DEFINISI SEPIHAK ANTITERORISME PERLEMAH NEGARA BERKEMBANG

Nusa Dua, Kompas
Definisi antiterorisme dalam kesepakatan di berbagai konferensi internasional yang sepihak akan memperlemah negara berkembang, khususnya dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Praktik-praktik antiterorisme akan membuat belanja militer di dunia yang sekitar 2,2 milyar dollar AS per hari saat ini tidak mungkin turun. Padahal, jumlah itu cukup untuk imunisasi anak-anak miskin di negara berkembang selama setahun.

Dalam diskusi yang membahas soal antiterorisme dan pembangunan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Indonesia People’s Forum (IPF) di Grand Hyatt Nusa Dua, Kamis (30/5), muncul pendapat bahwa praktik antiterorisme hanyalah proyek negara maju dan kaya.

"Mereka menentukan apa itu terorisme, siapa teroris, dan siapa pahlawan. Menurut saya, proyek antiterorisme semata-mata untuk mempertahankan dominasi AS menjadi dominasi berkelanjutan," ujar Dadang, aktivis Komite Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras).

Teddy dari Filipina mengungkapkan bagaimana Amerika Serikat (AS) mengerahkan sumber daya militernya guna memburu kelompok gerilya Muslim Abu Sayyaf. AS telah mengirim 330 ahli mesin (peralatan perang), 300 tentara dan pendukungnya, serta 6.000-7.000 personel paramiliter, militer, serta polisi. AS bahkan menyediakan dana 25 juta dollar AS bagi penangkap lima pimpinan kelompok tersebut.

Pembicara dari Departemen Dalam Negeri AS, John Davidson, sempat merah padam karena dalam diskusi itu AS dituding sebagai negara kaya yang ingin menjustifikasi tindakannya memerangi terorisme atas nama pengentasan orang miskin. "Ada kaitan antara antiterorisme dengan pembangunan berkelanjutan. Memerangi terorisme akan memberikan manfaat kepada rakyat untuk meninggalkan kemiskinan," ujar Davidson.

Dengan suara terbata-bata, Khalid Hussain, wartawan dari Multan Pakistan, menegaskan, terorisme tidak perlu didefinisikan, karena siapa pun yang mendefinisikan terorisme hanya melakukan justifikasi pada apa yang mereka lakukan.

"Membicarakan terorisme tidak sesederhana menghitung jumlah korban. Banyak orang di negara saya yang semakin miskin ketika terjadi perang antiterorisme melawan Afganistan," ujarnya sambil sesekali tercekat.

Wakil dari Indonesia, Djumala Darmansjah, menegaskan, pendekatan antiterorisme sebaiknya dari segi sosial-ekonomi, karena akar terorisme adalah kemiskinan. "Dengan pendekatan militer, yaitu memberikan bantuan untuk pembelian senjata, memang lebih mudah. Namun, lebih baik jika dilakukan pendekatan sosial-ekonomi," ujarnya. (ISW/MH)