PENGUNGSI ACEH KELUHKAN PAKSAAN LEPAS STATUS

Jakarta, Kompas
Selain dianggap tidak memperhatikan nasib pengungsi asal Aceh, pemerintah pusat dinilai hendak melepaskan tanggung jawab dengan "menekan" para pengungsi untuk melepaskan status pengungsi. Sebagai imbalan, pemerintah menyediakan uang Rp 2.750.000 per keluarga. Hal ini lantas dipandang sebagai upaya pemerintah untuk memaksa pengungsi mencari hidup sendiri tanpa membebani negara. 

Demikian benang merah pertemuan antara perwakilan pengungsi Aceh yang tergabung dalam Forum Pengungsi Asal Aceh dan Solidaritas Mahasiswa Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi) untuk Pengungsi Aceh di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Senin (15/7). Pertemuan dipandu oleh Syamsul Bahri dari Divisi Hak Sipil dan Politik (YLBHI). 

M Jamingin, transmigran asal Jawa yang kini menjadi pengungsi asal Rantaupanjang, Aceh Timur, mengaku sudah bermukim selama 21 tahun di Aceh. Dia tidak menganggap dirinya sebagai pendatang, melainkan warga asli Aceh, mengingat anak-anaknya, juga cucunya, lahir dan tumbuh di Aceh. "Rumah, kebun, dan harta yang tersisa terpaksa kami tinggalkan karena situasi keamanan tidak memungkinkan. Di Medan saya bekerja mocok-mocok (serabutan-Red). Kadang menjadi
tukang becak atau buruh," ujar Jamingin. 

"Kami tidak keberatan menanggalkan status pengungsi, karena kami pun merasa jijik dengan status itu. Mari kita renungkan bersama, apakah cukup uang Rp 2.750.000. Sesederhana itukah penyelesaian pemerintah, beginikah cara pemerintah mempertanggungjawabkannya? Apakah dana sebegitu dapat kami jadikan bekal dan modal hidup di tanah pengungsian? Kami menilai pemerintah ingin cuci tangan dan lari dari tanggung jawab," ujar Hasby. 

Ia menambahkan, mereka siap mencari kehidupan baru bila pemerintah memberi kompensasi Rp 7.500.000 per keluarga. Ditambah dengan dispensasi kesehatan selama satu tahun dan dispensasi pendidikan buat anak selama dua tahun, serta harta yang tertinggal di Aceh tetap dalam catatan.
 
Jangan paksa darurat 
Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) asal Aceh Bustami Arifin mengharapkan agar pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan keadaan darurat sipil atau darurat militer di Aceh karena kebijakan itu justru akan memperparah keadaan. Penyelesaian masalah Aceh, kata Bustami, harus tetap mengedepankan cara-cara dialog tanpa kekerasan dan disampaikan secara transparan kepada masyarakat. 

"Penerapan status darurat militer akan menjadi bencana besar bagi rakyat Aceh," ujar Bustami di Jakarta, kemarin. 

Menurut dia, dihidupkannya kembali Komando Daerah Militer (Kodam) Aceh yang dipaksakan, kini terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan.  (sah/wis)