DI BALIK PENYERBUAN KANTOR KONTRAS

KANTOR Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Mendut Nomor 2 Jakarta Pusat berantakan. Kaca jendela dan komputer pecah. Kacanya berserakan di lantai. Sejumlah dokumen penting hilang. Akuarium yang selama ini menjadi hiasan ikut-ikutan kena amuk massa.

Penyerbuan kantor Kontras itu terkait erat dengan desakan sejumlah aktivis Kontras yang ikut dalam Komisi Penyelidik dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Trisakti dan Semanggi I-II untuk memanggil sejumlah perwira TNI/Polri. Sejumlah delegasi orangtua korban Trisakti dan Semanggi sempat mendatangi rumah Jenderal (Purn) Wiranto. Wiranto membantah dan menegaskan, dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan perusakan Kantor Kontras.

Adalah hak Wiranto untuk membantah. Namun, adalah kewajiban Polri untuk mengusut kasus penyerbuan Kantor Kontras tersebut. Pengusutan tidak hanya berhenti pada tingkat operator lapangan atau mereka yang kebetulan apes saja ketangkap polisi. Tujuh orang yang ditangkap polisi harus dijadikan titik awal pemeriksaan untuk mengetahui lebih jauh, siapa sebenarnya yang merencanakan dan menyuruh melakukan perusakan Kantor Kontras yang sangat gencar menyuarakan kasus pelanggaran HAM.

Kegagalan kepolisian untuk mengungkapkan aktor di balik kasus penyerangan Kantor Kontras akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada kepolisian. Kesimpulan bahwa penyerangan Kontras hanyalah tindakan kriminal biasa adalah kesimpulan yang terlalu menyederhanakan persoalan. Ada rangkaian peristiwa atau kejadian yang mendahului peristiwa yang bisa dijadikan acuan untuk melakukan penyelidikan.

Terlepas dari itu semua, penyerbuan Kantor Kontras dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Pertama, teror terhadap aktivis HAM dilakukan dengan pola-pola lama seperti yang dilakukan pada rezim Soeharto. Tentunya ada modifikasi dengan tidak langsung melibatkan aparat tetapi dengan memanfaatkan kelompok masyarakat sipil yang saat ini memang mudah dimobilisasi untuk kepentingan apa pun.

Kedua, dua peristiwa terakhir, penyerbuan Kantor Kontras dan "penghadangan" Forum Betawi Rempug (FBR) terhadap Masyarakat Miskin Kota merupakan indikasi adanya kecenderungan pihak-pihak tertentu untuk saling memperhadapkan masyarakat sipil dengan masyarakat sipil, sehingga apabila terjadi bentrokan yang bukan mustahil menimbulkan korban citra aparat keamanan tidak akan tercoreng. Aparat pun akan terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM. Banyaknya muncul organisasi massa, forum, kesatuan, atau apa pun namanya yang relatif tidak memiliki ideologi menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan. Peristiwa
itu sekaligus memunculkan pertanyaan: di mana dan bagaimana sosok civil society di Indonesia.

Ketiga, proses hukum terhadap ketujuh tersangka yang kini ditahan di Polres Jakarta Pusat harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan transparan. Pihak kepolisian harus dapat mengungkapkan apakah pelaku ini hanya menjadi orang suruhan atau tidak. Pasal yang dapat dikenakan pada pelaku adalah Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 353 Ayat (1) dan (2) KUHP (penganiayaan yang direncanakan) dan Pasal 406 Ayat (1) tentang perusakan barang.

Kebiasaan lama yang selama ini ada, yakni tidak tuntasnya pengungkapkan sebuah kasus jangan sampai terjadi. Kontras sudah menjadi korban pelanggaran HAM apabila kepolisian membiarkan kasus itu berlalu tanpa proses hukum yang tuntas. Jika itu terjadi, pihak kepolisian juga sudah melakukan pelanggaran HAM dengan kategori: by ommision, yaitu membiarkan terjadinya pelanggaran HAM.

Keempat, apabila hukum tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh kejadian akan merusak citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional dan bukan tidak mungkin menjadi penghambat masuk-nya investor ke Indonesia yang saat ini justru dibutuhkan oleh Pemerintah Indonesia.

Kelima, kejadian ini sesungguhkan merusak kredibilitas pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang lagi sungguh-sungguh melakukan upaya penegakan supremasi hukum. Apalagi, Presiden Megawati dari sejak dulu dikenal sebagai sosok yang antikekerasan. Bukan tidak mungkin penyerbuan Kontras juga mempunyai nuansa politis dengan tujuan merusak kredibilitas pemerintahan Megawati.

Segenap elemen bangsa ini secara terus-menerus harus dididik agar lebih mengedepankan proses dan prosedur hukum. Upaya main hakim sendiri harus dihentikan demi tegaknya negara hukum. 

Trimedya Panjaitan,
Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia