PEMERINTAH AJAK DPR “LUPAKAN” RUU PKB

Jakarta, Kompas
Pemerintah mengajak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk "melupakan" Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disetujui pemerintah dan DPR pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Akan tetapi, RUU PKB tersebut sampai sekarang belum disahkan menjadi undang-undang karena isinya dinilai militeristik dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Untuk mengganti RUU PKB, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menawarkan RUU tentang Keadaan Darurat kepada DPR. RUU tersebut diajukan Departemen Kehakiman dan HAM dan disusun bersama oleh suatu tim yang terdiri dari unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM), ahli hukum tata negara, dan para pemerhati serta aktivis HAM.

Demikian kata Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Pertahanan Moh Mahfud MD dalam jumpa pers bersama setelah sidang kabinet di Bina Graha, Jakarta, Kamis (25/1). Dalam kesempatan itu juga hadir Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak dan Juru Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar.

Saat sidang kabinet sedang berlangsung, terjadi aksi unjuk rasa di depan Gedung Bina Graha, Jakarta, yang selama rezim Orde Baru dikenal sebagai kawasan steril. Demonstrasi yang dilakukan Koalisi Organisasi Non Pemerintah untuk Demokrasi dan HAM itu juga meminta agar pemerintah tidak mengesahkan RUU PKB. Dalam aksi tersebut, antara lain terlihat Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman.
 
Konsultasi dengan DPR
Sidang kabinet dipimpin Wakil Presiden (Wapres) Megawati Soekarnoputri, dihadiri Presiden Abdurrahman Wahid dan para menteri. Menurut Mahfud, pemerintah memutuskan untuk tidak dulu mengesahkan RUU PKB seperti diperkirakan sebelumnya yang akan diundangkan bulan Januari 2001. Untuk itu, pemerintah akan datang ke DPR untuk melakukan konsultasi sekaligus mengajak DPR untuk "melupakan" RUU PKB.

"Sulit untuk mencari istilah yang bisa digunakan untuk menganggap RUU PKB tidak ada, tetapi kita ingin agar itu tidak diundangkan dan membuat RUU yang baru. Memang ada problem yuridis, yang tadi dibahas agak seru di sidang kabinet karena RUU PKB sudah secara sah dan prosedural dibahas DPR dan pemerintah waktu itu," kata Mahfud.

Pemerintah, lanjut Mahfud, sebenarnya tidak ingin mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan pemerintah Orde Baru. "Kita tidak ingin mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan Pak Harto ketika secara semena-mena mengembalikan RUU Penyiaran yang telah disetujui DPR. Di era reformasi, kita tidak ingin ada presiden yang suka mengembalikan RUU yang sudah disetujui DPR," tambahnya.

Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pada akhir Oktober 2000 dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dengan Presiden dan Wapres, Ketua DPR Akbar Tandjung waktu itu menyampaikan permintaan DPR agar pemerintah segera mengesahkan RUU PKB.

Secara teori, UU PKB dapat dinyatakan berlaku kalau sudah diundangkan. Akan tetapi, karena RUU itu belum ditandatangani Presiden, UU PKB belum bisa diberlakukan.

"Kecuali, setelah adanya amandemen kedua UUD 1945 yang menyatakan, dalam 30 hari kalau Presiden dan DPR sudah menyetujui suatu RUU namun tidak segera diundangkan, maka otomatis hal itu berlaku. Sementara RUU PKB disetujui Presiden (Habibie) dan DPR sebelum amandemen kedua UUD 1945," tambah Yusril. 

Situasi dilematis
Sebelumnya sudah beberapa kali dilakukan konsultasi antara pemerintah dan DPR untuk mencari kesepakatan menyangkut RUU PKB. Mulanya, pemerintah berkeinginan agar UU PKB diundangkan dan bersamaan dengan itu dilakukan revisi terhadap UU PKB. Ketika itu, Wapres meminta agar masalah ini ditunda sampai Januari 2001.

Dalam pembahasan dalam sidang kabinet, Kamis kemarin, jelas Yusril, diputuskan agar beberapa menteri, seperti Menhan, Menko Polsoskam, Menkeh dan HAM, Kepala Polri dan Panglima TNI, untuk melakukan konsultasi dengan pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan ketua-ketua komisi di DPR yang terkait dengan masalah ini.

Berkaitan dengan RUU PKB, jelas Yusril, pemerintah saat ini dihadapkan pada situasi yang dilematis sehubungan dengan keadaan darurat sipil yang sekarang sedang diberlakukan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Pemberlakuan keadaan darurat sipil di kedua provinsi itu dilakukan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1959.    

"Sampai sekarang keadaan darurat sipil itu belum dicabut dan situasi keamanan yang mula-mula sudah mulai kondusif, dalam beberapa hari terakhir ini mulai terjadi lagi beberapa insiden, khususnya di Ambon. Beberapa waktu lalu juga terjadi beberapa insiden di Maluku Utara," papar Yusril.

Masalahnya sekarang, jelas Yusril, kalau sekiranya UU PKB diundangkan, maka sejak saat itu otomatis UU No 23/1959 dicabut karena klausul terakhir dari RUU PKB itu menyebutkan, dengan berlakunya UU PKB maka UU No 23/1959 dicabut.

"Lalu konsekuensinya, keadaan darurat sipil yang diberlakukan di Maluku dan Maluku Utara kehilangan landasan hukumnya. Dengan demikian, keadaan darurat sipil di kedua provinsi itu juga berakhir. Kalau begini, kita dihadapkan pada risiko yang sangat besar kalau terjadi pergolakan atau konflik besar-besaran di sana. Kita tidak bisa lagi mengatasi keadaan," ujar Yusril.

Menghadapi situasi yang serba sulit seperti itu, tutur Yusril, kalau kita mau merevisi RUU PKB, tidak mungkin RUU direvisi. Bisa direvisi kalau RUU PKB sudah diundangkan. Akan tetapi, kalau diundangkan, keadaan darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara otomatis harus dicabut.

"Kita tidak berani menanggung risiko terhadap itu. Kita sudah hampir dihadapkan pada jalan buntu menghadapi masalah ini. Kalau kita sekarang mau mengganti keadaan darurat sipil dengan keadaan khusus seperti dalam istilah RUU PKB, maka inisiatif untuk itu harus datang dari gubernur dan diperlukan persetujuan DPRD," jelasnya.

Sementara, lanjut Yusril, DPRD di Maluku Utara belum terbentuk dan DPRD di Maluku pun  tidak dapat berfungsi secara normal. Dengan demikian, untuk menyatakan keadaan khusus berdasarkan UU PKB, hampir tidak mungkin. "Jadi, kita dihadapkan pada risiko keamanan di kawasan itu," ujarnya. (gun/mba)