DUA TAHUN SBY-JK: PENEGAKAN HAM BERKEPRIBADIAN GANDA

DUA TAHUN SBY-JK:
PENEGAKAN HAM BERKEPRIBADIAN GANDA

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa dua tahun kinerja Pemerintahan SBY-JK dalam penegakan HAM menunjukkan kepribadian yang ganda. Keadaan ini, terjadi akibat sikap yang seringkali ambivalen dan kurang berani mengambil resiko dalam menangani berbagai persoalan hak asasi manusia.

Kesimpulan ini merupakan hasil evaluasi Kontras terhadap kondisi hak asasi manusia dalam dua tahun masa pemerintahan SBY-JK. Evaluasi ini didasarkan pada perbandingan dua janji utama Pemerintahan SBY-JK dengan realitas di lapangan. Janji itu adalah; mencegah dan menindak pelanggaran HAM berat, termasuk menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Selain itu, ada satu kebijakan nasional yang wajib dilaksanakan, yakni Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009. Semua kewajiban ini merupakan perintah Konstitusi UUD 1945, Pasal 28 yang berbunyi: Pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah.

Pada rentang tahun kedua ini, langkah positif SBY-JK juga ditandai dengan masuknya pemerintah RI menjadi anggota Dewan HAM PBB dan Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, walaupun masih perlu diukur dengan upaya pemenuhan dan perlindangan HAM di dalam negeri. Namun pada tahun kedua ini KontraS juga masih mencatat beberapa masalah terkait dengan penegakan HAM dan demokrasi pemerintahan ini yang menunjukan kepribadian ganda dan ambivalensi.

1. Pembunuhan aktivis HAM Munir.

Pada tahun pertama, SBY mengatakan kasus munir sebagai ujian sejarah, apakah bangsa Indonesia sudah berubah. Namun pernyataan indah itu tidak menghasilkan pencapaian yang konkrit. Padahal, institusi Polri, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara, bahkan TNI—di bawah kepemimpinan orang dekat (pilihan) Presiden.

Pada tahun kedua, Presiden cenderung bersikap pasif. Tak ada langkah konkrit, kecuali sekadar memberi pernyataan yang seringkali diucapkan hanya lewat jurubicara. Presiden dan Wakil Presiden tak bersikap atas laporan TPF, menerima atau tidak. Muncul kesan, seolah menerima. Padahal jika menerima, SBY-JK seharusnya sudah melaksanakan rekomendasi TPF.

Bebasnya Pollycarpus oleh Mahkamah Agung dalam pembunuhan Munir tidak terlepas dari sikap pasif Presiden. Kasus ini seakan balik di titik nol. Akibat sikap ini juga, tidak ada bukti baru dan terdakwa baru. Keterlibatan pejabat di lingkungan BIN dan perusahan pemerintah PT Garuda Indonesia yang begitu telanjang hanya diikuti pergantian sebagian pejabat.  

Ucapan Presiden kepada dunia mengenai kasus Munir, terakhir lewat Presiden Uni Eropa tidak menunjukkan keselarasan dengan kerja penegak hukum yang lebih maju. Keadaan ini berdampak buruk pada semua pernyataan Presiden termasuk tentang “tidak ada yang kebal hukum” menjadi hanya indah didengar. Selama dua tahun memerintah, SBY-JK belum mampu menyelesaikan kasus Munir. Sikap ini bisa berarti Pemerintah membiarkan politik ketakutan terus ada di dalam tubuh dan pikiran kekuasaannya.

2. Mencegah dan menindak pelanggaran HAM berat.

Komitmen ini mustahil tercapai bila sekadar pernyataan, tapi perlu langkah progresif penegak hukum. Sayangnya, penegak hukum malah membebaskan semua terdakwa kasus Tanjung Priok 1984, setelah Timor Timur. Dengan segala alasan Jaksa Agung menolak hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus pelanggaran berat HAM seperti Trisakti dan Semanggi 1998-1999, Tragedi Mei 1998, kasus Wasior dan Wamena. Bila tidak ada kemauan dan kemajuan pada tahun ketiga, maka sebaiknya pejabat yang berwajib menuntaskan kasus-kasus tersebut, mundur. 

Pada posisi yang berbeda, kegagalan mengadili Soeharto di muka hukum menunjukkan bahwa Pemerintah SBY JK masih merupakan paket turunan rejim Orde Baru. Pemerintah lebih memilih menjaga kehormatan Soeharto dibanding upaya memberi keadilan bagi korban rejim Soeharto.

Tidak dituntaskannya masalah-masalah tersebut, akan terus membuat represi serupa terjadi. Sebab kini, keadaan di lapangan sudah kian memprihatinkan. Antara lain terlihat dalam kasus kekerasan dan penyiksaan oleh polisi, sipir penjara maupun Satpol PP dan manipulasi penyidikan kasus pembunuhan Ali Harta, penggusuran paksa atas rumah dan perampasan tanah, penertiban becak, pedagang kaki lima di berbagai daerah, serta kaum fakir miskin yang terlantar akibat ketidakmampuan negara memberi kehidupan yang layak. Penembakan petani juga masih terjadi. Termasuk pelarangan kebebasan untuk berkumpul dan berekspresi seperti terlihat pada kasus pelarangan aksi dan pertemuan INFID di Batam. Belum lagi dengan pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap Tibo dkk. Ironinya, di markas Dewan HAM PBB Indonesia menyatakan menjamin hak fundamental (non derogable rights).  

3. Ambivalen dalam mendorong reformasi politik hukum dan HAM Indonesia. 

Pemerintah membuat undang-undang tentang kewarganegaraan, dan meratifikasi dua buah kovenan PBB tentang hak-hak sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya. Namun pada saat yang sama, Pemerintah dengan semangat menolak RUU revisi peradilan militer, menghalangi pengajuan RUU KMIP, RUU Rahasia Negara dan RUU Intelijen Negara. Bahkan undang-undang yang telah ada seperti UU KKR, UU Pertahanan Negara dan UU TNI, tidak sepenuhnya dilaksanakan. Semua sikap dan kebijakan ini jelas berpotensi makin menutup akses keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat.  Kontradiksi lainnya adalah dibuatnya Perda-Perda yang tidak sejiwa dengan prinsip pluralisme dan toleransi. Sementara pemerintah tidak menunjukkan sikap yang jelas terhadap tindak lanjut UU KKR yang sudah dua tahun  disahkan. 

4. Gagal mencegah terjadinya skandal militer. 

Penemuan senjata di rumah alm. Brigjen Kusmayadi dalam jumlah besar, seperti membuka kotak pandora bisnis pengadaan alutsista militer. Kasus yang disidik Puspom TNI hanya menyentuh aktor pelaku dalam kepangkatan yang lebih rendah dari almarhum. Padahal bila dikaitkan dengan dinas, aktifitas almarhum tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab komando. Lagi-lagi TNI melindungi para perwiranya dari jeratan hukum, dan Presiden pun diam saja. Sementara di wilayah konflik, peredaran senjata tetap berlangsung tanpa ada kontrol yang efektif.

Setidaknya KontraS mencatat 4 kasus kepemilikan senjata illegal dan 4 kasus jual beli senjata illegal oleh aparat TNI. Sementara itu penemuan-penemuan sejumlah senjata, granat dan amunisi dalam satu tahun terakhir menunjukkan pula peningkatan. Salah satu kasus besar yaitu penemuan amunisi dan senjata di tol kapuk Km 27, Jakarta. Pasca kasus Kusmayadi, telah 3 kali ditemukan granat, sejata api dan amunisi yang sengaja dibuang dijalan di Jakarta dan sekitarnya. Sementara dalam skala nasional terdapat 19 kasus penemuan senjata  dan 7 diantaranya ditemukan di daerah bekas konflik Poso dan Maluku. Sejauh ini tidak ada upaya konkrit membongkar motif dibalik penemuan-penemuan senjata itu.

5. Tak berdaya membongkar jaringan penembak dan pembunuh di poso.

Pemerintah tidak serius untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul di wilayah-wilayah konflik, bahkan cenderung mengabaikan tanggungjawabnya. Di Poso, serangkaian peristiwa kekerasan masih mewarnai kehidupan masyarakat, baik penembakan misterius, bom maupun teror. Di sisi lain, pemerintah terkesan memanfaatkan isu hukuman mati bagi Tibo cs untuk menutup ruang koreksi atas kegagalan negara mengusut keterlibatan aktor negara dalam kekerasan dan teror. Keputusan hukuman mati yang tidak mentaati hak atas hidup (seperti dijamin konstitusi) malah menjadikan hukuman mati sebagai alat keseimbangan politik segregasi muslim-kristen dengan menghadap-hadapkan Tibo cs versus Amrozi cs sebagai tolak ukur keadilan segregatif.  

6. Tak tegas terhadap PT. Freeport. 

Penguasaan lahan eksplorasi emas PT Freeport yang telah melahirkan dampak negatif berupa ketidakadilan dan kekerasan bagi warga Papua tidak pernah menjadi isu penting bagi pemerintah untuk menegakan hukum, termasuk untuk memperbaharui kontrak kerja (sekalipun sinyal itu telah dibuka oleh Freeport). Posisi pemerintah hanya sibuk menghadapi protes warga Papua dengan berbagai stigmatisasi, tapi malas  memberikan keadilan dan menunjukkan kedaulatan atas ‘tanahnya’ ketika berhadapan dengan Freeport.  Termasuk terhadap kasus pembayaran sejumlah dana dari PT Freeport atas jasa keamanan kepada sejumlah perwira TNI dan polisi yang telah berlangsung lama, pemerintah sama sekali bisu. Rangkaian masalah terus menerus terjadi, sementara tidak ada langkah efektif yang bisa memecahkan kebuntuan.

Berdasarkan catatan diatas, bila dalam 3 tahun tersisa pemerintahan ini tidak merubah wajah penegakan hukum, HAM dan demokrasi. Oleh karena itu kami mendesak Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menunjukkan sikap politik yang tidak ambivalen, dan berani mengambil resiko.  

Sikap ini penting untuk penuntasan kasus Munir maupun menghadapi kekuatan destruktif dari modal multi nasional terhadap rakyat. Kegagalan agenda ini akan menjadi taruhan politik 2009 sekaligus petaruhan bagi penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

Jakarta, 17 Oktober 2006
Badan Pekerja,

Indria Fernida A  Edwin Partogi   
Kepala Bidang OperasionalKepala Biro Litbang