KOMNAS HAMHARUS BANTING SETIR

Jakarta, Kompas
    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak boleh putus asa atas
penolakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil paksa
saksi dari TNI dalam penyidikan kasus kerusuhan Mei 1998. Masih
banyak celah hukum yang dapat dipakai, asal Komnas HAM mampu
meyakinkan pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung.
    "Komnas HAM harus banting setir, jangan lagi menggunakan Pasal 95
UU No 39/1999 tentang HAM untuk memanggil paksa para saksi dalam
proses penyelidikan. Pasal 19 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM
dapat dipakai sebagai landasan hukum," ujar Usman Hamid, Ketua Dewan
Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) di Jakarta, Kamis (31/7).
    Usman mengatakan, Komnas HAM masih punya senjata Pasal 19 Ayat
(1) yang menyatakan bahwa penyelidik (Komnas HAM) atas penyidik
berwenang melakukan pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan,
pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat-
tempat lain yang dimiliki pihak tertentu.
    Kekuatan pasal itu dipertegas dalam penjelasan yang menyatakan
perintah penyidik adalah perintah kejaksaan atas permintaan penyidik-
dalam hal ini Komnas HAM. "Artinya, Kejaksaan Agung tak bisa mengelak
bila Komnas HAM meminta surat perintah penggeledahan atau penyitaan
untuk keperluan penyelidikan," kata Usman.
    Meski demikian, Usman meragukan Kejaksaan Agung berani
mengeluarkan surat dimaksud bila berhadapan dengan TNI. Sebab, sudah
ada bukti, ketika Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti dan
Semanggi (KPP TSS) I/II meminta surat dimaksud, Kejaksaan Agung hanya
diam.
    "Kalau kali ini Kejaksaan Agung tidak mau membuat surat perintah
sesuai Pasal 19 tadi, Komnas HAM harus menggugat Kejaksaan Agung ke
pengadilan," kata Usman yang mantan Sekretaris KPP TSS I/II.  (sah)