AKHIRI OPERASI MILITER: Buka Lagi Perundingan

Jakarta, Kompas
    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kembali mendesak pemerintah
agar segera mengakhiri operasi militer di Aceh yang telah berjalan
seminggu. Selain tidak menyelesaikan masalah di Aceh, operasi militer
mulai menunjukkan gelagat pelanggaran HAM berat. Pemerintah hendaknya
membuka lagi peluang penyelesaian melalui perundingan.
    "Komnas HAM tetap konsisten mendesak pemerintah agar segera
mengakhiri operasi militer. Komnas HAM mendesak pemerintah dan
Gerakan Aceh Merdeka kembali ke meja perundingan," tegas Ketua TIM Ad
Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh, Komnas HAM, MM Billah, kepada pers,
Senin (26/5).
    Imbauan serupa dilontarkan Duta Besar Inggris untuk Indonesia
Richard Gozney. Masalah Aceh tidak bisa diselesaikan melalui tindakan
tegas dan keras melalui operasi militer, tetapi hanya bisa lewat
perundingan.
    "Meskipun operasi militer telah dilaksanakan, perundingan antara
kedua belah pihak harus tetap diupayakan. Harus ada perundingan agar
masalah Aceh selesai," ujar Richard Gozney menjawab pertanyaan
wartawan di Jambi, Senin kemarin.
    Masalahnya bergantung pada Pemerintah Indonesia dan GAM apakah
masih mau berunding atau tidak. Pihak lain tidak bisa menentukan.
    Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan H
Tifatul Sembiring di Jakarta, Senin, mengimbau Penguasa Darurat
Militer di NAD agar tetap membuka peluang kepada elemen sipil untuk
mengekspresikan kontrol mereka terhadap jalannya pemerintahan,
termasuk kebijakan Darurat Militer di Aceh.
    Billah mengingatkan, pihak yang bertikai di Aceh agar menghormati
Konvensi Geneva yang menyebutkan, non-combatan dan fasilitas sosial,
fasilitas umum, tidak menjadi sasaran atau korban pertikaian.
    Selain itu, kedua belah pihak yang bertikai juga tidak boleh
menghalangi, mengganggu, apalagi meneror, menghilangkan secara paksa
atau membunuh para pekerja sosial, kemanusiaan, para pembela HAM
maupun wartawan.
    Anggota Presidium Komisi utuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) Usman Hamid di Kantor Kontras juga mengingatkan,
operasi militer sudah mulai menunjukkan adanya pelanggaran HAM berat
yang berciri meluas dan tersistematisasi.
    "Para pekerja sosial, kemanusiaan, dan HAM mulai diciduk dengan
tudingan menjadi kaki tangan GAM. Wartawan yang meliput di Aceh mulai
ditekan dan diarahkan semata-mata demi kepentingan TNI tanpa
memandang cara yang dipilih TNI," paparnya.
    Kontras tidak mendukung GAM atau anti-TNI-Polri, lebih-lebih anti-
NKRI. "Yang kami kecam adalah setiap tindakan aparat atau warga
negara yang melanggar rasa keadilan, kemanusiaan, konstitusi, undang-
undang, serta norma sosial yang telah kita sepakati bersama sebagai
bangsa," ucapnya.
    Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia, Imparsial,
Munir, menambahkan, sejak awal Imparsial sudah menduga akan adanya
rencana militer yang berunsur pelanggaran HAM berat.
    "Sebelum melakukan operasi militer, pemerintah seharusnya jelas
dulu menentukan target pemulihan perdamaian di Aceh. Jangan mau
enaknya menyerahkan seluruh tanggung jawab ke TNI dan Polri dengan
catatan, pokoknya, babat-babat, beres. Apanya yang beres?" kata Munir.
   
Buka peluang kontrol
    Pemberlakuan status Darurat Militer di Aceh tentu akan
berimplikasi pada rakyat. Sebab, Penguasa Darurat Militer memiliki
kewenangan menangkap, bertindak, dan memproses orang-orang yang
dicurigai/diduga ada kaitannya atau berkomplot dengan GAM.
    Inilah yang menurut Partai Keadilan dikhawatirkan
bisa "membungkam" rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan di
NAD, termasuk kebijakan pemberlakuan Darurat Militer.
    Partai Keadilan mengimbau pemerintah untuk mengantisipasi
sesegera mungkin pemberlakuan keadaan Darurat Militer agar tidak
semakin menyengsarakan rakyat Aceh. Pemerintah harus selektif dan
tidak terjebak kepada tindakan-tindakan pelanggaran HAM, sehingga
citra TNI tidak semakin terpuruk," kata Tifatul Sembiring.
    Partai Keadilan juga mendeklarasikan terbentuknya pusat krisis
(crisis centre) untuk rakyat Aceh dengan cara memfungsikan seluruh
jaringan Partai Keadilan, yakni DPW Partai Keadilan di Banda Aceh, 13
DPD di tingkat kabupaten/kota, dan 60 DPC di tingkat kecamatan.
    Pusat Krisis Partai Keadilan selain menggalang bantuan darurat,
juga akan memberi dukungan bagi masyarakat sipil Aceh untuk memantau
pelanggaran HAM baik oleh TNI maupun pihak GAM.
    
Minimalkan korban
    Sementara Dubes Inggris Gozney menegaskan, perundingan adalah
jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh. Dia membandingkan
dengan pengalaman Kerajaan Inggris selama 25 tahun menghadapi
Irlandia Utara, yang pada akhirnya hanya bisa diselesaikan melalui
perundingan. "Tidak dengan tindakan tegas polisi dan tentara,
meskipun Kerajaan Inggris punya polisi dan tentara," ujarnya.
    Gozney menegaskan, Pemerintah Inggris mengakui NKRI dan tidak
mengakui Aceh memisahkan diri. "Karena itu, saya sangat menyesalkan
perundingan di Tokyo, Jepang, sepuluh hari lalu gagal menyelesaikan
masalah Aceh.
    Sebab, terhadap rakat Aceh pemerintah telah memberikan otonomi
khusus, yang rumusannya istimewa. Mengapa tidak diterima sebagai
pijakan," katanya. (NAT/win/lok)