal dualisme penuntutan tersebut tersirat dalam Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada ayat (1) disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri kehakiman, perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Namun, penyidikan perkara dalam kasus seperti tersebut di atas, dilaksanakan oleh satu tim penyidik yang terdiri dari jaksa dan polisi militer ABRI, serta oditur militer atau oditur militer tinggi. Tim ini dibentuk dengan surat keputusan bersama menteri pertahanan dan keamanan serta menteri kehakiman. Jika hasil penyidikan
menunjukkan, kerugian yang ditimbulkan terletak pada kepentingan militer maka kasus itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Demikian sebaliknya.

Berkaitan dengan kasus di Aceh, pemerintah membentuk Komisi Independen Penyelidikan Pelanggaran HAM dan tindak pidana di Aceh yang diketui oleh Jaksa Zamzami. Dari lima perkara yang diajukan oleh komisi ini, empat perkara melibatkan personel TNI.    

Marzuki mengatakan, kejagung telah menerima dokumen tentang pembantaian yang dilakukan oleh Kopasus di Aceh pada bulan Desember tahun dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras). "Kontras menyerahkan berkas dokumen itu ke kejaksaan agung dan itu menjadi bagian dari proses penyidikan oleh komisi yang diketuai Pak Zamzami," jelas Marzuki.

Dokumen dari Kontras tersebut, kata Marzuki, merupakan dokumen umum menyangkut kebijakan dari TNI pada masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. "Ada tidaknya DOM itu enggak kita persoalkan tetapi nyatanya dalam masa itu telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dapat ditafsirkan sebagai suatu kebijakan yang telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di sana," katanya. (ika)