Korban Ham Tangisi Munir

JAKARTA – Pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir SH, 39, meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Tokoh yang dikenal gigih membela kebenaran sejak Pak Harto masih berkuasa itu mengembuskan napas terakhir di dalam pesawat Garuda Indonesia yang tengah menerbangkannya ke Amsterdam, Belanda.

Pjs Kepala Bidang Penerangan KBRI Belanda Kusuma Nursiawati Loebis tadi malam mengatakan, belum ada keterangan resmi tentang penyakit yang diderita pria asal Malang itu. Saat ini, jenazahnya masih diperiksa oleh Marechaussee (otoritas bandara) Schiphol, Amsterdam.

Munir menuju Amsterdam untuk mendalami ilmu hukum. Rencananya, lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu akan melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Utrecht, Belanda.

Pria yang juga dikenal sebagai pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu terbang dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.55 WIB. Garuda Indonesia GA-974 yang ditumpanginya menuju Singapura, lantas transit di Bandara Changi Singapura pukul 00.40 waktu setempat.

Pukul 01.50 waktu Singapura, pesawat kembali take off menuju Amsterdam. Setelah tiga jam di udara, Munir yang duduk di kursi 40 G terlihat bolak-balik ke toilet. Wajah Munir pucat. Dia sempat dibantu oleh awak kabin.

Karena kondisi Munir yang kurang sehat, supervisor awak kabin bernama Najib melaporkannya kepada pilot Pantun Matondang. Pilot pun langsung memerintah Najib untuk terus memonitor Munir.

Seorang dokter yang menjadi penumpang dan duduk di kursi 1 J juga menolongnya. Setelah Munir diberi obat, tempat duduknya dipindahkan ke tempat dokter yang ikut membantunya itu.

Penerbangan menuju Amsterdam tersebut menempuh waktu 12 jam. Dua jam sebelum mendarat, Najib kembali memeriksa Munir yang saat itu terlihat terlelap. Ternyata, detak jantungnya sudah tak ada. Munir sudah pergi selama-lamanya.

Vice President Corporate Communication PT Garuda Indonesia Pujobroto dalam keterangannya di Jakarta kemarin menjelaskan, hingga saat ini, belum diketahui penyebab meninggalnya Munir. Sesuai dengan regulasi otoritas Bandara Schiphol-Amsterdam, kata dia, pihak otoritas bandaralah yang memeriksa jenazah Munir.

Untuk pengurusan jenazah mantan ketua Kontras tersebut, kata Kusuma, pihak KBRI Belanda yang dipimpin Minister Conselor KBRI Belanda Muzzakir Ahmad Ghazali tengah mengadakan pembicaraan dengan pihak bandara.

“Kepastian jadwal pemulangan jenazah almarhum Munir akan ditentukan hasil penyelidikan otoritas bandara. Bila hasil penyelidikan otoritas bandara mengharuskan dilakukan otopsi, diperkirakan jenazah akan tertahan lebih lama di Belanda. Pengurusan administrasi dan teknis memerlukan waktu sekitar tiga hari,” jelas Kusuma.

Berita kematian Munir itu mendapat perhatian amat luas. Tadi malam sejumlah petakziah terus mengalir ke rumah almarhum yang tampak sederhana itu. Kebanyakan yang datang adalah rekan-rekan Munir sesama aktivis LSM. Misalnya, Munarman (YLBHI), M.M. Billah (Komnas HAM), dan Smita Notosusanto (Cetro). Tak hanya itu. Bahkan, di rumah dua lantai itu tadi malam sudah dilangsungkan Yasinan.

Mereka yang melakukan yasinan adalah keluarga korban pelanggaran HAM Semanggi I-II, Trisakti, Mei 98, dan Tanjung Priok. Sekitar 30 orang itu sedianya akan melakukan jumpa pers di Kantor Kontras kemarin sore. “Batal karena kami mementingkan datang untuk mendoakan Cak Munir, orang yang banyak membantu kami,” kata Sumarsih, ibunda mendiang Wawan (korban Semanggi I).

Kepergian Munir ini memang ditangisi banyak orang. Dalam kontak-kontak SMS antaraktivis dan korban HAM setelah mendengar kabar Munir meninggal, banyak yang merasa kehilangan. Tak sedikit yang meneteskan air mata.

Untuk menjemput jenazah Munir, tadi malam telah diputuskan bahwa empat orang akan terbang ke Belanda. Mereka adalah istri Munir, Suciwati, lalu Smita Notosusanto (Cetro), Usman Hamid (Kontras), dan Pungky Indarti (Imparsial).

Tidak Tergoda
Munir dikenal sangat tegar dalam menjalani aktivisme. Sejak mahasiswa, mantan aktivis HMI itu terkenal keras hati. Begitu pula saat dia aktif di LBH Surabaya dan kemudian melambung namanya menjadi ketua Kontras.

Saat menjadi ketua Kontras, namanya paling diingat ketika membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Aktivitas Munir yang sangat berani itu kemudian mengantarnya memperoleh The Right Livelihood Award, sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif.

Yang mengharukan, Man of the Year 1998 versi majalah Ummat itu tidak tergoda untuk memiliki semua hadiah yang didapatkannya itu. Separo dari sekitar Rp 500 juta yang didapatkan dari Award itu dikembalikan ke Kontras. Lalu, sebagian ia kirimkan kepada ibunya di Malang untuk renovasi rumah.

Setelah namanya menginternasional, Munir tetap hidup bersahaja. Dia ke mana-mana memilih naik sepeda motor. Alasannya, naik mobil sangat membatasi mobilitasnya di Jakarta yang macet itu. Sekali waktu motornya pernah dicuri.

Selama beraktivitas, tak sedikit ancaman yang mengiringi aktivitasnya. Rumah ibunya pernah diancam bom. Kampanye pembusukan terhadap namanya dilakukan di berbagai forum entah dirancang oleh siapa.

Muslim yang taat beribadah salat lima waktu ini pernah diisukan anak Gerwani. Dia marah kali ini. Majalah yang menulis fitnah itu digugatnya dan dia menang.

Minta Dikubur di Batu
Suasana duka juga menyelimuti rumah Munir di kampung halamannya, Jalan Diponegoro 169, Kota Batu. Ibu almarhum, Ny Jamilah, 78, dan kakaknya, Anisah, 49, yang masih tinggal di rumah tersebut tampak tidak kuat menahan tangis atas kepergian pejuang HAM dan demokrasi itu.

Sejak pukul 16.30, para tetangga almarhum mulai berdatangan. Radar Malang yang datang pukul 16.00 melihat ibu dan kakak almarhum sedang shock atas berita kematian Munir. “Maaf, sementara ibu masih belum bisa diwawancarai. Ibu saat ini masih shock dan kondisinya kurang sehat,” tutur Anisah ketika ditemui kemarin. “Kami ditelepon beberapa tetangga yang mengetahui berita dari TV. Lalu, kami baru percaya setelah ada informasi pukul 16.00,” ungkap Anisah.

Dalam kesempatan tersebut, Anisah juga menjelaskan bahwa ibunya meminta almarhum untuk dimakamkan di kampung halamannya. “Itu pesan dari ibu bahwa almarhum harus dimakamkan di kampung ini. Karena kampung ini tempat kelahirannya,” katanya, sesekali mengusap air matanya.

Sejauh ini, lanjutnya, dia dan ibunya tidak mendapat firasat tentang kepergian almarhum. Hanya, Senin malam kemarin, pukul 22.00, Munir menghubungi keluarganya, pamit ke Belanda untuk melanjutkan studinya. “Almarhum telepon cuma sebentar, hanya pamit akan melanjutkan sekolahnya. Saat itu, ibu hanya bisa mendoakan agar berhati-hati selama di luar negeri,” tandas Anisah.

Sementara itu, Jamal, adik almarhum, mendapat SMS dari Munir pukul 18.02, sebelum berangkat. Bunyi SMS itu, “Aku malam ini berangkat. Kalau ada rejeki, pulang tengah tengah tahun atau tahun depan Agustus. Aku titip anak, istri karena mereka ditinggalkan.”

Disinggung mengenai kesehatan almarhum, Jamal yang juga dokter penyakit dalam itu mengaku sejauh ini tidak ada riwayat penyakit yang diderita kakaknya. Bahkan, Jamal yakin bahwa Munir selalu sehat, tidak pernah mengeluh sakit. “Kami terakhir ketemu pada pertengahan Juli lalu. Namun, saat itu tidak ada-apa kok,” ungkapnya.

Almarhum yang merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara itu meninggalkan istri dan dua anaknya. Dari kenangan teman dekat dan tetangganya, almarhum merupakan sosok yang peduli sejak mengenyam pendidikan di SD Muhammadiyah. “Saya sangat salut karena dia punya jiwa peduli. Itulah salah satu kelebihan Munir,” ungkap Ali Ahmad, salah seorang keluarga almarhum.

Saat Berangkat, Berat Berpisah
Air mata kesedihan Suciwati, istri Munir, mengalir tak tertahan. Ibu dua orang anak -Sultan Alif Allende, 5, dan Diva, 2- itu sangat terpukul karena kematian suaminya tersebut. Dia sempat mencurahkan isi hatinya kepada koran ini dan orang-orang dekatnya.
—————–
Tak ada satu pun firasat yang kurasakan sebelum kepergian Mas Munir yang begitu mendadak ini. Pertemuan terakhir kami terjadi Senin malam kemarin, tatkala saya bersama dengan anak-anak dan supir melepas Mas Munir yang terbang ke Belanda dengan pesawat Garuda.

Kami tiba di bandara sekitar satu setengah jam sebelum pesawat take off. Di bandara, teman-teman Mas Munir dari Imparsial sudah ada yang ikut menunggu. Saat itu, Mas Munir memang tampak berat berpisah dengan kami, keluarganya. Meski, rencananya, kami menyusul beberapa bulan kemudian.

Tapi, demi mengejar pendidikan yang lebih baik, Mas Munir melangkahkan kakinya. Kami mengiringinya dengan doa. Lantas, kami pun kembali pulang. Waktu berjalan. Tiba-tiba, kemarin siang kabar sedih itu kami terima. Yang pertama menginformasikan meninggalnya Mas Munir adalah Usman Hamid (koordinator Kontras).

Saat itu, dia menelepon saya. Saya langsung shock dibuatnya. Tapi, saya masih ragu-ragu. Tak lama kemudian, tetangga, ibu Eli Hassan, mengabarkan berita yang sama. Maka, percayalah saya bahwa Mas Munir memang sudah berpulang kepada Yang Kuasa.

Kedua informasi itu saya terima sekitar pukul 14.30. (Saat koran ini datang ke sana pukul 16.00, Suciwati masih terlihat histeris; apalagi setelah jumlah pelayat terus bertambah). Riwayat penyakit Mas Munir sendiri tidak banyak. Tapi, memang benar bahwa Mas Munir pernah mempunyai masalah dengan lever.

Setahun yang lalu, Mas Munir bahkan sempat di rawat di RS Saint Carolus gara-gara penyakit tersebut. Saat itu, dokter berpesan supaya suami saya itu tidak terlalu lelah. Kalau bisa, dalam sebulan, istilahnya liburnya seminggu.

Saya berkali-kali menasihatinya kalau melihat dia terlalu capek. Tapi, ya namanya Mas Munir, tahu sendiri kan betapa sibuknya. Meski begitu, penyakit tersebut relatif tak mengganggu. Empat bulan silam, penyakit tersebut memang sedikit kambuh, tapi kemudian mereda. Buktinya, dalam general check up yang dilakukan sebelum Mas Munir berangkat ke Belanda -sebagai salah satu prasyarat yang harus disertakan- kondisi kesehatannya dinyatakan baik-baik saja.

Karena itu, saya belum tahu pasti sebab kematian suami saya. Setahu saya, Mas Munir juga tak punya keluhan dengan jantungnya. Tapi, memang benar kalau semakin mendekati hari keberangkatannya ke Belanda, Mas Munir terlihat sibuk ke sana-kemari. Itu terkait dengan berbagai acara dan persiapan.

Misalnya, pada Selasa kemarin ada pesta perpisahan yang dilakukan Kontras. Lalu, pada Jumatnya, Mas Munir menghadiri perpisahan yang digelar Imparsial (paginya) dan Propatria (sorenya). Tapi, kondisi Mas Munir saat itu tampak baik-baik saja.

Kini semua sudah terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah berdoa, semoga Mas Munir diterima di sisi Allah. Saya juga minta, jikalau ada kesalahan suami saya kepada rekan-rekan wartawan, tolong dimaafkan ya. (Suciwati lantas menangis).

Semua keluarga besar kami di Malang, Jawa Timur, sudah tahu musibah ini. Doakan semoga kami diberi kekuatan. Saya ingin segera bertemu jenazah suami saya. Secepatnya saya dan rekan-rekan akan menjemput jenazah suami saya -rencananya hari ini berangkat karena telah memperoleh visa Belanda berkat bantuan Kedubes Belanda di Jakarta. Yang akan berangkat, selain Suciwati, adalah Usman Hamid (koordinator Badan Pekerja Kontras); Smita Notosusanto (Cetro), dan Pungki Indarti (Imparsial).

Hingga kini, saya belum tahu di mana suami saya dimakamkan. Saya sih berharapnya bisa dibawa pulang. Itu saja. – Sesaat, lantas Suciwati menarik tangan Diva, anak keduanya yang sedang lucu-lucunya itu, sementara Alif berlarian ke sana-kemari. Alif yang meski masih berumur lima tahun sudah duduk di kelas I SD. Dia mengidap sindrom autisme. (agt/noe/naz/ton/ziz/abm/hap)