PERADILAN HAM DAPAT MENJADI PERADILAN TERBURUK DI INDONESIA

Jakarta, Kompas
Peradilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc yang akan digelar bulan Desember nanti dikhawatirkan menjadi peradilan terburuk di Indonesia. Indikasi tersebut dapat dilihat dari rangkaian persiapan, mulai dari kesiapan jaksa, hakim, sampai struktur/substansi hukum. Semua itu dinilai belum cukup mendukung sebuah pengadilan yang obyektif, imparsial, cermat, fair, serta memiliki integritas tinggi.

Demikian dikatakan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir pada seminar berjudul Menyongsong Pembentukan Peradilan HAM di Indonesia, di Jakarta, Kamis (15/11).

Pada kesempatan sama, praktisi hukum senior Adnan Buyung Nasution mengatakan, peradilan HAM Indonesia bakal menemukan berbagai kendala berat. Penyebabnya, peradilan HAM merupakan kasus pertama dan sama sekali baru, terutama dari tindak pidana yang dirumuskan sebagai pelanggaran berat HAM.

Kedua, tekanan psikologis dalam negeri sudah telanjur terbentuk dan menimbulkan amarah umum terhadap peristiwa pelanggaran HAM. Dan ketiga, tekanan psikologis internasional yang juga sudah terbentuk bahwa aparat TNI/Polri dianggap bersalah dalam berbagai kasus, misalnya Timor Timur (Timtim).

Anggota Komisi II DPR Firman Djaya Daeli menambahkan, pandangan politik yang menggema di Senayan menyangkut kasus Timtim, juga masih mengganjal. Ada anggapan sebagian anggota DPR, nasionalisme harus diletakkan lebih tinggi dari kemanusiaan. Atau ada yang mengatakan, buat apa serius mengadili kasus Timtim sedangkan negara itu bukan bagian dari Indonesia lagi.

Menurut Munir, secara substansi yuridis, bukti-bukti yang diminta dari Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM tidak memberi jawaban untuk mengadili kejahatan yang bersifat extraordinary crime. Dari gambaran jaksa seusai menyidik kasus Timor Timur, unsur pembuktian lebih ditekankan pada pola Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Undang-undang No 26/2000 belum memberi ruang, apakah pengalaman internasional untuk pengadilan HAM dapat diadopsi. Kalau hakimnya hanya berkutat pada keberadaan UU, sementara jaksa terjebak pada pembuktian KUHP, maka bakal banyak sekali kesulitan pembuktian pelanggaran HAM," ujar Munir.

Senada dengan dia, Nasution mengatakan, beban pembuktian bakal menjadi persoalan tersendiri dalam peradilan HAM. Landasan hukum apa yang akan dipakai dalam "mengekstradisi" kesaksian, visum et repertum dan alat bukti lain.

Kesulitan lain adalah standar bukti apa yang dipakai. Misalnya kejahatan seksual berupa perkosaan. Pertanyaannya, apakah diperlukan bukti nyata atau hanya pengakuan korban. Belum lagi persoalan teknis seperti dokumen tertulis seperti surat, telegram, faksimile, kliping koran yang merupakan bentuk fotokopian -karena tidak dapat diperoleh aslinya.

Munir menambahkan, beberapa dokumen yang dipakai Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timtim yang dipakai sebagai dasar argumentasi, justru tidak mendapat tempat di Kejaksaan Agung -dalam penyidikan. Bahkan bukan tidak mungkin, rangkaian peristiwa kekerasan dijadikan kasus terpisah. Otomatis, gambaran sistematis dan meluas sebagai dasar tuduhan pelanggaran berat HAM menjadi tidak terbukti.

"Kalau jaksa hanya menafsirkan peristiwa itu sebagai ordinary crime dengan unsur pembuktian KUHP, maka persidangan yang bakal berlangsung hanya merupakan strategi impunity. Output peradilan menjadi tiga. KPP berjalan dengan logikanya, jaksa dengan logikanya sendiri, dan hakim juga demikian," ucap Munir.

Meski demikian, ia mengatakan, apa pun alasannya, peradilan HAM Indonesia harus dilangsungkan walau hasilnya dibayangi pesimisme. (sah)