PENGADILAN HAM TIMTIM TERJEBAK ALUR PENGAMPUNAN

Jakarta, Kompas
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc peristiwa Timor Timur (Timtim) telah menunjukkan gejala awal kegagalan untuk mengupas tuntas peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan di daerah bekas provinsi Indonesia itu. Jaksa, hakim, dan penasihat hukum terjebak dalam alur yang diinginkan pemerintah untuk mengampuni (impunity) terdakwa pelaku pelanggaran berat HAM.

Demikian diungkapkan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Johnson Panjaitan dan Kepala Divisi Hak Sosial Politik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman pada pernyataan sikap Koalisi Pemantau Pengadilan HAM di Jakarta, Senin (22/4). Koalisi tersebut merupakan gabungan beberapa organisasi nonpemerintah (ornop) antara lain, Elsam, Kontras, Judicial Watch, KRHN, PBHI, dan YLBHI.

Munarman mengatakan, proses pembuktian yang dilakukan persidangan di luar kelaziman, yakni memanggil saksi meringankan terlebih dahulu. Sejak awal tampak ada upaya merekonstruksi pelanggaran HAM Timtim menjadi peristiwa pembunuhan biasa.

Panjaitan menambahkan, saksi yang dihadirkan jaksa pada proses pemeriksaan awal juga sangat tidak relevan. Misalnya, yang dipanggil adalah saksi meringankan, seperti mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto atau mantan Panglima Kodam Udayana Mayjen Adam Damiri. Anehnya, jaksa justru juga tidak terlihat ngotot untuk membuktikan dakwaannya.

"Jaksa ad hoc kasus HAM Timtim bukan orang yang tidak punya kapasitas. Mereka rata-rata jaksa senior yang memiliki jam terbang tinggi. Kalau mereka tidak ngotot bertanya, itu karena ada hal yang tersembunyi yang menekan mereka," kata Panjaitan.

Dari alur yang disampaikan para saksi, tambah Panjaitan, ada tiga hal yang ingin dicapai. Pertama, ingin dibentuk opini publik bahwa persidangan Timtim adalah hasil tekanan internasional. Kedua, masyarakat disodorkan fakta sepihak bahwa peristiwa crimes against humanity muncul karena kecurangan Unamet.

Ketiga, kerusuhan Timtim merupakan "perang saudara" antara kelompok pro-integrasi dan prokemerdekaan, tanpa campur tangan TNI/Polri.

Dalam pernyataan yang disampaikan Ori Rahman dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), seharusnya jaksa penuntut umum menghadirkan saksi korban terlebih dahulu. Hal itu dimaksudkan agar persidangan mendapatkan fakta materil yang obyektif. Untuk mendatangkan saksi korban, mau atau tidak dan suka atau tidak, Pemerintah Indonesia/Jaksa Agung harus bekerja sama dengan Untaet/Pemerintah Timtim. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan mekanisme internasional HAM untuk melakukan pemantauan terhadap proses peradilan agar jujur dan tidak memihak. (sah)