AS, YAHUDI, DAN ACEH

Pengantar Redaksi
Pertengahan September 2005, wartawan "Kompas" Dedi Muhtadi bersama sembilan wartawan lainnya diundang Pemerintah Amerika Serikat untuk melihat kegiatan sukarelawan ("volunteerism") dan masyarakat madani ("civil society"). Selama dua minggu peserta diajak mengunjungi beberapa kota, antara lain Washington DC, New York, dan Tucson, Arizona. Laporannya dimuat di halaman ini dan halaman 34-40.

Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2005 di New York City pertengahan September lalu menjadi ajang "balas dendam" dari pemimpin negara-negara berkembang terhadap kepemimpinan Presiden Amerika Serikat George W Bush.

Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, misalnya, menyebut negara maju sebagai "coalition of evil" atau "koalisi kejahatan". Dia merasa negara-negara maju selama ini sering melanggar kedaulatan dan integritas negara lain.

Kecaman tak kalah pedas dilontarkan Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang menyebut AS sebagai negara teroris karena mengobarkan perang yang bersifat kriminal di Irak. "Tidak pernah ada senjata pemusnah massal (di Irak), tetapi Irak tetap dibom," ujarnya tegas.

Invasi AS dan sekutunya ke Irak dan Afganistan merupakan contoh paling nyata dari ketimpangan kekuasaan global. Dengan mengatasnamakan perang terhadap teroris dan membasmi senjata pemusnah massal, pasukan koalisi membombardir kedua negara.

Siapa yang menjadi korban? Ribuan warga sipil. Belakangan terbukti tidak ada senjata pemusnah massal di Irak. AS juga tidak kunjung mendapatkan Osama Bin Laden di Afganistan. Media massa kemudian memberitakannya apa yang dilakukan negara adidaya terhadap negara-negara berkembang itu. Dari sana kemudian terbentuklah kesan bahwa AS sebagai polisi dunia dan menindas bangsa yang lemah.

"Saya marah dan merasa malu terhadap persepsi yang selama ini dituduhkan itu. Itu kebijakan pemerintah, kami, warga negara, tidak seperti itu. Yang kami kerjakan adalah membantu persoalan orang lain," ungkap Joyce A Walsleben RN PhD, pengelola Sleep Medicine Associates of New York City, sebuah lembaga nirlaba yang bergerak membantu orang-orang sulit tidur dan pengelolaan isu kesehatan wanita.

Bersama Dr Omar Burschtin dan sejumlah dokter, Joyce menjadi relawan medis untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung dari sisi ekonomi di seantero Amerika Serikat. Di lembaga sukarelawan yang menerima bantuan dana dari para dermawan, mereka mengobati orang yang kecanduan narkoba serta memberikan fasilitas kesehatan tanpa bayar untuk ibu dan anak.

Lembaga ini juga memberi kesempatan bagi para dokter untuk meningkatkan kemampuannya terutama dalam menghadapi keadaan darurat. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit terutama di New York City.

"Saya antiperang dan untuk melawan kebijakan itu, selain menyampaikan keberatan, saya juga mengadakan seminar hingga memobilisasi unjuk rasa. Dalam proses demokrasi, kampanye terus dilakukan dan kalaupun kami kalah suara, tidak berarti kami menerima apa yang terjadi," ujarnya.

Membangun Aceh
Sleep Medicine Associates of New York City merupakan organisasi relawan yang menyalurkan tenaganya kepada orang-orang kurang beruntung. Di AS, tercatat sekitar 1,5 juta lembaga nirlaba atau NGO jenis ini yang mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan, mulai dari dalam negeri hingga internasional. Bidang yang mereka garap mulai dari menangani tuna wisma hingga relawan untuk korban badai Katrina dan Rita serta membantu korban tsunami di Sri Lanka, Thailand, hingga Aceh.

Tiap lembaga memiliki puluhan hingga ratusan ribu sukarelawan yang didukung pendanaan oleh masyarakat madani (civil society). Sumber dana ini selain dari perorangan juga dari perusahaan-perusahaan besar. "Kami menerima dana dari mereka dan diaudit setiap tahun," ungkap Dee Ann Baber, Wakil Presiden sekaligus Direktur Operasi Arizona’s Children Association, asosiasi panti asuhan di Tucson, Negara Bagian Arizona, yang sudah beroperasi sejak 100 tahun lalu. Dermawan rutin mereka antara lain perusahaan raksasa IBM.

Selain Sleep Medicine Associates of NYC dan Arizona’s Children Association, contoh lembaga nonprofit lainnya adalah American Jewish World Service (AJWS). Di Indonesia, organisasi Yahudi Amerika ini membantu rakyat Aceh untuk membangun kembali perekonomian. Program bantuan pascatsunami ini merupakan pertama kali organisasi nirlaba untuk membantu masyarakat grassroot.

"Kami sama sekali tidak ada kaitan dengan kebijakan Pemerintah Israel. Misi organisasi kami adalah ikut menyembuhkan dunia," ungkap Elizabeth A Toder, Senior Program Officer AJWS di Foreign Press Center New York akhir September lalu. Program yang dijalankan organisasi ini melalui pengembangan pertanian pedesaan, pendidikan, kesehatan, dan pengembangan usaha mikro.

Menurutnya, program yang dijalan AJWS sangat terbuka karena nonpolitik, nonagama, dan nonsektarian. Walaupun demikian, pihaknya tidak menutup mata dengan kondisi dan situasi di negara Israel. Katanya, namanya juga sudah Jewish, kegiatan AJWS tidak pernah sembunyi-sembunyi. Sesuai misinya, AJWS bertujuan menyembuhkan sekaligus membangun dunia. Caranya, bekerja sama dengan mitra lokal untuk mengembangkan masyarakat pedesaan.

AJWS sudah dua puluh tahun membantu pengembangan masyarakat di pedesaan negara-negara berkembang mulai dari India, Somalia, Sri Lanka, atau Thailand, termasuk Indonesia sekarang ini.

Di Aceh sendiri AJWS membantu pendanaan LSM Acehkita, lembaga yang menyediakan sumber alternatif berita dan informasi di Aceh melalui website dan majalah. Pada saat bencana tsunami, AJWS menyokong Acehkita untuk mendistribusikan makanan dan pakaian bagi para korban tsunami di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Pidie hingga Juni 2005 dan Aceh Barat hingga Agustus 2005.

AJWS juga membantu bahan-bahan material untuk keluarga korban di Banda Aceh melalui Church Worlds Service (CWS). Bulan Maret lalu CWS membantu korban bencana gempa di Pulau Nias, seperti pembangunan sumber air minum dengan kapasitas 25.000 liter per jam.

CWS merupakan lembaga pertolongan, pengembangan, dan asistensi bagi pengungsi. Di AS Lembaga ini didominasi oleh kelompok Protestan, Ortodoks, dan Anglikan yang bekerja dengan partner organisasi lokal di lebih dari 80 negara. CWS memiliki sejarah panjang bekerja di Aceh dengan LSM lokal, terutama untuk meredam konflik antaragama. CWS juga menyediakan pertolongan bagi warga Nias yang tertimpa gempa bumi pada 28 Maret lalu.

LSM yang didanai AJWS adalah Kontras untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh. AJWS juga menyokong Kalyanamitra yang aktif mengampanyekan melawan kekerasan terhadap perempuan dan berjuang untuk kesetaraan jender.

Bersamaan dengan itu, AJWS menyokong bantuan Solidaritas Perempuan, antara lain untuk melatih 100 sukarelawan yang menyediakan kebutuhan dasar pemulihan bagi ibu-ibu dan anak-anak.

LSM lain yang disokong AJWS adalah Flower Aceh, Global Greengrants, Hapsari yang mengembangkan perekonomian keluarga nelayan di Pantai Cermin, Sumatera Utara. Kemudian Internasional Medical Corps, International Rescue Committee, People’s Crisis Center, RANUB Women’s Network dan Aceh Judicial Monitoring Insitut (AJMI), semua LSM ini beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam.

Bantuan Pemerintah AS
Di Aceh dan Pulau Nias, Tim USAID dan personel militer AS juga telah aktif memberikan bantuan sejak awal terjadinya tsunami. Hingga awal Juni 2005, AS telah menyediakan bantuan lebih dari 52,2 juta dollar AS untuk bantuan pangan darurat, kesehatan, logistik, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Dalam kunjungannya ke Aceh 8 Mei 2005, Wakil Menlu AS Roberth Zoellick telah menandatangani MOU bantuan pembangunan jalan Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 250 kilometer termasuk 117 buah jembatan dengan perkiraan biaya sekitar 245 juta dollar AS (sekitar Rp 2,5 triliun). Selain itu, Zoellick juga mengunjungi Lamteungoh untuk melihat proyek pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk membantu masyarakat mengidentifikasikan dan menentukan prioritas rekonstruksi. Proyek tersebut telah berjalan di 53 kecamatan dengan total dana yang telah dicairkan sebesar 1,62 juta dollar AS.

Terkait dengan telah disahkannya Emergency Supplemental Appropriations for Defense, the Global War or Terror and Tsunami Relief yang ditandatangani Presiden Bush 11 Mei, telah dialokasikan tambahan bantuan AS untuk tsunami sebesar 656 juta dollar AS untuk tahun fiskal yang berakhir 30 September 2005. Dari jumlah tersebut Indonesia memperoleh sekitar 400 juta dollar AS. Bantuan ini termasuk untuk proyek jalan raya Banda Aceh-Meulaboh senilai 245 juta dollar
AS.

Dalam kerangka bantuan tsunami, AS juga memberikan moratorium utang kepada Indonesia sejalan dengan komitmen Paris Club sebagaimana diputuskan dalam sidang paris Club tanggal 12 Januari 2005 dan tanggal 10 Maret 2005. Bagi Indonesia sendiri, AS merupakan negara donor yang penting. Selain pinjaman (semi) komersial melalui US Exim Bank sekitar 1,3 miliar dollar AS.

Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai pinjaman lunak (ODA) AS per kuartal 1 tahun 2004 cukup tinggi dan mencapai 1,594 miliar dollar AS. Nilai pinjaman ODA tersebut menempatkan AS pada posisi ke tiga negara pemberi bantuan lunak terbesar bagi Indonesia setelah Jepang (22,086 miliar dollar AS) dan Perancis (1,611 miliar dollar AS).

MOU Moratorium Utang Indonesia-AS terkait dengan bencana tsunami senilai 212 juta dollar AS telah ditandatangani oleh Dirjen Perbendaharaan Negara Mulia Nasution dan Dubes AS Lynn Pascoe, 15 Juni 2005 di Jakarta. Jenis utang yang termasuk dalam skema moratorium adalah utang Pemerintah RI kepada empat institusi AS, yaitu US Department of Agriculture/USDA, USAID (Direct Loan dan Housing Guarantee), Department of Defence, dan Ex-Im Bank.

Bunga moratorium utang berkisar antara 3-3,5 persen dengan tenggang waktu (grace periode) 1 tahun dan pengembalian kembali dimulai pada tanggal 1 Desember 2006 dan berakhir 1 Desember 2009.Negara-negara maju selama ini sering melanggar kedaulatan danintegritas negara lain.