JPU Lalai Tak Sampaikan Memori Kasasi, Proses Peradilan Buruk

Kelalaian jaksa penuntut umum (JPU) yang tidak mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA) memperkuat anggapan buruknya proses peradilan Indonesia dalam perkara pelanggaran berat HAM Timor Timur. Keburukan ini memperkuat legitimasi bagi bekerjanya Komisi Pakar yang dibentuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan untuk melakukan evaluasi terhadap proses peradilan kasus Timor Timur.

Demikian pandangan Kontras, Elsam, dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) yang disampaikan dalam sebuah jumpa pers bersama di Kantor Kontras, Jakarta, Rabu (9/3). Hadir memberikan keterangan Koordinator Kontras Usman Hamid, Ketua Ikohi Mugiyanto, aktivis Elsam Semendawai.

"Kasus ini tidak hanya menegaskan kembali betapa buruknya mekanisme dan sistem pengadilan HAM Indonesia. Tetapi, juga menunjukkan rendahnya kinerja aparat hukum negara untuk memperjuangkan keadilan atas pelanggaran berat HAM," kata Mugiyanto yang membacakan siaran pers bersama.

Dikatakan Mugiyanto, kelalaian ini menambah panjang daftar keganjilan proses pengadilan ad hoc HAM kasus Timor Timur seperti tidak dijalankannya nota kesepakatan (MoU) tentang pertukaran alat bukti antara pemerintah RI dan Timor Leste, tidak memadainya hukum acara yang berlaku, minimnya kehadiran saksi korban, tidak adanya mekanisme perlindungan saksi, dan tidak adanya pemulihan tentang hak korban.

Lebih lanjut, Usman Hamid menambahkan Presiden Susilo perlu mempertimbangkan untuk mengambil tindakan terhadap Jaksa Agung. Sebab, berdasarkan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan Jaksa Agung bertanggung jawab terhadap proses penyidikan dan penuntutan.

"Jadi, kalau sampai terjadi kesalahan ini, itu tanggung jawabnya Jaksa Agung," kata Usman.

Sementara, Semendawai menambahkan, kelalaian ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus Timor Timur. Menurutnya, perkara pelanggaran HAM berat adalah perkara kriminal luar biasa. Penanganan perkara jenis ini pun harus dilakukan secara luar biasa.

"Kelalaian ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak ditangani secara luar biasa," demikian Semendawai. (Prim)