INTELIJEN MASA LALU, KINI, DAN ESOK

INTELIJEN MASA LALU, KINI, DAN ESOK

Oleh: Usman Hamid

Setelah Polri dan TNI, giliran lembaga intelijen negara akan diatur dengan undang-undang. Sebuah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen Negara telah disiapkan para akademisi Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara. RUU ini diharapkan dapat menjadi RUU usul inisiatif DPR (Kompas, 24/8).

Meski belum segera dibahas di DPR, Departemen Pertahanan menjadi penjuru untuk memulai pembahasan RUU itu. Jika tak ada halangan, RUU Intelijen Negara akan diperdebatkan kembali. Sebuah dilema kebutuhan antara membangun keamanan dengan intelijen efektif, dan menjaga demokrasi yang tengah berjalan.

Belum terlalu lama kita membahas beberapa masalah penting RUU serupa yang pernah-meski tidak diakui-disusun Badan Intelijen Negara (BIN). Antara lain restrukturisasi BIN dan perluasannya hingga ke tingkat desa, pemberian kewenangan pada BIN untuk menangkap dan menahan orang, sumber pendanaan dan bagaimana mekanisme pengawasan atas peran intelijen negara. Memori kolektif publik ke masa lalu saat intelijen dijadikan pilar kekuasaan rezim Orde Baru secara menyimpang, memicu reaksi dan tekanan publik yang besar untuk menolaknya.

Mencegah salah guna
Bagaimanapun, negara membutuhkan intelijen yang efektif demi kepentingan keamanan nasional, sambil terus menjaganya akuntabel dalam kerangka demokrasi dan rule of law. Karena itu, guna mencegah salah guna (misuse) intelijen negara oleh rezim yang berkuasa, RUU ini diperlukan. Mengapa?

Pertama, hingga kini belum ada hukum yang memadai tentang intelijen negara, setidaknya ketentuan setingkat undang-undang. Yang ada hanya keputusan presiden, isinya terlalu umum, baik dalam mendefinisikan wewenang dan tugas intelijen negara maupun mekanisme kontrol saat intelijen negara bertugas. Di mana pun, intelijen negara selalu diberi special power seperti surveilance, membuka surat-surat seseorang tanpa izin, penggunaan identitas palsu (cover name), merekam pembicaraan, sampai operasi clandestine. Jika kewenangan khusus ini tidak diatur secara jelas, peluang penyimpangan menjadi terbuka.

Kedua, pada era Orde Baru, selama sekitar 30 tahun, intelijen telah digunakan sebagai mesin kekuasaan penguasa, mengintervensi kebebasan sipil dan politik warga negara atas nama doktrin stabilitas dan keamanan nasional. Selama itu banyak aktivis mahasiswa, parpol, hingga LSM yang kritis terhadap rezim penguasa yang dituduh sebagai musuh negara, diawasi bahkan dieliminasi.

Di era terbuka, para aktivis bebas bergerak tanpa dibayangi ketakutan intelijen. Di era transisi politik menuju demokrasi, residu pola pikir dan aktivitas seperti itu masih terasa. Hapusnya residu memerlukan perubahan mendasar dalam paradigma intelijen.

Dari dua pertimbangan itu, diharapkan intelijen negara memerankan dan menempatkan diri secara tepat pada konteks tantangan atau ancaman keamanan terkini. Bukan karena meningkatnya problem keamanan dalam negeri, tetapi juga karena peta keamanan dunia yang berubah.

Di satu pihak, proses demokrasi di sejumlah negara mendorong terbentuknya masyarakat terbuka. Nilai-nilai kemanusiaan, akuntabilitas, dan transparansi yang menjadi cirinya mendorong negara-negara otoriter mereformasi tata kenegaraannya lewat berbagai cara, yaitu reformasi kepolisian, militer, dan intelijen.

Pada pihak lain, demokratisasi berjalan paralel dengan peta dunia yang berubah pascaserangan WTC dan Pentagon di Washington DC, 11 September 2001 (9/11). Disusul bom Bali (12/10/2002), bom Madrid (11/3/2004), bom Kuningan Jakarta (9/9/2004), bom London (7/7/2005), bom Sharm el Sheik Mesir (23/7/2005), dan rentetan peledakan bom di Irak.

Ancaman global dan nasional
RUU Intelijen Negara yang diharapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR harus dilihat dalam konteks ancaman global dan nasional. Ancaman terorisme global memicu respons kebijakan keamanan nasional yang variatif di sejumlah negara, khususnya mendefinisi ulang prioritas ancaman keamanan. Konsekuensinya, mengubah strategi pertahanan dan keamanan nasional.

Sebelum 9/11, berlaku diktum konvensional, serangan terhadap keamanan nasional lebih banyak disebabkan ancaman negara lain. Pasca itu, ancaman ditujukan pada kejahatan terorisme oleh organisasi kriminal internasional dengan skala operasi mikro, menggunakan teknologi canggih dan hasilnya amat menakutkan.

Ancaman ini memerlukan alat antiteror yang efektif, yang biasanya mengandalkan intelijen. Seperti model ancaman modern, intelijen bekerja secara rahasia dan kehadirannya tidak dirasakan pada aktivitas publik sehari-hari. Inilah yang menjadi problem baru, terutama dalam kaitan menjaga keseimbangannya dengan demokrasi. Di satu pihak masyarakat demokratis mensyaratkan tata pemerintahan terbuka, transparan, dan akuntabel, di pihak lain karakter operasional intelijen selalu bersifat rahasia dan tertutup.

RUU Intelijen Negara harus mampu menjawab pertanyaan seputar standar dan fungsi intelijen yang ideal. Pertanyaan ini mencakup patokan normatif apa yang bisa membatasi kerja intelijen, institusionalisasi pengaturan kerja intelijen, pertanggungjawaban fungsi intelijen, hingga bagaimana negara menyediakan mekanis
reparasi atas dampak kelalaian kerja intelijen.

Karena itu, ramuan kombinasi faktor-faktor itu secara komposisional harus tepat dirumuskan dalam RUU Intelijen Negara. Pentingnya demokrasi, kebebasan sipil, dan rule of law perlu terus diingatkan.

Usman Hamid
Koordinator KontraS
(Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan)