MAKIN BANYAK, PELUANG PELANGGARAN HAM

Jakarta, Kompas
    Perpu Antiterorisme yang disetujui DPR untuk menjadi UU
dikhawatirkan bakal membuka peluang pelanggaran HAM. Apalagi jika DPR
menyetujui RUU Intelijen dan RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI).
    Kehadiran tiga perangkat hukum itu bukan cuma membuka peluang
terjadinya pelanggaran HAM secara legal, tetapi juga akan mempersulit
upaya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM oleh pihak militer.
    Demikian dikemukakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam),
serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lampung, dalam acara jumpa pers,
Jumat (7/3). Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Abdul Hakim Garuda
Nusantara yang dihubungi terpisah juga menyampaikan kekhawatiran sama.
    Ketiga LSM itu mengkhawatirkan UU Antiterorisme yang lewat Pasal
26 memberi wewenang penyidik memanfaatkan laporan intelijen sebagai
bukti awal. Sementara dalam Pasal 21 hingga 26 RUU Intelijen, aparat
intelijen berhak menangkap orang yang dicurigai mengancam keamanan
nasional, menahan tujuh hari dan memperpanjang hingga 90 hari, tanpa
didampingi pengacara.
    Aturan-aturan itu akan menimbulkan dampak serius pada
perlindungan HAM. Aparat bisa dengan mudah memberi stigma teroris
bagi gerakan yang tak sejalan dengan penguasa.
    "Pihak keamanan dan intelijen lebih leluasa melakukan teror dan
intimidasi legal," kata anggota Presidium Kontras Mouvty Makaarim,
yang didampingi Koordinator Smalam Fikri Yasin dan Watoni Nurdin dari
LBH Lampung.
    Abdul Hakim menyatakan, RUU Intelijen bakal membuat penegakan
hukum dan HAM justru makin tidak kondusif.
    "Kalau kita masih percaya supremasi hukum, yang paling berhak
menegakkan hukum dan HAM cuma polisi, jaksa, dan hakim. Jika ada
instansi lain yang diberi wewenang sama, akan terjadi tindakan saling
meniadakan," tegasnya.
    "Saya bisa memahami kekhawatiran sejumlah LSM dengan munculnya
RUU Intelijen dan Draf RUU TNI bagi penegakan hukum dan HAM. Yang
dibutuhkan sebenarnya cukup penyempurnaan KUHAP dan efektivitas
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan," katanya.
    Anggota Komnas HAM, Achmad Ali, juga menyatakan kecewa atas isi
UU itu, yang memungkinkan pemeriksaan tertutup tanpa pendampingan
pengacara bagi tersangka. "Ini namanya kebablasan," ujar Achmad Ali. (win)