DICARI, ORANG HILANG!

DICARI, ORANG HILANG!

Oleh Usman Hamid

Setelah lama ditunggu, Komnas HAM akhirnya bisa merampungkan
penyelidikan kasus sejumlah aktivis yang hilang dalam kurun waktu
1997-1998. Komnas HAM menyatakan, motif utama penculikan di bawah
operasi intel Sandi Yudha ini adalah upaya rezim Soeharto
mempertahankan kekuasaan.

Dari penyelidikan Komnas HAM, ada dua hal pokok yang perlu
digarisbawahi. Pertama, kasus sembilan aktivis yang diculik kemudian
dilepaskan dan kasus 13 orang lainnya yang hingga kini masih hilang
merupakan satu rangkaian dari operasi yang sama (Sandi Yudha). Ini
berbeda dengan pengadilan militer terhadap Tim Mawar dari Kopassus
yang hanya mengakui menculik sembilan aktivis dan melepaskannya. Cara
ini mereduksi tanggung jawab unsur pimpinan militer.

Aktivis yang dilepaskan itu antara lain Faisol Reza, Nezar
Patria, Rusdianto, Mugiyanto, Jati, dan Andi Arief. Selama dalam
penyekapan, mereka mengalami perlakuan yang tak manusiawi, disiksa
saat interogasi dengan cara ditelanjangi, dipukuli, disetrum,
ditidurkan di es balok, disundut rokok, hingga tak sadarkan diri.

Kedua, meski pucuk pimpinan tertinggi militer berganti,
penculikan aktivis terus terjadi. Tentu maksudnya adalah penculikan
itu terjadi semasa Jenderal TNI Feisal Tanjung menjabat Panglima
ABRI, dan digantikan oleh Jenderal TNI Wiranto yang menjabat Panglima
ABRI per Februari 1998. Nah, operasi intel Sandi Yudha berada di atas
perintah Panglima ABRI.

Ini juga berbeda dengan sikap ABRI membentuk Dewan Kehormatan
Perwira (DKP) ABRI lalu memberhentikan Panglima Kostrad Letjen TNI
Prabowo Subianto dan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Muchdi PR.
Pertanyaannya, mengapa langkah ini belum diikuti tanggung jawab
pidana atas keduanya? Apakah untuk menghindari tanggung jawab komando
yang lebih tinggi di level Panglima ABRI, bahkan Presiden Soeharto?

Masalah publik
Dalam catatan Kontras, kasus orang hilang bergerak dari desas-
desus menjadi masalah publik setelah solidaritas dan keprihatinan
muncul terekspresi konkret dengan tumbuhnya keberanian sementara
kalangan sipil untuk melaporkan soal itu secara resmi dan
mengumumkannya kepada masyarakat luas. Tanpa dimulai dengan
keberanian itu, kasus itu selamanya hanya akan menjadi desas-desus.

Kini, setelah lebih dari delapan tahun kasus itu baru rampung
diselidiki, sejauh manakah tabir gelap penculikan ini bisa terungkap?
Mungkinkah kemudian para pelakunya diseret ke pengadilan untuk
mendapat hukuman setimpal?

Presiden Julio Sanguinetti dari Uruguay berargumen bahwa beratnya
hukuman yang dinyatakan dalam hukum harus diringankan apabila
aplikasinya akan mengakibatkan permasalahan sosial yang lebih besar
dibanding apabila sebuah kejahatan dibiarkan tanpa hukuman. Dasar
argumen inilah yang membuatnya tetap ngotot memberi amnesti bagi
sejumlah petinggi militer atas kejahatan angkatan bersenjata Uruguay.
Alasannya, demi perdamaian dan demi ketenangan.

Seorang aktivis kawakan, Aryeh Nier, mengkritik pandangan
Sanguinetti sebagai pemutarbalikkan konsep amnesti. Nier mengutip
definisi amnesti menurut Black’s Law Dictionary, yaitu penghapusan
dan pelupaan akan kejahatan. Sedangkan pemaafan, yang jelas berbeda
dengan amnesti, adalah pengampunan. Pembedaan dua istilah ini amat
diperlukan untuk membedakan keperluan bertindak terhadap kejahatan
atas kedaulatan bangsa dan kejahatan-kejahatan politik. Ini jelas
berbeda dengan keperluan memaafkan kejahatan untuk perdamaian sebuah
bangsa.

Nier mengambil contoh penggunaan secara benar atas amnesti oleh
Presiden Amerika Serikat Andrew Johnson pada tahun 1865. Saat itu ia
membebaskan hukuman para bekas tentara Konfederasi yang menyatakan
sumpah kesetiaan kepada AS. Para tentara tersebut telah memberontak
melawan AS dan tentu hak prerogatif AS untuk menghapuskan kejahatan
mereka demi kepentingan rekonsiliasi nasional.

Pada masa kini, justru terbalik. Negara menggunakan amnesti bukan
untuk menghapuskan atau melupakan kejahatan atas kedaulatan negara-
oleh mereka yang melakukan upaya untuk melepaskan diri dari atau
menjatuhkan pemerintahan-melainkan untuk menghapus dan melupakan
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara sendiri
terhadap rakyatnya.

Pungguk rindukan bulan
Inilah yang juga dianut oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Produk politik ini memakai
makna amnesti bukan dalam pengertian yang benar. Oleh karena itu, tak
semestinya ia digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat
HAM pada masa lalu. Termasuk kasus penculikan dan penghilangan secara
paksa terhadap para aktivis era 1997-1998.

Lalu apa yang harus dilakukan? Sesuai hukum yang berlaku, perkara
ini harus dilanjutkan dengan penyidikan, kemudian diajukan ke
pengadilan. Tak boleh ada kesalahan atau kejahatan yang tak dihukum.

Tentu perlu adanya keputusan presiden bersama DPR bila ingin
pengadilan ad hoc kembali digelar, seperti kasus Timor Timur dan
Tanjung Priok. Akan tetapi, bila ingin melihat kasus ini sebagai
kejahatan yang terus berlanjut (continous crimes), perlu ada
terobosan. Yakni, memakai pengadilan HAM yang bukan ad hoc, sehingga
tak perlu lewat persetujuan politik DPR. Lihat saja sikap DPR atas
tragedi Trisakti 1998, Semanggi II 1999, serta tragedi Semanggi I
yang 13-14 November ini genap delapan tahun. Rasanya, berharap
kebaikan hati politisi dalam situasi batin politik hari ini bagaikan
pungguk rindukan bulan.

Tuntutan utama korban dan keluarga adalah dikembalikannya mereka
yang hilang, dan tentu saja dalam keadaan hidup-hidup. Sudah terlalu
lama mereka menanti dan mencari orang-orang tercinta untuk kembali
hidup bersama. Sayang, langkah ABRI membentuk DKP pada tahun 1998 dan
langkah Komnas HAM sama sekali belum menyentuh soal ini. Pangkal
soalnya bukan pada ini tugas instansi mana, tetapi bagaimana
kehidupan setiap makhluk manusia dijaga.

Masih adakah para pemimpin bangsa yang berani melawan dalang para
penculik itu demi membela rakyatnya yang kehilangan anak bertahun-
tahun? Entahlah. Yang jelas ini akan menjadi pengalaman pertama
sekaligus ujian pada masa pemerintahan saat ini.

Usman Hamid

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras)