Hasil Reformasi: Hari-hari Menunggu, Hari Penuh Harapan

Oleh Windoro Adi
"Kami bersyukur akhirnya pemerintah mengakui putra kami gugur sebagai pahlawan reformasi. Mereka tidak mati sia-sia," ujar Hiratetty, ibu dari Elang Mulia Lesmana, dalam sebuah jumpa pers di Kampus Universitas Trisakti, Senin, 8 Mei 2006.

Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak aparat keamanan 12 Mei 1998 di halaman Kampus Trisakti. Penembakan di sore itu telah memicu kemarahan rakyat terhadap rezim Orde Baru dan memicu kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya pada 14 Mei 1998 yang berpuncak dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Kerusuhan sosial di Jakarta itu telah membuat Ibu Kota membara. Tak terbilang orang meninggal.

Gelombang reformasi telah mengubah konstelasi politik Indonesia, termasuk "nasib" para aktivis dan politisi yang memperjuangkan reformasi bersama mahasiswa. Amien Rais yang sempat dikenal dengan sebutan Bapak Reformasi terpilih sebagai Ketua MPR (1999-2004), KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, bagi aktivis yang berjuang menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto, kehidupan tak banyak berubah, termasuk empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak. Baru pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Bintang Jasa Pratama kepada empat mahasiswa itu. Anugerah itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 057/TK/2005 tertanggal 9 Agustus 2005.

Dalam jumpa pers Senin itu, Karsiah Sie, ibunda Hendriawan Sie, mengaku bangga dengan pengakuan dan penghargaan dari pemerintah. Akan tetapi, tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembus timah panas aparat keamanan itu seakan tanpa pertanggungjawaban. "Kami lelah, pemerintah dan DPR sampai sekarang sepertinya tidak pernah serius menuntaskan dan mengungkap kasus ini. Sekarang ini sudah delapan tahun berlalu. Kami bosan dengan janji-janji, terutama dari DPR," ujar Hiratetty.

Gerakan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru sebenarnya sudah terjadi empat tahun sebelum Soeharto jatuh, yaitu ketika gelombang demokratisasi menerpa Asia Timur.

"Gerakan demokratisasi di Myanmar dengan Aung San Suu Kyi-nya itu menginspirasi gerakan prodemokrasi di Indonesia," ujar Budiman Sudjatmiko, salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang sempat mendekam di penjara Orde Baru.

Gelombang demokratisasi diawali dengan tuntutan mencabut lima paket undang-undang politik. Isu pencabutan lima paket undang-undang politik kerap diartikulasikan oleh aktivis PRD dan elemen lain. PRD yang bernama Persatuan Rakyat Demokratik dideklarasikan sejumlah aktivis, antara lain Sugeng Bahagyo, Dita Indah Sari, Widji Thukul. Widji Thukul adalah penyair yang hilang dan mungkin tak bisa menikmati buah reformasi yang diperjuangkannya.

PRD, menurut Budiman, berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik dan dideklarasikan 15 April 1996. Selain PRD, yang tampil mendobrak kebekuan sistem politik Orde Baru antara lain adalah PNI Baru, Parkindo Baru, dan Masyumi Baru yang muncul pada tahun 1995.

Daniel Dhakidae dalam buku Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Program (1999) menyebut gebrakan yang dibuat PRD dan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) telah membuka peluang mengubah seluruh peta politik dan politik kepartaian Indonesia. Mereka membongkar asas legalitas. "Keduanya menjadi peretas jalan, trail blazer, dunia kepartaian Indonesia modern menuju pergantian abad," tulis Daniel.

Perlawanan dari para aktivis muda itu kemudian dihadapi dengan sikap represif Orde Baru. Sejumlah aktivis PRD, termasuk Budiman Sudjatmiko, dituduh mendalangi kerusuhan di Jakarta menyusul penyerbuan aparat keamanan terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro yang dikenal dengan Kasus 27 Juli. Mereka dituduh melakukan tindakan subversif dan mendekam di sejumlah penjara di Indonesia. Begitu juga dengan Sri Bintang Pamungkas yang sempat ditahan di penjara. Mereka dibebaskan setelah Soeharto mundur dan digantikan BJ Habibie.

Sebagian dari aktivis mahasiswa dan aktivis partai kini tersebar. Budiman Sudjatmiko yang sempat melanjutkan studi di University of London untuk mendalami bidang Ekonomi Politik dan University of Cambridge bidang Hubungan Internasional dengan beasiswa dari Ford Foundation kini bergabung di PDI Perjuangan. Ia juga memimpin sebuah lembaga penelitian.

Mantan Sekjen PRD Petrus Haryanto mengelola bisnis penerbitan kecil-kecilan. Dita Indah Sari kini memimpin PRD dan juga aktif di organisasi buruh. Widji Thukul mungkin salah satu aktivis yang tak bisa menikmati buah reformasi. Bahkan, nasibnya pun tak diketahui. Ia hilang. Ia lenyap bersama sejumlah aktivis.

Budiman merasa mimpi idealnya ketika mendirikan PRD jauh dari realitas yang ada sekarang. "Saya membayangkan kejatuhan Orde Baru, seperti kejatuhan klasik diktator di negara lain, tetapi itu tak pernah terjadi," ujarnya. Tak ada lustrasi seperti di Ceko, tak keadilan transisional. "Saya sadar mimpi saya ketika ikut mendirikan PRD ternyata tak mudah," ujarnya.

Buah reformasi
Gabungan berbagai elemen mahasiswa dan rakyat yang menguasai DPR dan jalan-jalan di ibu kota menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunnya Soeharto.

Prasetyantoko dan Wahyu Indriyo dalam bukunya Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia (2001) mengatakan, kelompok mahasiswa memiliki kesadaran buruknya relasi antara negara dan masyarakat. Awalnya, perlawanan yang muncul ke permukaan adalah perlawanan kultural, baik dalam bentuk sajian kesenian maupun gaya hidup yang lebih terbuka. Tak berapa lama, perlawanan tersebut berubah menjadi kegiatan politik yang membuahkan hasil.

Reformasi memang menghasilkan dua hal: ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Ada sebagian demonstran yang sudah duduk manis sebagai wakil rakyat di gedung parlemen nan dingin di Senayan. Sudah beberapa kali mereka menyaksikan pintu gerbang parlemen dirobohkan demonstran. Sebagian demonstran lain memilih melanjutkan membangun basis di pedesaan dan menjalankan peran kecil saja. Sebagian lagi cuma kebagian peran sebagai pencari kerja atau penggembira di partai politik. Ada juga yang kini menjadi komisaris dari sebuah perusahaan atau menjadi pengacara.

Nasib dari keluarga korban Trisakti dan juga keluarga korban Semanggi I dan Semanggi II juga tak banyak berubah. Ho Kim Ngo (56), ibunda mendiang Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas tertembak dalam Peristiwa Semanggi II, kini sakit-sakitan. "Ya, saya mau kerja apalagi, orang sudah tua. Paling cuma nyuci, belanja sayur. Ngurus rumah saja hah," kata perempuan beranak tiga itu.

Rabu (10/5) pagi itu, ia bersama sekelompok paguyuban Tionghoa berniat pergi ke makam Yun Hap di Pondok Rangoon, Jakarta Timur. "Rencananya sih sekalian ke makam Hendriawan Sie (satu dari empat mahasiswa Trisakti yang tewas tertembak dalam Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998). Udah tiap tahun begini hah," kata Ho Kim Ngo.

Kini ia bersama kedua anaknya, Yun Yie dan Ling-Ling, sudah tinggal di rumah sendiri di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, setelah bertahun-tahun sebelumnya hanya mampu mengontrak rumah. Martini, ibunda mendiang Sigit Prasetyo, mahasiswa Yayasan Administrasi Indonesia yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I, makin sibuk bekerja mencari pemasukan tambahan bersama suaminya, Asih Widodo, karena sedang membangun rumah baru di kawasan Tanah Kusir.

Pekerjaan apa pun dikerjakan Martini, seperti menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak dan orang lanjut usia, atau menjual jasa mencuci. Sang suami pun tak kalah sibuk menjadi pekerja bangunan lepas.

Hiratetty, ibunda mendiang Elang Mulia Lesmana yang tewas dalam Tragedi Trisakti, masih sendiri setelah suaminya yang akrab disapa Pak Boy meninggal dunia dikepung kepedihan yang berlarut-larut. Ia kini tinggal serumah dengan kedua putrinya dan masih menjadi anggota Partai Indonesia Baru.

Karsiah Sie, ibunda mendiang Hendriawan Sie, mahasiswa Trisakti yang juga tewas tertembak, bekerja di sebuah koperasi di lingkungan Universitas Trisakti. Siang itu ia sibuk mengatur persediaan barang di koperasi. "Siang nanti saya sudah ada janji wawancara dengan wartawan sebuah stasiun televisi. Biasa, langganan setiap memperingati hari reformasi," tutur Karsiah.

Sumarsih (54), ibunda mendiang BR Norma Irmawan, mahasiswa Unika Atma Jaya yang tewas tertembak peluru tajam dalam peristiwa Semanggi I, Jumat 13 November 1998, tampil sederhana dengan setelan busana warna hitam-warna yang kontras dengan rambutnya yang hampir memutih semua. Ia juga tetap gigih untuk menuntut pertanggungjawaban dari negara atas peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II. Sumarsih yang meraih Yap Thiam Hien Award sempat melemparkan telor ke dalam rapat paripurna DPR yang membahas soal sikap DPR terhadap Tragedi Trisakti- Semanggi I dan II.

Kelompok keluarga korban kerusuhan Mei yang mendapat pendampingan Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencoba bertahan dari sulitnya hidup. Sebagian mereka berusaha bersama membuka warung, membuat minuman ringan, bordir, dan kantong telepon genggam. "Sebagian besar mereka adalah keluarga korban Kerusuhan Mei di Jogya Departemen Store, Klender" papar Koordinator Kontras, Usman Hamid.

Mereka, aktivis dan rakyat yang berjasa mendobrak Orde Baru kini menunggu hari dan juga menunggu harapan. Harapan akan datangnya keadilan. Dan, mereka yang telah menikmati buah reformasi tentunya tak bisa melupakan mereka yang tertinggal. Mereka yang telah menikmati buah reformasi tak sepantasnya terkena penyakit amnesia. Begitu juga dengan rakyat. Apa yang ditulis Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting mungkin patut disimak. Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Termasuk dilupakan oleh kekuasaan yang tak ingin masa lalu dipersoalkan!(Budiman Tanuredjo)