Prospek Perdamaian Di Aceh

Siaran Pers Kontras
No. 05/SP-Kontras/II/2003 

Tentang

Prospek Perdamaian Di Aceh
Pasca Dua Bulan Perjanjian Penghentian Permusuhan
Antara Pemerintah Republik Indonesia Dengan Gerakan Aceh Merdeka
Di Aceh

 

Perjanjian Penghentian Permusuhan di Aceh dilakukan untuk saling membangun kepercayaan RI dan GAM bagi perwujudan perdamaian bagi rakyat Aceh melalui All Inclusive Dialogue. Perjanjian penghentian permusuhan di Aceh telah berlangsung 2 bulan, sejak ditandatangani 9 Desember 2002 yang lalu.

Terhadap berlangsungnya perjanjian tersebut, perlu dicermati hal-hal berikut :

1. Tentang Demiliterisasi

Tahapan demiliterisasi dimulai sejak 10 Februari 2003 hingga 5 bulan pasca perjanjian penghentian permusuhan di Aceh. Setelah melalui berbagai perdebatan tentang arti demiliterisasi, maka disepakati bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat untuk melakukan tahapan demiliterisasi, yaitu GAM akan melakukan penempatan senjata, sedangkan RI merelokasi aparat keamanan dari pasukan penyerang menjadi pasukan bertahan ke lokasi-lokasi yang disepakati itu. Namun pemilihan lokasi peletakan senjata dan relokasi bertahap dari pasukan TNI baru dapat dilakukan setelah zona-zona aman ditetapkan. Sampai sejauh ini baru 1 zona damai yang ditetapkan; Indrapuri.

2. Tentang Respon Pihak-Pihak

Masing-masing membuat pernyataan dan merespon koalisi tentang Aceh berdasarkan penafsiran masing-masing. Padahal berdasarkan perjanjian kedua belah pihak berkomitmen untuk menahan diri dengan tidak membuat pernyataan publik yang dapat memicu perasaan sentimen pihak lainnya termasuk rakyat. Dalam proses perjanjian pihak militer baik TNI maupun GAM saling menuduh bahwa pihak lain telah melakukan kekerasan serta melakukan ancaman untuk menrik diri jika perjanjian tidak ditaati. Akibatnya konflik tetap terjadi dan terpelihara karena masing-masing pihak membela diri. TNI melakukan klaim sebagai penanggung jawab keamanan karena sewaktu-waktu akan diperbantukan ke Polri. Selain itu timbul perdebatan di publik tentang perbedaan penafsiran atas implementasi perjanjian, seperti tahapan demiliterisasi, serta pengalihan tanggung jawab terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi. Sedangkan pemerintahan sipil (terutama otoritas publik pusat) cenderung memberikanrespon tentang upaya pemulihan soiso-ekonomi melalui 5 agenda program pemerintah, yaitu penguatan perdamaian, rehabilitasi sosial, prosespolitik yang demokratis, rekonsiliasi dan rekonstruksi ekonomi.

3. Tentang pelanggaran HAM yang terjadi

Selama 2 bulan berlangsungnya perjanjian masih terjadi peristiwa pelanggaran HAMwalupun secara kuantitas penurunan. Sampai 27 Januari 2003, korban pembunuhan kepada masyarakat sipil mencapai 16 orang.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Kontras perlu menyatakan hal-hal sebagai berikut :

  1. Belum cukup rasa saling percaya diantara masing-masing pihak sehingga mengancam kedamaian rakyat Aceh.
  2. Masing-masing peihak mengimplementasikan perjanjian hanya berdasarkan jangka waktu tetapi tidak diimbangi dengan menjalankan prosedur yang ditentukan. Karena diantara prosedur dengan jangka waktu berjalan seiring. Seperti masa dua bualn ini tidak dipersiapkan dengan membangun kepercayaan. Masa dua bulan yang telah lalu hanya dijadikan sebagai masa penantian (sambil berkonflik) untuk penggudangan, relokasi dan refungsionalisasi, serta demiliterisasi (dan zona damai).
  3. Demiliterisasi tidak dapat berjalan secara efektif karena hingga saat ini baru dibentuk satu wilayah zona damai (kecamatan Indrapuri, Aceh Besar).
  4. Perjanjian tersebut tidak mengatur secara konkret tindakan-tindakan preventif dan pre-entive. Sementara masing-masing pihak tidak menyadari prinsip-prinsip kesepakatan perjanjian perdamaian dalam konflik bersenjata :
    1. Pacta Sunt Servada, para pihak harus menghormati perjanjian yang dibuatnya.
    2. Abus de Droit, prinsip itikad baik yang harus ada disetiap sistem hukum.
    3. Equality before the law, persamaan dan tundauk dalam dibawah hukum.

    Sehingga masing-masing pihak, terutama pada wilayah lapangan tidak bisa beradaptasi dengan itikad baik. Dari fakta yang ada justru terlihat memanfaatkan renggang dan rentannya perjanjian tersebut.

  5. Pernyataan- pernyataan yang dikemukakan di publik menunjukan tidak adanya kontrol efektif dari sipil terhadap tentara, merupakan ancaman yang cukup serius. Baik terhadap kondisi aceh maupun terhadap otoritas sipil atas militer di Indonesia secara umum.

Maka Kontras merekomendasikan :

  1. Mendesak dibentuknya zona-zona damai seperti ditetapkan dalam perjanjian.
  2. Mendesak pemerintah (sipil-militer, pusat-daerah) untuk mengkonsolidasi tindakan-tindakannya. Sehingga tidak ada “tindakan di luar batas”.
  3. Mengembangkan kebiasaan yang mediatif (konsultasi dan komunikasi) diantara RI-GAM, bagi penyelesaian sengketa yang diataur dalam perjanjian maupun yang tidak diatur dalam perjanjian.
  4. Mendesak optimalisasi dari lembaga-lembaga (JSC, TMT, dll) yang dimandatkan perjanjian agar lebih aktif bagi upaya-upaya perumusan perdamaian, penyelesaian tindak kekerasan maupun pelanggaran perjanjian lainnya.

Jakarta, 10 Februari 2003

Presidium Kontras

 

Ori Rahman
Ketua

Data Koalisi NGO HAM untuk Internasional Civilian Monitoring Team for Aceh.