Satu Bulan Setelah Darurat Militer di Aceh: Quo Vadis Aceh?

SIARAN PERS
No: 11/SP-Kontras/VI/03
Tentang
Satu Bulan Setelah Darurat Militer di Aceh:
Quo Vadis Aceh?

Pelaksanaan status Darurat Militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sampai tanggal 19 Juni 2003 genap memasuki hari ke 30 atau satu bulan pertama terhitung sejak ditetapkannya status darurat militer pada 19 Mei 2003 lalu. Melihat hal ini, kami ingin menyampaikan beberapa hal :

Dari catatan di lapangan, selama jangka waktu 1 bulan kita juga melihat mobilisasi pasukan secara besar-besaran di Aceh. Pasukan TNI dan Polri telah bergerak ke hampir seluruh wilayah di Aceh untuk membatasi ruang gerak GAM.
Telah terjadinya perusakan fasilitas-fasilitas publik, meningkatnya arus pengungsian karena khawatir menjadi korban perang, lumpuhnya roda perekonomian di beberapa wilayah dan jatuhnya korban sipil.
Hasil kerja Komnas HAM yang menemukan sejumlah kekerasan yang signifikan sepanjang periode darurat militer yang mengarah pada pelanggaran HAM. Antara lain berupa pelecehan seksual, pemerkosaan dan pembunuhan.
Pernyataan pemerintah yang menjelaskan capaian keberhasilan, antara lain dengan dikuasainya beberapa wilayah yang dianggap sebagai �kantong-kantong� GAM, terbunuhnya sejumlah anggota GAM, dan banyak dari anggota dan �tokoh-tokoh� GAM yang berhasil ditangkap atau menyerahkan diri, termasuk penyitaan sejumlah senjata dan peralatan perang lainnya. Disamping telah berhasil memperkecil kekuatan GAM, Pemerintah juga menyatakan keberhasilan memisahkan masyarakat dan GAM yang ditunjukkan dengan adanya Ikrar Kesetiaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari sejumlah kalangan masyarakat di Aceh.
Dalam hal ini kami memandang adanya beberapa hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan agenda pemerintah dalam penyelesaian persoalan Aceh melalui operasi terpadu tersebut dan ekses yang ditimbulkannya. Kritisi ini terutama berkaitan dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan di berbagai pemberitaan media yang kontra produktif sebenarnya dengan semangat untuk menyelesaikan persoalan Aceh. Beberapa hal tersebut adalah

Bahwa sejauh ini operasi terpadu yang di dalamnya mencakup operasi pemulihan keamanan, operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, serta operasi pemulihan fungsi pemerintahan daerah, tidaklah berjalan secara komprehensif seperti yang dijanjikan pemerintah. Fakta di lapangan menunjukkan betapa dominannya operasi pemulihan keamanan sekaligus mengindikasikan kuatnya paradigma militeristik. Dengan demikian agenda di luar penyelesaian secara militer nyaris kehilangan concern dengan kentalnya nuansa kekerasan, dimana korban berjatuhan, perlakuan kasar terhadap warga sipil dan perusakan-perusakan fasilitas sipil.
Bahwa operasi terpadu telah mengakibatkan ketegangan di masyarakat dan timbulnya suasana represif di masyarakat yang dibuktikan dengan meningkatnya angka pengungsian di berbagai tempat di Aceh. Data yang dikeluarkan Penguasa Darurat Militer per 19 Juni menyebutkan bahwa jumlah pengungsi telah mencapai 35.998 jiwa. Sedangkan menurut Dinas Sosial Aceh berjumlah 40.919 jiwa. Artinya, operasi pemulihan keamanan justru gagal memberikan jaminan keamanan sehingga mereka terpaksa mengungsi. Selain itu adalah banyaknya sekolah yang terbakar/dirusak per 9 Juni 2003 di seluruh wilayah Aceh tercatat 497 sekolah, yang terdiri dari TK (4), SD (332), MI (70), SLTP (46), MTs (25), SMU (12), MA (7) dan SKB (1). Irionisnya objek-objek vital seperti zona industri dan pertambangan mendapat pengawalan ketat.
Dari sisi korban sipil, tercatat jumlah korban yang cukup signifikan. Misalnya, per tanggal 18 Juni disebutkan jumlah korban sipil yang tewas mencapai 108 jiwa, korban luka-luka 53 jiwa serta 58 orang dinyatakan hilang. Kekhawatiran banyak pihak akan jatuhnya korban dari kalangan sipil menjadi kenyataan sepanjang operasi pemulihan keamanan. Yang cukup menyedihkan pula adalah munculnya pernyataan-pernyataan permisif yang menganggap bahwa korban dari kalangan sipil merupakan hal yang tidak terhindarkan.
Bahwa terdapat kecenderungan adanya tindakan-tindakan rasisme dan diskriminasi terhadap warga Aceh yang berada di luar Aceh. Tindakan-tindakan tersebut antara lain dalam bentuk pengontrolan terhadap kantong-kantong warga yang berasal dari Aceh atau sweeping dan wajib lapor. Sebagai warga negara yang seharusnya diperlakukan sama, tindakan pemerintah jelas berlebihan.
Bahwa adanya pengabaian prinsip-prinsip hukum humaniter, padahal Indonesia telah menerima keempat konvensi didalamnya melalui UU No 59 Tahun 1958, misalnya, lemahnya perlindungan masyarakat sipil dari ancaman dan tindak kekerasan yang dilakukan GAM dan TNI/Polri, atau adanya pelibatan masyarakat untuk turut serta dalam proses perang, seperti untuk menyingkirkan rintangan/pohon atau untuk mengurus mayat mereka yang diduga anggota GAM (dapat disaksikan di televisi dan pemberitaan surat kabar).
Adanya kontrol dan pembatasan akses informasi bagi jurnalis dan lsm lokal, nasional dan asing di wilayah Aceh. Terhadap jurnalis, telah terjadi pembatasan akses informasi sebatas sumber resmi yang dikeluarkan penguasa darurat militer saja. Terhadap LSM, baik yang bekerja di bidang kemanusiaan atau monitoring kekerasan, pemerintah juga membatasi dengan mekanisme yang membuat mereka tidak dapat bekerja leluasa dan independen. Ketiadaan perlindungan terhadap kerja-kerja profesional mereka telah menyebabkan jatuhnya korban dari kalangan jurnalis dan penangkapan terhadap 23 aktifis.
Masih digunakannya beberapa petinggi militer �bermasalah� sebagai bagian dari operasi pemulihan keamanan di Aceh dikhawatirkan akan menyeret operasi ini memiliki konstruksi yang sama dengan operasi-operasi militer sebelumnya yang berimplikasi pada pelanggaran HAM, atau justru akan menjadi mekanisme impunitas baru bagi upaya penegakan HAM di Indonesia. Ditambah lagi bahwa fungsi pengawasan dari DPR tidak tidak berjalan maksimal, karena tidak ada evaluasi pada setiap kekerasan yang terjadi day to day di Aceh.
Dari catatan-catatan di atas, secara umum Kontras memandang bahwa Operasi Terpadu yang digelar saat ini tidak berjalan sebagaimana yang dijanjikan pemerintah dan sangat terfokus pada operasi pemulihan keamanan semata-mata. Bahkan operasi pemulihan keamanan yang dilaksanakan tidak dapat dinilai karena tidak memiliki parameter ukuran keberhasilan yang jelas. Misalnya, bagaimana mengukur keberhasilan dari luasnya wilayah yang dikuasai atau pasukan GAM yang tertangkap atau tewas dan bagaimana mempertanggungjawabkan korban sipil dalam operasi ini. Sementara pada operasi lainnya (operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, serta operasi pemulihan fungsi pemerintahan daerah), juga tidak ada pengukuran terhadap capaian yang sudah ada. Tafsir terhadap keberhasilan dari operasi terpadu ini dan rumusan rencana tindak lanjutnya hanya dirumuskan oleh penguasa darurat militer yang notabene adalah militer.

Oleh sebab itu Kontras merekomendasikan:

Kepada DPR untuk memanggil pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan operasi terpadu yang telah berlangsung 1 bulan. Evaluasi ini berkaitan dengan banyaknya peristiwa yang terjadi sampai dengan hari ini yang kontra produktif dengan semangat operasi pemulihan ini. Evaluasi ini juga harus mengarah pada upaya perbaikan.
Parameter keberhasilan yang didominasi pada operasi militer dan jatuhnya korban jiwa semata-mata tidak dapat dibenarkan. Seharusnya pemerintah menetapkan parameter yang jelas dan komprehensif dalam Operasi Terpadu, bukan operasi pemulihan keamanan semata-mata. Oleh sebab itu pemerintah harus memberikan koreksi dan penetapan terhadap parameter dan program yang berkaitan dengan operasi ini.
Melihat tingkat kekerasan yang tinggi dan jatuhnya korban kalangan sipil, maka kepada pemerintah untuk juga mengevaluasi pendekatan militer yang telah dilakukan.

Jakarta, 20 Juni 2003


Usman Hamid, SH
Koordinator KontraS