NTELIJEN INDONESIA TERKONTAMINASI

Haris Rusli
Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Terorisme, merupakan gejala yang berdiri sendiri. Ada beberapa kekuatan yang mesti bertanggung jawab terhadap munculnya terorisme. Pertama, adalah kekuatan imperialisme global yang memperluas kekuasaan modalnya, tapi tidak menciptakan tata dunia baru. Politik luar negeri menjadi bagian dari persaingan internasional. Peperangan dan serangan terhadap rakyat sipil dengan menggunakan bom, walaupun salah, merupakan reaksi atas kebijakan yang tidak adil.

Kekuatan kedua adalah pemerintahan dunia ketiga yang menjadi kaki tangan imperialisme global. Kebijakan ekonomi dan politik yang diambil tidak membawa keadilan, tetapi justru menutup jalur-jalur demokrasi. Akibatnya, kelompok yang merasa tersingkir memilih teror sebagai cara mendapatkan pengaruh politik.

Terorisme, juga muncul akibat salah pandang kelompok-kelompok agama yang radikal terhadap masalah ekonomi dan politik internasional. Semua dilihat dari kacamata etnis, ras, dan agama, seolah-olah perang antara kaum kafir melawan Islam.

Peristiwa pengeboman di Bali, menimbulkan kecemasan di kalangan aktivis prodemokrasi terhadap kekuatan antidemokratis, yang ingin mengembalikan lagi negara diktator. Ini akan menjadikan alasan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Antiterorisme. Perpu tersebut bagaimanapun, sangat represif dan kehadirannya akan membahayakan proses demokrasi. Saya khawatir kasus pengeboman Bali akan dipergunakan oleh kekuatan fundamentalis untuk mengarahkan persoalan yang ada sebagai persoalan agama. Tapi, saya juga khawatir fenomena Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Perpu
Antiterorisme akan menjadi dasar legitimasi bagi tentara untuk berkuasa kembali.

Oleh karena itu, menurut saya, logis munculnya tuntutan dibentuknya tim investigasi independen internasional untuk mengusut kasus pengeboman di Bali. Tanpa tim investivasi independen, saya khawatir aktor-aktor pengeboman Bali akan diarahkan pada kelompok-kelompok Islam radikal. Tapi, saya harap, kalaupun tokoh
fundamentalis itu nantinya terbukti terlibat pengeboman tersebut, secara terbuka mereka harus rela menyerahkan tokoh-tokoh yang "mengotori" Islam dengan kekerasan.

Munir
Anggota Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Analisis konspirasional, apakah CIA dan Amerika Serikat ataukah Al Qaeda, di belakang kasus pengeboman di Bali sama-sama tidak bisa menjawab persoalan. Semua penjelasan konspirasional, selalu diwarnai sentimen masing-masing. Kelompok-kelompok radikal Islam selalu menganalisis peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap warga sipil sebagai rekayasa CIA, sebaliknya Amerika Serikat dan sekutunya selalu memandang Islam dengan cara analisis yang sama.

Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang adalah investigasi yang betul, ditopang dengan kejujuran dan kontrol efektif dari masyarakat terhadap investigasi pengeboman di Bali. Kecurigaan dalam masyarakat tidak akan hilang apabila negara gagal menjelaskan apa dan kenapa peristiwa pengeboman di Bali terjadi.

Peristiwa di Bali akan menyeret Indonesia dalam perang melawan terorisme. Namun, yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia bukannya perang melawan terorisme, tetapi menggunakan isu terorisme untuk tujuan politik pemerintah, TNI, maupun partai politik.

Kelompok-kelompok radikal Islam hanyalah korban antara dari gerakan antiterorisme di Indonesia. Target lebih jauh adalah pembatasan-pembatasan terhadap otoritas masyarakat sipil. Saya khawatir kelompok-kelompok marginal yang dalam perjuangannya rentan terpancing menggunakan kekerasan akan menjadi korban.

Sekarang yang menjadi target adalah kelompok-kelompok Islam militan yang tengah menjadi sorotan internasional. Namun, suatu saat bisa mengarah pada buruh, petani, atau masyarakat miskin kota.

Ada dua potensi penyalahgunaan kekuasaan negara yang muncul akibat perang melawan terorisme. Pertama, adalah pembentukan lembaga-lembaga baru yang bersifat ekstrayudisial. Sekalipun keberadaannya didasarkan pada ketentuan perundang-undangan, tetapi lembaga-lembaga ekstrayudisial yang akan dibentuk, seperti satuan tugas antiteror akan diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dalam kondisi normal sebenarnya dilarang, seperti penyadapan lewat telepon. Fungsi-fungsi konsultasi publik kemudian diganti oleh fungsi intelijen yang akan mengubah basis prinsip-prinsip bernegara.

Untuk mengeleminasi bahaya gerakan perang melawan terorisme, agenda transisi politik untuk membangun kekuatan pertahanan di bawah kontrol otoritas politik harus dilanjutkan. Kedua, mesti ada perbaikan kinerja otoritas birokrasi yang bertugas mengontrol peredaran senjata api maupun bahan peledak. Ketiga, adalah perbaikan kinerja bea dan cukai sebagai wilayah besar yang rentan penyelundupan bahan peledak. Tanpa perbaikan kinerja lembaga-lembaga itu, gerakan
melawan terorisme tidak akan ada artinya.

Muhammad Al-Khaththah
Ketua Hizbut Tahrir Indonesia
Mengutip analisis mantan Kepala Bakin ZA Maulani, bom yang meledak di Bali termasuk bom atom mikro. Dan di dunia ini hanya ada lima negara yang memiliki bom tersebut, yaitu Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, dan Israel. Karena itu, sulit untuk mengambil kesimpulan bahwa pelaku pengeboman itu orang dari dalam negeri.

Oleh karena yang punya bom itu lima negara itu, kita tidak tahu apakah kemudian mereka memiliki agen di sini atau mereka melakukannya sendiri, kemungkinan itu yang perlu diselidiki.

Sehebat apa pun orang Indonesia saat ini belum ada yang bisa melakukan dan membuat bom atom mikro. Apalagi, jika bom itu dibuat dan diledakkan oleh salah satu tokoh gerakan Islam seperti Abu Bakar Baasyir. Sebab, Baasyir dikenal sebagai guru pesantren, dan sewaktu di Malaysia cuma mengajar. Bahkan, ketika Abu Bakar Baasyir di Malaysia, belum ada yang namanya gerakan Jamaah Islamiyah.

Kelihatannya Amerika akan mengarahkan pada Abu Bakar Baasyir. Disisi lain, kelihatannya ada permainan intelijen Inggris yang bermain melalui PM Malaysia Mahathir Mohamad. Sebab, Mahathir-lah yang pertama mengekspose besar-besaran penangkapan anggota terorisme di Malaysia yang dituduh sebagai KMM. Belakangan, KMM ini disebut sebagai kelompok Jamaah Islamiyah yang pimpinannya orang Indonesia.

Perhatikan saja awal persoalan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Cerita terorisme di kawasan Asia Tenggara bermula dari Malaysia. Jadi, sebenarnya yang perlu diselidiki lebih awal adalah Malaysia dan bukan di Indonesia. Ada sebuah strategi besar dari kecanggihan intelijen Inggris dan Mahathir Mohamad agar isu terorisme itu diarahkan ke Indonesia.

Sementara itu, intelijen Indonesia sepertinya terkontaminasi dari kepentingan CIA. Apalagi, Manulang, mantan Direktur Bakin mengatakan bahwa Umar Al-Farouq adalah binaan CIA. Sekarang kan faktanya Umar Al-Farouq di Amerika dan menunjuk keterlibatan Abu Bakar Baasyir. Tetapi, yang lucu, mengapa Umar tidak dibawa ke Indonesia untuk dikonfrontir dengan Abu Bakar Baasyir, sebelum keduanya dijadikan tersangka. Mengapa juga Umar yang ditangkap di Indonesia dan dituduh mencoba membunuh Presiden Megawati, tidak diadili sendiri oleh Indonesia. Ini kan pertanyaan besar.  (mam/wis)