Komnas HAM Akan Ajukan Uji Materi UU Diskriminatif

Jakarta, Kompas – Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan larangan eks PKI menjadi calon anggota legislatif, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berencana mengajukan uji materi (judicial review) terhadap seluruh peraturan perundangan yang diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.

Niat Komnas HAM itu disampaikan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada pers di Jakarta, Kamis (26/2). Menurut Abdul Hakim, sebagai lembaga negara, Komnas HAM memiliki legal standing mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

“Salah satu pasal dalam UU tentang MK jelas disebut, lembaga negara bisa menjadi pemohon bila merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu UU,” kata Abdul Hakim kepada pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Menurut dia, karena tugas dan tanggung jawab Komnas HAM berkaitan dengan HAM, maka Komnas HAM akan mengajukan seluruh aturan perundangan yang masih diskriminatif baik secara jender, etnis, agama, maupun golongan yang menimbulkan berbagai ketimpangan sosial, kultural, ekonomi, dan politik.

“UU No 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat yang menggiring organisasi kemasyarakatan pada sistem ketunggalan. Undang-undang tahun 1965 tentang Pengawasan terhadap Aliran Kepercayaan dan Agama yang merugikan kelompok minoritas,” paparnya.

Dia mengakui, meski Komnas HAM sudah lama meneliti sejumlah perundangan yang dinilai masih diskriminatif, tetapi usulan judicial review muncul setelah MK mengambil keputusan soal eks PKI, Rabu lalu. “Keputusan MK tentang eks PKI Rabu lalu adalah keputusan luar biasa yang kembali memberi peluang kuat terhadap penegakan HAM di Indonesia. Komnas HAM tidak ingin menyia-nyiakan peluang ini dan menyatakan mendorong semua pihak mengusulkan revisi terhadap semua produk perundangan yang diskriminatif,” tutur Abdul Hakim.

Dia lalu menyebutkan, dari 20 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara (Tap MPR/S) yang dikaji Komnas HAM, empat Tap di antaranya bertentangan dengan nilai HAM atau konstitusi. Komnas HAM merekomendasi keempat Tap tersebut untuk dicabut. Keempat Tap tersebut adalah Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah negara RI bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Tak jelas apakah MK bisa menguji Tap MPR terhadap UUD karena baik dalam UUD 1945 maupun UU No 24/2003, MK disebutkan berwenang menguji undang-undang terhadap UUD.

Sejajar

Menanggapi niat Komnas HAM itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman mengatakan, “Bisa debatable”. “Sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, seharusnya Komnas HAM tidak memposisikan diri sebagai pemohon. Akan lebih elegan kalau dia melakukan lobi dengan para petinggi lembaga negara yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi Komnas HAM, termasuk dengan presiden,” jelas Munarman.

Hal serupa disampaikan Aktivis Esther Jusuf Purba. “Karena kedudukannya yang setara, seharusnya Komnas HAM tidak meminta, tetapi mendesak legislator,” tegasnya.

Menanggapi hal itu Abdul Hakim mengingatkan, “Ini terobosan yang coba dilakukan Komnas HAM. Kalaupun gagal, Komnas HAM masih akan terus mendorong masyarakat melakukan judicial review lewat pemberian fasilitas dan pengetahuan”.(WIN)