PENGAWALAN HAKIM AGUNG DILAKUKAN SECARA SELEKTIF

Jakarta, Kompas
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indonesia Corrup-tion Watch (ICW) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, kematian Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita hendaknya merupakan kasus terakhir yang terjadi di negara ini. Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, polisi harus memberi pengawalan terhadap hakim-hakim yang menangani kasus besar atau yang menjadi perhatian publik.

Demikian pernyataan bersama empat organisasi nonpemerintah pemerhati hukum dan hak asasi manusia di Kantor YLBHI Jakarta, Jumat (27/7). Pernyataan itu disampaikan Munarman dari Kontras, Amirudin dari Elsam, dan Donny Ardyanto dari ICW.

Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Taufiq, anggota DPR Patrialis Akbar, dan praktisi hukum Mohammad Assegaf sependapat dengan perlunya pengawalan secara selektif. "Saya kira, tak perlu hakim agung seluruhnya mendapat penjagaan atau pengawalan. Tetapi, kalau mereka yang menangani perkara yang berat dan kemungkinan mengancam jiwanya, bisa saja mendapatkan pengawalan. Apa yang terjadi pada Pak Syafiuddin Kartasasmita adalah kasuistik," jelas Taufiq.

Patrialis berpendapat serupa. "Memang tidak seluruh hakim agung harus dikawal, tetapi mereka yang sedang menangani kasus-kasus yang berat dan berisiko seharusnya mendapatkan pengawalan. Kasus penembakan terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita bisa membuat hakim-hakim agung yang lain pun ‘kecut’, kalau mereka tidak mendapatkan perlindungan yang memadai," kata Patrialis.

Munarman mengemukakan, pengawalan khusus bukan hanya untuk hakim agung, melainkan juga untuk hakim-hakim di pengadilan tingkat pertama. Misalnya, hakim yang mengadili koruptor kakap atau kejahatan ekonomi kelas berat. Untuk kasus hakim agung Syafiuddin, polisi harus mampu mengungkap kasus ini kepada publik. "Jangan hanya retorika mengatakan ini kasus VIP, namun penanganannya hanya biasa saja," kata Munarman, Ketua Badan Pekerja Kontras.

Assegaf menambahkan, tidak mudah apabila semua hakim agung atau semua hakim harus mendapatkan peng-awalan. Karena, jumlah aparat yang dibutuhkan sangat banyak. Di sisi lain, tidak efektif pula penjagaan terhadap seluruh hakim. Justru yang dibutuhkan, adalah kepekaan dari hakim agung atau hakim itu sendiri terhadap perkara yang ditangani. Apabila dia merasa perkara itu berisiko, hakim agung dan hakim dapat meminta pengawalan dari aparat.

Teror
Pembunuhan hakim agung, menurut empat ornop ini, merupakan bentuk teror terhadap proses penegakan hukum sekaligus ancaman terhadap supremasi hukum. Peristiwa itu juga menunjukkan bahwa hambatan penegakan hukum di Tanah Air semakin bertambah. Bukan lagi sekadar cara manipulatif di pengadilan melainkan sudah masuk era baru hukum rimba yang tidak beradab, mengandalkan senjata, kekuatan dan kekerasan.

Munarman menambahkan, penembakan terhadap hakim agung merupakan "proklamasi" terhadap munculnya kejahatan terorganisir di Indonesia. Kejadian tersebut juga merupakan teror konkret yang bukan lagi sekadar ancaman kosong. Ada pesan khusus yang ingin disampaikan dalam kasus ini, yakni agar para penegak hukum menjadi ciut nyalinya.

"Ini persoalan serius bangsa ini. Profesionalisme polisi seperti yang digembor-gemborkan Bimantoro (Kepala Polri) akan diuji dalam kasus ini. Bimantoro jangan hanya pandai ngomong politik soal tongkat komando. Kalau polisi tidak mampu, nyata bahwa kemampuan polisi kita baru sebatas slogan dan retorika saja. Tujuannya hanya untuk membangun image ditengah kebobrokan mental anggotanya," kata Munarman. (tra/sah)