KELUARGA KORBAN TETAP INGINKAN PENGADILAN HAM “AD HOC”

Jakarta, Kompas
Keluarga korban Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, belum mempercayai militer meskipun berulang kali, pimpinan TNI dan Polri berjanji tidak akan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat negara.

"Kami tetap belum percaya pada TNI dan Polri meskipun berulang kali gembar-gembor ingin kembali menjadi alat negara yang tidak memihak. Kalau mereka benar demikian, mengapa mereka tidak merelakan para petinggi mereka yang menjadi alat kekuasaan di masa lalu diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc" kata Bagus Yoga Nandita, ayah Elang Mulia Lesmana (19) kepada Kompas, Rabu (20/6), di Jakarta. Elang adalah mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak aparat keamanan 12 Mei 1998 lalu.

Bagus mengatakan, setelah mengikuti sidang Mahkamah Militer II-8 di Jakarta, Senin lalu, dirinya beranggapan, oditur militer membatasi masalah hanya pada tanggung jawab individu pelaku di lapangan. "Tidak tampak adanya gugatan mengenai tanggung jawab garis komando di tubuh Polri lebih-lebih TNI. Oleh karena itu, saya lebih percaya pada Pengadilan HAM Ad Hoc meskipun di Pansus DPR sendiri kemungkinan besar bakal terjegal karena sikap Fraksi TNI dan Partai
Golkar (Golongan Karya)," tegasnya.

Arief Priyadi, orangtua mendiang Bernardinus Realino Norma Irmawan (20), mahasiswa Fakultas Ekonomi, Akuntansi, Unika Atma Jaya Jakarta, mengemukakan hal senada. "Saya juga belum percaya pada TNI dan Polri. Alasannya sederhana, mereka belum berubah dan secara membabi buta masih mengutamakan loyalitas korpsnya. Kedua lembaga ini masih seperti sebuah negara dalam negara dan masih memosisikan diri sebagai warga negara kelas satu di atas warga sipil," tuturnya.

Di tempat lain, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), serta Tim Advokasi Trisakti, Selasa lalu, mengecam keras persidangan kasus penembakan mahasiswa Trisakti-setelah melewati masa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan selama tiga tahun. Sebab, persidangan itu ternyata menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak berfungsi dengan cukup baik untuk mengharapkan bahwa kasus tersebut akan diadili dengan menghukum semua pelakunya, baik di lapangan maupun pemberi perintah di level pimpinan
TNI."

Mereka menuntut TNI bertanggung jawab atas persidangan yang jelas-jelas melokalisir persoalan. (win)