KONVENSI ORANG HILANG: Alat Baru Perjuangan Bersama Melawan Penghilangan Paksa

KONVENSI ORANG HILANG
Alat Baru Perjuangan Bersama Melawan Penghilangan Paksa

Oleh
Usman Hamid dan Sri Suparyati
Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

 

Saya Tuti Koto, keluarga korban penculikan. Nama anak saya Yani Afri, hilang tahun 1997. Saya orang bodoh, gak ngerti hukum dan politik. Hanya saya yakin bahwa anak saya dikurung oleh Kopassus. Karena dari 9 orang yang kembali, ada yang bertemu dengan anak saya  di tahanan. Saya berharap Kopassus bertanggung jawab atas anak saya ini. Karena buat saya, buktinya ada, saksinya ada, orangnya ada, semua lengkap sama saya. Saya berharap agar anggota Kopassus dan Presiden bertanggung jawab.

Tuti Koto, 28 April 2005

 

Pengantar

  1. Pada April 2000, Tuti Koto, ibu dari Yani Afri (berusia 27 tahun saat hilang), menerima penghargaan dari  Ibu Negara Sinta Nuriyah, istri Presiden RI KH Abdurrahman Wahid. Tuti Koto dinilai telah memperjuangkan anaknya yang hilang dengan penuh keberanian dan pengorbanan. Mungkin inilah salah satu bentuk perhatian kalangan Pemerintah RI terhadap kasus orang hilang pada masa itu.

 

  1. Tulisan ini tidak bermaksud membahas perjalanan Tuti Koto bertahun-tahun mencari kejelasan nasib dan keberadaan anaknya yang hilang, atau membahas tentang bagaimana komitmen Pemerintah SBY atas kasus ini. Melainkan lebih ingin memberikan gambaran singkat mengenai perangkat baru hukum internasional, berupa Konvensi PBB mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Bersumber dari catatan advokasi KontraS bersama jaringan AFAD, tulisan ini akan menguraikan arti penting keberadaan Konvensi itu, pada masa kini dan yang akan datang. Dengan begitu diharapkan kita lebih memahami betapa pentingnya perlindungan setiap manusia dari praktek penghilangan paksa. Apalagi, kasus orang hilang di Indonesia kini kembali diperbincangkan publik. Itu membuat Konvensi ini semakin jelas dibutuhkan.
  1. Beberapa minggu lalu, pada 13 November 2006, Komite Ketiga Majelis Umum PBB menyetujui teks draf Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dalam sidangnya yang berlangsung di markas besar PBB, New York. Pengesahan formal oleh Majelis Umum PBB menurut rencana akan dilakukan pada Desember 2006. Yang diperlukan selanjutnya adalah ratifikasi, lalu implementasi Konvensi itu. Langkah ratifikasi amat penting sebagai bukti bahwa negara mengikatkan diri secara hukum (legally binding) pada kewajiban-kewajiban hukum yang tertuang dalam Konvensi. Konvensi ini dinyatakan akan berlaku efektif 30 hari setelah 20 negara meratifikasi.

 

  1. Sebelumnya, tepat pada tanggal 29 Juni 2006, Dewan HAM PBB menyetujui teks draf Konvensi ini secara konsensus, tanpa adanya revisi atau pun keberatan terhadap isi dari draf Konvensi. Draf ini telah dibahas panjang lebar oleh Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Orang Paksa selama sekitar 3 tahun. Proses pembahasan akhir terhadap materi atau teks draf konvensi dilakukan dalam dua pertemuan besar yang melibatkan perwakilan negara anggota PBB serta para ahli hukum internasional, yakni pada 30 Januari – 13 Februari 2005 dan September 2005, di Jenewa, Swiss. Materi pembahasan mencakup seluruh pasal per pasal. Diantaranya mengenai aktor Negara dan non Negara dalam praktek penghilangan paksa, unsur-unsur pidana (elements of crimes), korelasi isu keamanan nasional vis-a-vis hak untuk memperoleh informasi atas penghilangan paksa, serta sejumlah aturan menyangkut soal prosedur dan mekanisme penanganan kasus orang hilang. Perdebatan yang juga mengemuka adalah apakah draf instrumen hukum tersebut akan dijadikan sebagai konvensi lengkap dengan badan pemantau pelaksanaannya, atau sekadar menjadi Protokol Tambahan dari Kovenan internasional yang telah tersedia. Pada akhirnya, semua hasil pembahasan tersebut mendapat persetujuan di Dewan HAM dan Komite Ketiga Majelis Umum PBB.

Fenomena Orang Hilang

  1. Tindakan penghilangan secara paksa pada kenyataannya telah menjadi fenomena dunia. Kejahatan ini terjadi dalam konteks negara-negara yang mempraktikkan politik otoriter. Konteksnya bisa terjadi dalam situasi konflik bersenjata, atau melalui operasi counter insurgency, operasi rahasia intelijen, hingga dalam sebuah represi terbuka. Konteks inilah yang melatarbelakangi penghilangan paksa menjadi fenomena yang terjadi di Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

 

  1. Di Indonesia, penghilangan paksa baru mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan publik setelah terungkapnya kasus penculikan aktivis dalam kurun waktu 1997/1998. Padahal jika merunut ke belakang, praktek kejahatan penghilangan paksa juga terjadi pada peristiwa politik berdarah tahun 1965-1966, lalu disusul dalam peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari Lampung 1989, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam konteks operasi militer di Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur. Dalam catatan Kontras, kejelasan hari demi hari itu, bergerak seiring persilangan atau dinamika dalam relasi publik versus negara. Setiap respon publik yang diwakili oleh organisasi-organisasi, keluarga korban maupun korban sendiri, melahirkan respon-respon dari negara, juga demikian sebaliknya.  Saat itu secara struktural Indonesia mulai memasuki babak terberat dalam krisis ekonomi, sehingga beban dalam tubuh negara agaknya memang semakin berat, sehingga mau tak mau pergumulan soal orang hilang dengan publik domestik yang didukung oleh publik internasional itu, mendesak negara sedemikian rupa hingga akhirnya menguak kasus ini. 
  1. Penyebaran praktek penghilangan orang secara paksa ini kemudian melahirkan sebuah gerakan perlawanan dari masyarakat, khususnya mereka yang kehilangan orang tercinta. Para keluarga dari orang-orang yang dihilangkan terus mencari tahu nasib dan kejelasan korban yang hilang, lalu menuntut negara untuk menghukum pelakunya serta mencegah keberulangan terjadinya praktek penghilangan orang secara paksa. Yang amat inspiratif adalah gerakan ibu-ibu Plaza de Majo di Argentina. Sebagai bagian dari perjuangan itu, selama lebih dari 20 tahun kelompok-kelompok korban penghilangan paksa di Amerika Latin menggulirkan dan mempelopori pengadaan sebuah kesepakatan moral dan hukum yang khusus untuk mencegah dan menindak kejahatan ini. Pada akhirnya, perjuangan ini telah membuahkan hasil yang berarti berupa pembuatan Deklarasi PBB, Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan secara paksa. Pada deklarasi ini,  (United Nations Declaration on the Protection of All Persons from Enforced or Involuntary Disappearance).

 

  1. Dalam perkembangannya, perjuangan itu menginspirasi kelompok korban orang hilang di benua lainnya, Afrika, hingga Asia. Di Asia, kita telah mengenal Keluarga-keluarga Penghilangan orang secara Paksa (Families of Involuntary Disappearance-FIND) yang berbasis di Filipina, Organisasi Orangtua dan Keluarga dari Orang Hilang (Organisation of Parents and Families of the Disappeared-OPFMD) di Srilanka, Perkumpulan Orangtua dari Orang-orang Hilang (Association of Parents of the Disappeared Person-APDP) di Kashmir, serta Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) di Indonesia. Para anggota dari semua organisasi itu merupakan anggota keluarga dan orangtua dari orang yang dihilangkan paksa. Bila para organisasi orang hilang di berbagai negara Amerika Latin bergabung ke dalam sebuah payung Federasi bernama FEDEFAM, maka di Indonesia organisasi-organisasi itu juga membuat payung perjuangan bersama di tingkat Asia, bernama AFAD. Sejak lebih dari delapan tahun, AFAD mengorganisir kelompok-kelompok korban orang hilang di Asia untuk membangun solidaritas lintas batas negara, baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Termasuk bersama-sama berjuang untuk adanya sebuah instrumen hukum internasional yang lebih konkret dan mengikat secara hukum setiap negara anggota PBB.
  1. Dibuatnya Deklarasi PBB untuk Orang Hilang adalah wujud begitu besarnya perhatian dunia atas fenomena kejahatan ini. Deklarasi ini adalah sebuah dokumen yang diadoptir Majelis Umum PBB dalam Resolusi 47/133 pada tanggal 18 Desember 1992. Deklarasi ini didasarkan pada dua pertimbangan utama; penghormatan HAM dan repudiasi praktek penghilangan paksa dalam segala situasi.

 

  1. Menurut Deklarasi, yang dimaksud penghilangan paksa atau ‘orang hilang’ adalah :

“.” seseorang yang ditangkap, ditahan, diculik, atau dirampas kemerdekannya oleh pemerintah di tingkat manapun atau oleh kelompok-kelompok yang terorganisir atau oleh pribadi yang bertindak atas nama mereka atau dengan dukungan, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam dari pemerintah, diikuti oleh penolakan untuk mengungkapkan  nasib atau keberadaan orang yang bersangkutan, atau penolakan pengakuan atas perampasan kebebasannya, dengan demikian menempatkan orang-orang tersebut di luar perlindungan hukum

 

Arti Penting Konvensi?

  1. Yang kini kita kenal dengan draf konvensi, adalah instrumen yang diperdebatkan. Satu pihak ingin agar PBB menggunakan mekanisme dan prosedur yang telah ada, tak perlu membuat Konvensi baru. Misalnya dengan membuat Protokol Tambahan. Di lain pihak menginginkan Konvensi agar memberi pesan yang kuat dari dunia untuk mengutuk kejahatan ini. Kedua sisi ini mungkin tak memiliki perbedaan konsekuensi signifikan secara hukum. Tapi Konvensi memiliki arti penting. Yakni untuk menegaskan keseriusan dari kejahatan penghilangan paksa, serta adanya kesadaran dan keinginan global untuk menghentikan dan mencegah praktek kejahatan yang baru.

 

  1. Konvensi diakui banyak pihak sebagai sebuah perkembangan luar biasa dalam melawan impunitas melalui pengembangan sistim hukum internasional, termasuk yang didasarkan pada hukum kebiasaan internasional.

Konsideran dan batang tubuh Konvensi menekankan hak untuk tidak dihilangkan. Khusus untuk korban, konsideran dan batang tubuh Konvensi mengakui adanya hak atas pengungkapan kebenaran dan reparasi untuk mereka dan keluarga. Termasuk hak untuk membentuk organisasi atau lembaga yang menentang tindakan penghilangan orang secara paksa.

Tidak boleh ada pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, instabilitas politik dalam negeri, atau darurat publik apapun, yang bisa membenarkan tindakan penghilangan paksa. (Pasal 1).

Negara wajib mengambil langkah penting untuk menjamin bahwa Penghilangan paksa merupakan kejahatan dibawah hukum pidananya. (Pasal 4).
Penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis atau meluas adalah kejahatan melawan kemanusiaan dan harus dihukum sesuai hukum internasional. (Pasal 5).

Pasal 6 Kategori orang yang bisa dituntut dalam penghilangan paksa, setidaknya;

  • setiap orang yang melakukan, memerintahkan, menghasut, atau membujuk perbuatan, percobaan perbuatan, kaki tangan dari, atau berpartisipasi dalam sebuah penghilangan paksa.
  • Atasan, yang
      • mengetahui, atau yang jelas terindikasi bahwa anak buah dibawah otoritas dan kontrolnya telah melakukan sebuah kejahatan penghilangan paksa;
      • menjalankan tanggungjawab efektif dan kontrol terhadap aktifitas kejahatan penghilangan paksa.
      • gagal mengambil semua langkah yang perlu dan beralasan dalam lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan penghilangan paksa atau menyerahkannya pada otoritas yang kompeten untuk investigasi dan penuntutan.

Tidak ada perintah atau instruksi dari otoritas publik apapun, sipil, militer atau yang lainnya, yang bisa membenarkan sebuah kejahatan penghilangan paksa (ayat 2).
Negara wajib memastikan adanya pemidanaan atas penghilangan paksa. (Pasal 7).
Negara yang telah mengimplementasikan peraturan pembatasan terkait dengan upaya penghilangan secara paksa wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa jangka waktu pembatasan untuk tindakan kriminal: a) adalah sepanjang dan sebanding dengan tingkat keseriusan dari tindakan; b) dimulai saat tindak penghilangan paksa dihentikan, dengan mempertimbangkan kelanjutannya di masa mendatang. (Pasal 8).

Khusus untuk anak-anak, Pasal 25 Konvensi menegaskan:

Negara wajib mengambil langkah agar tindakan-tindakan berikut dijatuhi hukuman:
(a) Pemindahan anak-anak secara keliru terkait penghilangan paksa, anak-anak yang ayahnya, ibunya atau pengasuh resminya terkait penghilangan paksa atau anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang terkait penghilangan secara paksa. 
(b) Penyalahgunaan, penggelapan, atau penghancuran dokumen yang berisi identitas sebenarnya dari anak-anak sebagaimana dimaksud sub-paragraf (a).

Negara wajib mengambil langkah untuk mencari dan mengidentifikasi anak-anak sebagaimana dimaksud dalam paragraf 1 (a) dan mengembalikan mereka ke keluarganya, sesuai prosedur hukum dan perjanjian internasional.

Negara wajib saling membantu dalam mencari, mengidentifikasi dan menemukan anak-anak sebagaimana dimaksud dalam paragraf 1 (a).

Mengingat adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan anak-anak sebagaimana dimaksud paragraf 1 (a) dan adanya hak anak-anak untuk memperoleh pemulihan dalam hal identitas, kewarganegaraan, nama dan hubungan keluarga. Negara yang mengakui adanya sistem adopsi atau bentuk lain dari penempatan anak, harus memiliki prosedur hukum untuk mengkaji prosedur adopsi dan penempatan, dan jika perlu, untuk membatalkan semua bentuk adopsi dan penempatan yang terkait dengan penghilangan secara paksa.

Dalam setiap kasus, terutama terkait ini, kepentingan anak harus jadi pertimbangan utama, dan seorang anak yang dapat memberikan pendapatnya sendiri harus diberikan hak untuk menyampaikannya secara bebas, pendapatnya tersebut disesuaikan dengan umur dan tingkat kedewasaan si anak.

Adanya upaya-upaya pencegahan di tingkat nasional dan internasional termasuk untuk membangun kerjasama internasional dan proses ektradisi (Pasal 9).  Ada juga mekanisme dan prosedur pemantauan internasional untuk perlindungan. Disini, Komite khusus yang berfungsi memonitor dan menerima laporan individu maupun negara, wewenang untuk melakukan investigasi lapangan dan kemampuan untuk membawa kasus tersebut ke PBB apabila mencapai situasi sistematis dan meluas. Komite untuk Penghilangan Paksa ini dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang disebutkan dalam Konvensi. Komite harus terdiri dari 10 orang ahli dengan moral dan kompetensi yang tinggi dalam bidang hak asasi manusia, yang akan bertugas dengan kapasitas pribadi mereka, bebas dan tidak memihak.
Dengan begitu, badan ini cukup signifikan dalam melakukan kewajiban hukumnya untuk mencegah adanya tindak penangkapan, merampas kebebasan dan penahanan dengan informasi yang detil atas penahanan, non derogable rights untuk upaya habeas corpus dan untuk memperoleh informasi tentang penahanan.

  1. Melalui Konvensi, masyarakat internasional menempatkan tindak penghilangan orang secara paksa sebagai sebagai induk dari segala pelanggaran HAM. Salah satunya karena ada empat jenis hak-hak sangat mendasar yang dilanggar oleh kejahatan penghilangan paksa, yaitu hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan hak untuk hidup.

 

  1. Konvensi akan mengisi banyaknya gap dan merubah kelemahan-kelemahan dalam sistim hukum internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa. Mengapa? Memang, sementara ini telah ada badan-badan internasional yang menyentuh isu penghilangan paksa. Diantaranya UNWGEID, ICC dan Human Rights Committee (HRC). Namun demikian, badan-badan tersebut mempunyai keterbatasan mandat. UNWGEID hanya memiliki mandat humaniter yang hanya bisa meminta negara anggota PBB untuk mengambil langkah-langkah yang perlu diambil bila terjadi tindak penghilangan paksa tanpa memiliki otoritas untuk melakukan kutukan (condemnation), penyelidikan apalagi kewenangan untuk menghukum negara atas pelanggaran HAM atau memerintahkan secara serius untuk memberikan reparasi.

ICC adalah sebuah perjanjian hukum pidana yang menguasakan pertanggungjawaban pidana secara individu untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang. Badan ini hanya bisa melakukan intervensi (pengadilan) pada individu pelaku pelanggaran HAM berat yang negaranya telah melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC, sementara banyak negara termasuk Indonesia belum meratifikasi ICC. Selain itu ICC bisa menggelar pengadilan hanya; 1) atas permintaan jaksa penuntut, baik itu atas inisiatif dia sendiri maupun 2) permintaan negara yang telah meratifikasi atau oleh 3) permintaan Dewan Keamanan PBB. Pada level ini korban dan keluarga korban penghilangan paksa tidak memiliki akses langsung, selain karena memang ICC dibuat bukan untuk melindungi korban pelanggaran HAM melainkan untuk menghukum pelaku kejahatan internasional.

Sementara HRC hanya merupakan Badan Pemantau Kovenan Hak-hak sipil dan Politik (ICCPR). Kompetensinya hanya dibatasi untuk negara-negara yang telah meratifikasinya, termasuk meratifikasi Protokol Tambahan Pertama ICCPR. Lebih jauh lagi, badan ini hanya dapat memberikan laporan “pandangannya” sehubungan kasus pelanggaran HAM dan tidak mengikat diantara negara-negara para pihak.

  1. Bagi orang Asia, arti penting Konvensi ini adalah legitimasi baru untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum bagi setiap orang di Asia. Seperti kita ketahui, Asia belum memiliki mekanisme regional untuk memajukan dan melindungi HAM, baik itu berupa Konvensi, Komisi atau Pengadilan. Padahal, beberapa mekanisme seperti itu sudah ada di Amerika Latin, Eropa dan Afrika. Mekanisme ini amat diperlukan ketika mekanisme domestik sudah tidak bisa lagi menanganinya (exhaust all dosmetic remedies), baik itu karena negara tidak mampu (unable) ataupun tidak mau (unwilling) menanganinya. 

 

  1. Konvensi ini bisa berkontribusi positif bagi reformasi sistem hukum Indonesia, khususnya revisi sistem hukum pidana dan hukum acara pidananya yang masih merupakan produk warisan kolonial. Perkembangan masalah pelanggaran HAM yang terjadi -di tingkat internasional dan nasional- sejak dimulainya periode kelam kemanusiaan Perang Dunia II, mendorong sebagian besar negara-negara di dunia untuk memperbaiki sistem hukumnya, khususnya berhadapan dengan masalah kekerasan negara. Praktek penghilangan paksa yang embrionya dimulai dari kejahatan sistematis rezim fasis di masa Perang Dunia II kemudian menghasilkan watak brutalnya pada periode 1970-an di kawasan Amerika Latin. Juga kekejaman serupa masih terjadi di negeri-negeri yang mengalami konflik bersenjata berkepanjangan. Era demokratisasi tidak hanya ditandai oleh artikulasi komitmen politik dari kepemimpinan pemerintahan yang baru, namun juga harus dijamin lewat mekanisme legislasi, institusional, dan yudisial. Dalam konteks reformasi hukum Indonesia, gagasan akan perlindungan warga negara dari praktek penghilangan paksa sebenarnya sudah diartikulasikan di berbagai produk hukum, mulai dari Amandemen Konstitusi hingga perundang-undangan. Ratifikasi Konvensi ini karenanya tidak akan membawa persoalan teknis yang berarti.

Jakarta, 30 November 2006


1 Disampaikan Usman Hamid dalam acara Sosialisasi Perangkat Hukum Internasional HAM, yang diselenggarakan oleh Direktorat HAM dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri RI, pada tanggal 30 November 2006 di Gedung Nusantara Deplu RI, Pejambon, Jakarta Pusat.

2 Ungkapan ini disampaikan Tuti Koto dalam sebuah diskusi tentang kasus Orang Hilang di Jakarta, pada tanggal 28 April 2005.

3 Penghargaan itu juga ditujukan untuk kaum perempuan di Indonesia yang memainkan peran penting dalam kondisi krisis di Indonesia. Sinta Nuriyah Wahid berharap bahwa penghargaan ini adalah juga sebuah pengakuan untuk perempuan yang secara aktif melakukan kampanye menentang kekerasan di tengah situasi dimana kaum laki-laki ber atasnama kebanggan bahkan agama di Ambon.  Acara penghargaan ini diprakarsai oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Yani Afri, atau yang lebih dikenal dengan Rian, bekerja sebagai supir transportasi umum dan aktif dalam kampanye politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

4 Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 1992.

5 Sementara itu, Amnesty International mendefinisikannya sebagai “…yang telah ditahan oleh agen pemerintah, namun keberadaannya dan nasibnya disembunyikan, dan penangkapannya disangkal.” Amnesty Internasional lebih memfokuskan pemerintah, melalui agen-agennya, sebagai pelaku utama dalam kasus penghilangan paksa. Dan korban dinyatakan belum kembali bahkan penangkapannya disangkal oleh pemerintah.

6 Lihat Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Sebagai bentuk yang terencana, sistematis, atau meluas, penghilangan paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusian (crimes againts humanity).

7   Pasal 3 Deklarasi PBB Mengenai Perlindungan  Kepada Semua Orang Terhadap Penghilangan Paksa.

8 Pasal 1 ayat 1 Deklarasi Mengenai Perlindungan Kepada Semua Orang Terhadap Penghilangan Paksa diadoptir Resolusi Majelis Umum No 47/133 pada tanggal 18 Desember 1992.

9 Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

10 Sekadar catatan, materi isi Konvensi akan dipaparkan dalam acara ini oleh narasumber yang lain. Atau selengkapnya mengenai isi Konvensi dapat dilihat pada lampiran.