Penegakan HAM Masih Buruk

Perjuangan Selalu Dimulai dari Korban

Jakarta, Kompas – Meskipun meratifikasi banyak konvensi tentang hak asasi manusia atau HAM, seperti hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, hingga kini pembelaan dan penegakan HAM di Indonesia masih buruk. Kondisi itu dilihat dari minimnya implementasi konvensi itu oleh pemerintah.

Dalam diskusi yang digelar Rabu (9/5) di Jakarta, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) Mugiyanto mencontohkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadopsi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional yang tumpul. Pengadopsian yang setengah-setengah itu justru membuat UU tersebut menjadi perisai impunitas.

Menurut Mugiyanto, itu tampak pada proses pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Terdakwa yang terlibat dalam kasus itu justru bebas. "Komitmen Indonesia bersama masyarakat internasional untuk melawan impunitas hanya jargon," tutur Mugiyanto.

Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Taufik Basari sependapat, penegakan HAM di Indonesia masih buruk. Pemerintah sering kali hanya berhenti pada sikap formal.

Untuk itu, menurut Mugiyanto, langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah meratifikasi Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional. Ratifikasi itu berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan HAM.

Apalagi selama ini, lanjut Mugiyanto, semangat pengadilan HAM di Indonesia adalah melindungi pelaku dan bukan demi keadilan bagi korban. Selain itu, ratifikasi atas Pengadilan Kriminal Internasional bisa menjadi dasar kuat mengamandemen UU No 26/2000 yang selama ini kurang efektif dan tak memenuhi standar internasional.

"Masyarakat pun dapat menggunakannya sebagai acuan untuk mengukur konsistensi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atas ucapan dan tindakannya dalam penegakan HAM dan keadilan," kata Mugiyanto.

Menanggapi hal itu, Kepala Subdirektorat Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Direktorat HAM Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Suryana Sastradiredja menegaskan, pemerintah punya rencana. Deplu menyiapkan diri sebagai inisiator atas ratifikasi Pengadilan Kriminal Internasional itu.

Namun, kata Suryana, langkah untuk itu masih proses. Dalam kesempatan itu, Koordinator Coalition on International Criminal Court (CICC) Regio Asia Pasifik, Evelyn Serano, menyerahkan surat dukungan kepada Indonesia untuk segera meratifikasi Pengadilan Kriminal Internasional.

Dimulai dari korban

Sementara dalam diskusi bertemakan "Mengungkap Tragedi Trisakti 12 Mei 1998" di Jakarta, Rabu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menuturkan, gerakan pemajuan HAM selalu dimulai dari kedukaan korban dan keluarganya serta tidak pernah dari pembuatan peraturan oleh pemerintah. Tonggak pencapaian perjuangan pemajuan HAM akan terjadi saat pelaku dihukum.

"Sampai sekarang duka keluarga korban Trisakti dan peristiwa lain, seperti penghilangan paksa aktivis, belum berakhir. Ini bukan hanya karena mereka masih sedih akibat kehilangan anak atau kerabatnya, tetapi terlebih karena belum ada kepastian penyelesaian kasus itu," katanya.

Saking beratnya duka itu, lanjut Usman, ayah Elang Mulya Lesmana—seorang korban penembakan di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, bersama tiga korban tewas lainnya—Bagus Yoga sampai depresi berat. Bahkan, sebelum meninggal, ia masih berguman tentang anaknya.

Dalam peristiwa itu, empat polisi memang dihukum dua sampai lima bulan penjara pada 31 Maret 1999. Tetapi, kata Usman, pengadilan itu amat tidak layak.

Tetty Herati, ibu Elang, mengikhlaskan kematian anaknya. Namun, dia menegaskan, Elang mati karena ditembak, bukan terkena peluru nyasar. (jos/nwo)