Keberadaan/Efektifitas Pasukan Keamanan di Poso Harus Dievaluasi

Siaran Pers Kontras
No. 26/SP-Kontras/XI/2004
Tentang
"Keberadaan/Efektifitas Pasukan Keamanan di Poso Harus Dievaluasi"

KontraS mendesak pemerintah untuk mengevaluasi keberadaan/efektifitas pasukan keamanan di Poso, Sulawesi Tengah. Langkah ini diperlukan mengingat aparat keamanan tidak mampu menanggulangi berbagai tindakan kekerasan terutama penembakan misterius dan aksi peledakan bom. Dalam hal ini juga diperlukan upaya untuk meninjau ulang penempatan pasukan termasuk bila perlu melakukan pergantian pasukan dan kepemimpinan baik polisi,TNI maupun Satgas Sintuwu Maroso.

Dalam beberapa terakhir, di kabupaten Poso terjadi sejumlah tindak kekerasan. Pada 4 November 2004, Kepala Desa Pinedapa yang sempat hilang kemudian ditemukan dalam keadaan yang mengenasakan. Paska peristiwa itu Poso kembali terjadi ketegangan dengan adanya sweeping kendaraan bermotor, teror bom dan ancaman provokasi. Senin 8 November 2004 terjadi penembakan misterius yang menewaskan 1 orang warga Poso. Beberapa kasus yang terjadi dalam hitungan hari tersebut membuktikan bahwa negara kembali gagal memberi rasa aman kepada masyarakat Poso.

Rasa tidak aman yang dialami masyarakat Poso tersebut bukan merupakan kejadian pertama. Kejadian-kejadian tersebut merupakan kejadian yang selalu dan sudah pernah terjadi sebelumnya, terutama dalam dua tahun terakhir di Poso, menjelang hari raya. Terlebih lagi adanya pola peledakan bom dan penembakan misterius. Sedangkan penculikan dan pembunuhan dengan memotong leher korban merupakan cara baru yang digunakan untuk menciptakan suasana yang tidak aman dan memancing emosi masyarakat Poso yang dalam proses healing dan rekonsiliatif paska konflik.

Kekerasan-kekerasan yang selalu terjadi tersebut merupakan buah dari ketidaktegasan dan renadahnya komitmen negara terutama aparathukum yaitu kepolisian dalam menjalankan tugas pengamanannya. Padahal jika dilihat dari kapasitas besaran pasukan, semestinya mampu melakukan penanggulangan keamanan. Di Poso saat ini terdapat 3.900 pasukan Polri dan TNI, yang mulai masuk pada Juli 2004. angka ini belum termasuk aparat inteljen yang di BKO-kan, yang secara normatif diberlakukan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (masa Presiden Megawati) yaitu Susilo Bambang Yudhoyono paska penyerangan beberapa desa di Poso pada Oktober 2003.

Jumlah Pasukan Non Organik Polri dan TNI di Poso
Periode 2000-2004

Tahun

Polri

TNI

Jumlah

2000

832

489

1.321

2001

1.172

852

2.024

2002

2.270

968

3.238

2003

3.096

1.668

4.764

2004

3.000

900

3.900

Sumber : Pemda Poso

Kapasitas aparat negara yang sangat leuas tidak mampu menumbuhkan rasa aman, mendukung upaya rekonsiliatif dan ketagasan hukum. Walhasil, kekerasan-kekerasan kembali terjadi, sebagaiamana yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Pada tahun 2003 dari 92 kasus kriminal di kabupaten Poso, termasuk yang berkaitan dengan kerusuhan, hanya 7 kasus yang ditingkat proses hukumnya, ke kejaksaan dan pengadilan. Tindakan-tindakan kepolisian cenderung menjadi tindakan simbolis dan tidak bermakna. Pada tahun 2002 paska penandatanganan Deklarasi Malino telah 19.128 senjata diserahkan ke aparat kepolisian (senjata api rakitan 618 pucuk, dumdum 142 buah, busur dan pelontar panah 2.804 buah, anak panah 14.848, senjata tajam 75 buah, ketapel dan sumpit 134 buah, amunisi 372 butir dan bom rakitan 22 buah) pada Maret 2004 juga telah dilakukan sejumlah pengamanan terhadap sejumlah senjata api di Tantena dan di Tokorondo.

Selain itu, upaya resolusi konflik dilakukan melalui cara konvensional, yaitu terus mendekonstruksi rasa saling percaya masyarakat (yang dulu berkonflik) melalui tindakan kekerasan. Ekskalasi konflik dan tindak kekerasan semakin berkembang dan meningkat. Namun sejauh ini mayarakat dapat menahan diri dan tidak terpancing dalam upaya provokatif tersebut. Walaupun tetap ada hal yang cukup mengkhawatirkan. Kekerasan psikologis berupa intimidasi dan teror yang dialami dapat menghilangkan daya tahan masyarakat berupa solidaritas bersama yang akhirnya dapat memposisikan masyarakat diri secara berseberangan berdasarkan pembedaan identitas tertentu, seperti agama.

Tindakan kekerasan yang terjadi ini jelas bukan merupakan tindakan kekerasan biasa atau kriminal yang dilakukan oleh mayarakat, apalagi bermotif balas dendam. Tindakan kekerasan ini jelas merupakan pola sistem yang terencana dan dilakukan oleh seseorang atau lebih berkemampuan (penggunaan senjata, memiliki senjata dan mamiliki informasi akurat; baik geografis maupun informasi identitas masyarakat) yang di atas kemampuan masyarakat umum.

Jakarta, 9 November 2004

Badan Pekerja

Usman Hamid
Koordinator