DPR Ingkari Janji dan Langgar Tata Tertib

DPR Ingkari Janji dan Langgar Tata Tertib

Rekomendasi Pansus DPR (2001)
yang menyatakan tidak ada Pelanggaran berat HAM pada Kasus Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II (TSS) dijadikan alasan bagi Kejagung untuk
tidak menindaklanjuti penyidikan kasus TSS. Bagi kami jelas,
rekomendasi Pansus DPR bukanlah pruduk hukum. Pertama, karena
ia lahir sebelum UU pengadilan HAM disahkan. Kedua, sesuai
keputusan 29/DPR/III/2000-2001, mandat pansus DPR sebatas memantau
proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I-II. Ketiga,
wewenang menyelidik dan memutuskan ada tidaknya pelanggaran berat HAM
bukan wewenang DPR, tetapi ada di Komnas HAM.





Mengacu pada hasil
kajian komisi III DPR (2004-2009) yang merekomendasikan peninjauan
kembali kasus TSS, dan desakan keluarga korban, Pada 14 September
2005 dan 12 Februari 2006 Ketua DPR berjanji akan mengagendakan kasus
TSS pada rapat BAMUS (Badan Musyawarah). Namun sampai dengan lima
kesempatan BAMUS sejak 12 Januari 2006, DPR tidak juga mengagendakan
kasus TSS





Belum lagi janji
tersebut dipenuhi, Pada hari Jum’at, 17 Februari 2006 Rapat
Pimpinan (RAPIM) DPR memutuskan hasil Pansus DPR (1999-2004) untuk
kasus TSS, tidak bisa dibatalkan. Alasan yang diberikan adalah tidak
etis membatalkan hasil kerja Pansus DPR masa yang lalu. Dan belum ada
preseden untuk membuka kembali kasus yang sudah diputus dalam rapat
paripurna DPR priode 1999-2004. Padahal RAPIM bukanlah alat
kelengkapan Dewan sebagai pemutus kebijakan dewan. Terlebih-lebih,
sidang paripurna, yang merupakan alat kelengkapan DPR, sudah meminta
BAMUS mengagendakan pembahasan kasus Trisakti Semanggi I dan II.
Seharusnya sidang paripurna dan rekomendasi Komisi III DPR tidak bisa
dikalahkan RAPIM DPR.





DPR telah dengan
sengaja mengikari janjinya dengan dalih mekanisme internal yang
birokratis. Rekomendasi Pansus DPR telah melindungi pelaku
pelanggaran HAM, memandulkan Jaksa Agung yang enggan menyidik kasus
TSS, serta menyurutkan harapan keadilan bagi korban dan keluarga
korban.





Untuk itu, kami mendesak :



  1. Pertanggungjawaban Ketua
    DPR, untuk membahas kasus TSS pada rapat BAMUS, maupun rapat
    Paripurna DPR RI


  2. Rapat Paripurna DPR RI
    mengesahkan hasil kajian Komisi III dengan mencabut rekomendasi
    Pansus DPR (2001).


  3. DPR segera mengusulkan kepada
    Presiden agar mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM Adhoc
    bagi kasus Trisakti, Semanggi I dan II.






Jakarta, 23 Februari
2006


PRESMA USAKTI (Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti)

FAMSI (Front AksiMahasiswa Semanggi)

KOMPAK (Komite Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan)

GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia)

AKKRA (Aliansi Korban Kekerasan Negara)

Keluarga korban Trisakti, Semanggi I dan II

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)