PEMBENTUKAN KEMBALI KODAM ACEH SEMAKIN DEKAT

Jakarta, Kompas 
Pembentukan kembali Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda di Aceh makin mendekati kenyataan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan "respons positif" atas usulan yang disampaikan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh dan para bupati di wilayah itu. Akan tetapi, rencana menghidupkan kembali Kodam di Aceh dinilai tidak tepat oleh para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan kalangan pengamat politik, di
samping dikhawatirkan akan mengulang kesalahan yang pernah dilakukan pemerintah dengan pelaksanaan daerah operasi militer (DOM) pada masa Orde Baru.

Sikap Presiden tersebut diungkapkan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno setelah bersama Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan para bupati di Aceh bertemu Presiden di Istana Negara Jakarta, Jumat (4/1). Namun sampai sekarang, kata Hari, Presiden belum menyatakan setuju atau tidak terhadap usulan tersebut karena masih harus dikaji lebih dulu dan akan didiskusikan dalam sidang kabinet.

Kepada wartawan, Puteh mengatakan, hingga saat ini pembentukkan Kodam Iskandar Muda masih dalam wacana. Sebaliknya Hari Sabarno mengungkapkan, persiapan pembentukan Kodam itu sudah ada meski perlu proses rekrutmen dan dana baru untuk merealisasikan usulan tersebut.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengemukakan, permintaan Puteh untuk membentuk kembali Kodam Iskandar Muda mengulangi langkah yang dilakukan Ibrahim Hasan-ketika meminta pengiriman pasukan ke Aceh yang diikuti dengan pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah itu. Ikrar mengkhawatirkan, pembentukan Kodam di Aceh bukannya membuat Aceh makin aman, tetapi sebaliknya akan meningkatkan eskalasi kekerasan, bukan hanya dilihat dari jumlah warga sipil yang menjadi korban, tetapi juga menumbuhkan sikap anti-Indonesia.

"Apa yang terjadi pada tahun 1989-1999 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Apalagi rakyat Aceh menginginkan agar persoalan di daerah itu diselesaikan dengan cara dialog, bukan dengan cara kekerasan atau secara militer," kata Ikrar yang memimpin serangkaian riset tentang militer dalam beberapa tahun terakhir.

Ikrar meminta agar Megawati bersikap tegas mengurungkan pembentukan kembali Kodam di Aceh. Dalam sejarah militer di Idonesia, menurut dia, tidak pernah ada operasi teritorial oleh Kodam, selain Kodam Siliwangi yang memperoleh simpati dari masyarakat setempat.

Pembentukan Kodam, kata Ikrar, merupakan bentuk penyebaran kekuatan militer secara permanen. Padahal, seharusnya penyebaran aparat militer bersifat sementara. Lagi pula, menurut RUU Pertahanan yang telah memperoleh persetujuan DPR untuk disahkan, penyebaran aparat militer harus dilakukan atas persetujuan DPR. Pembentukan Kodam sebagai wilayah pertahanan Angkatan Darat (AD), menurut Ikrar, juga tidak tepat dan tidak sesuai visi ke depan, karena seharusnya yang dibentuk adalah pangkalan militer yang mempersatukan semua angkatan, seperti Komando Wilayah Pertahanan.

"Bila wilayah pertahanan AD itu disebut Kodam, apakah TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut-Red) dan AU (Angkatan Udara-Red) bukan bagian dari militer?" kata Ikrar.     

Kepala Divisi Hak-hak Sipil dan Politik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman mengatakan bahwa pembentukan kembali Kodam di Aceh merupakan gagasan lama yang pernah ditolak rakyat Aceh. Menurut dia, rencana pembentukan Kodam di Aceh hanya merupakan bentuk lain dari tindakan militer untuk mengatasi problem di Aceh dan sebagai upaya cuci tangan pemerintah pusat terhadap masalah di daerah itu, seolah-olah masalah Aceh adalah persoalan lokal.

Ia meminta agar DPR, khususnya wakil rakyat dari Aceh, bersuara menentang pembentukan kembali Kodam di Aceh. "Integritas politisi Aceh untuk menyelesaikan soal Aceh patut dipertanyakan. Ada kecenderungan, mereka justru mendukung pembentukan kembali Kodam Iskandar Muda," kata Munarman.

Ketua Fraksi Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal Aceh Darussalam (NAD) Ahmad Farhan Hamid secara halus memang menyatakan dukungan terhadap pembentukan kembali Kodam di daerah itu. Menurut dia, kalau memang Kodam Iskandar Muda itu akan dikembalikan, jangan ada kesan ada militerisasi atau penguatan politik militer di provinsi tersebut.

Menurut Farhan, pengembalian Kodam Iskandar Muda ini mesti dilihat dalam nilai positif, yaitu memendekkan rentang kendali operasional yang selama ini berada di Kodam I/Bukit Barisan yang berada di Medan. Secara bertahap diharapkan pula prajurit TNI yang di-BKO (bawah kendali operasi-Red)-kan ke Provinsi NAD itu ditarik, kemudian diisi tentara organik yang diharapkan sebagian besar adalah putra-putra daerah yang memahami kultur daerah setempat.

Ketua Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman berpendapat, rencana menghidupkan kembali Kodam Iskandar Muda hanya menambah luka baru bagi rakyat. Penghidupan Kodam akan semakin mengesahkan tindak kekerasan yang dilakukan militer terhadap rakyat Aceh.    

Aktivis Kontras asal Aceh, Bustami Arifin, menambahkan, persetujuan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian anggota DPRD terhadap kehadiran Kodam sangat melukai hati rakyat. Usulan itu sangat tidak tepat, karena saat ini rakyat Aceh justru ingin agar jumlah militer dikurangi.

"Omongan Gubernur Aceh itu tidak benar dan harus ditarik kembali. Selaku warga Aceh, saya juga tidak setuju dengan usulan dia itu," kata Bustami. (wis/sah/gun/bur)