Gerakan Diam untuk Menolak Lupa

Maria Hartiningsih

"Saya bilang, yang kita lakukan ini adalah kerja panjang yang mungkin baru berdampak pada generasi berikutnya. Tugas kita adalah menunjukkan kepada anak-anak kita bahwa penguasa cenderung menutup telinga, mata, dan hatinya terhadap pelanggaran berat hak-hak asasi manusia; dan bahwa bangsa ini telah mengingkari sejarahnya sendiri."
(Seorang keluarga korban)

Kamis 16 Agustus 2007 adalah Kamis yang khusus. Hari itu hanya sehari menuju peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-62 Republik Indonesia. Hari itu juga merupakan kali ke-30 Aksi Kamisan yang dilakukan korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban.

Sumarsih (54) menancapkan bendera kecil bertuliskan "SBY Jangan Diam Saja" di puncak nasi tumpeng yang sudah selesai dihias dengan lauk-pauknya.

Bendera itu seperti memimpin bendera-bendera kecil di sekeliling tumpeng yang bertuliskan kasus-kasus pelanggaran berat hak-hak asasi manusia yang tidak pernah diselesaikan oleh empat pemerintahan di negeri ini setelah reformasi tahun 1998. Bahkan, tahun 2004 terjadi pembunuhan terhadap Munir, aktivis kemanusiaan yang memberikan hidupnya untuk mengadvokasi kasus-kasus tersebut.

Sumarsih menarik napas panjang. Ibu dari Wawan, korban peristiwa Semanggi I pada 13 November 1998, itu seperti baru saja menyelesaikan tugas yang berat. "Dada saya masih suka sesak," ujarnya pelan. Situasi itu biasanya datang ketika ingatan akan Wawan mengental lagi.

Bagi Sumarsih beserta seluruh korban dan keluarganya, waktu hanya ukuran bilangan, tetapi ingatan akan peristiwa yang melantakkan dan kemudian mengubah hidup secara drastis itu seperti baru kemarin terjadi.

Itulah yang memberinya kekuatan untuk terus menuntut pengusutan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di negeri ini. Kasus Wawan adalah salah satunya. "Saya tidak tahu apakah masih relevan bicara Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia," ujarnya melanjutkan.

Sumarsih pula yang memasak seluruh lauk-pauk untuk tumpeng. Bersama 40-an korban dan keluarga korban, ia berpakaian hitam; warna duka abadi, sekaligus warna bayangan yang menyertai gerakan setiap makhluk hidup.

Rombongan itu secara terpisah naik kendaraan menuju Jalan Merdeka Utara, di seberang Istana Negara, tempat mereka biasa duduk, diam, selama satu jam, setiap Kamis, dengan membawa foto para korban dan tema tertulis yang hendak diangkat dalam setiap aksi. Aksi diam itu seperti monumen hidup ketika tak satu pun dibuat secara resmi untuk mengingatkan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.

Akan tetapi, aksi Kamis kemarin berbeda karena kawasan Istana Negara dan sekitarnya telah disterilkan untuk upacara peringatan HUT kemerdekaan. Berkompi-kompi pasukan keamanan berkumpul di setiap sudutnya.

Seperti dikatakan Sumarsih, mereka sebenarnya sempat diminta untuk memahami posisi aparat dengan membatalkan aksi tersebut. Akan tetapi, para korban dan keluarganya tampaknya tidak ingin kehilangan momentum itu.

Aksi diam hanya berlangsung setengah jam, kemudian bubar. Tak lama kemudian, Sumarsih menerima pesan pendek di telepon selulernya, berisi permintaan maaf dengan kalimat yang terasa penuh simpati dari petugas yang terpaksa membubarkan aksi tersebut.

Melawan lupa

"Yang kami lakukan ini adalah salah satu upaya melawan lupa," ujar Suciwati. Istri almarhum Munir itu adalah salah satu pemrakarsa aksi tersebut. "Korban dan keluarga korban seperti kehabisan energi, psikologis, ekonomi; dan semuanya sepertinya tidak menghasilkan apa-apa."

Suci melanjutkan, "Tetapi, perjuangan tak boleh berhenti. Kalau korban diam, semuanya lewat dan peristiwa serupa terus terjadi. Kita juga tidak bisa menyandarkan perjuangan ini pada pihak lain. Kita harus berjuang sendiri."

Perjuangan menguakkan penggelapan yang digelapkan itu mungkin tidak mengenal batas waktu, seperti dikatakan Endang, sebut saja begitu, yang kakeknya menjadi korban Tragedi 30 September. Negara menjadi pelaku impunitas karena tidak menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia.

Suci dan keluarga korban difasilitasi oleh Kontras, organisasi nonpemerintah yang mendampingi korban orang hilang dan tindak kekerasan negara. Mereka mengumpulkan para korban dan keluarganya. Beberapa keluarga korban mulai berani muncul. Endang adalah satu di antaranya.

"Mulanya saya hanya mendengarkan," ujarnya. Kesadaran yang dibangun dalam setiap perjumpaan membuat Endang hampir tidak pernah absen dalam aksi Kamisan.

Aksi itu diinspirasi oleh aksi serupa setiap Selasa di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina. Kegiatan itu dimulai tahun 1977, diprakarsai para ibu dari orang-orang muda korban penculikan aparat junta militer di negeri itu. Mereka menggemakan suara yang tak pernah terdengar di ruang politik Argentina: meminta pertanggungjawaban negara.

Para perempuan paruh baya itu sebelumnya tak pernah ikut politik, bahkan tak pernah berpikir tentang politik. Nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan ditempa melalui pengalaman personalnya. Mereka menggendong nilai-nilai itu ke dalam sistem yang melakukan teror terhadap warganya sendiri selama Dirty War dan sesudahnya karena pemerintah baru tetap mempertahankan militer yang menolak bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia di negeri itu.

Para perempuan itu merebut ruang politik dari dominasi laki-laki yang hanya mengenal kata kalah dan menang, dan cenderung melakukan apa pun terhadap yang kalah. Transformasi pun terjadi. Mereka bahkan menginterpretasikan politik dengan cara pandang yang sama sekali baru dan merombak secara revolusioner konsep peng-ibu-an dari yang pasif di wilayah pelayanan untuk mendukung negara menjadi konsep yang melawan sistem yang korup dan kejam.

Berdasarkan catatan resmi dari Argentina, lebih dari 1.500 orang muda dan mereka yang dianggap "berbahaya" dihilangkan. Jumlah korban tak dapat diperbandingkan, sebagaimana penderitaan. Pun angka tak mampu menggambarkan situasi-situasi personal keluarga yang ditinggalkan dan dampak jangka panjang dari peristiwa itu.

Menjadi saksi

Aksi Kamisan kemarin dihadiri oleh aktivis kemanusiaan Sandyawan Sumardi, aktivis dan pengamat politik Fajroel Rahman serta dua anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang baru terpilih, yakni Ridha Saleh dan Syarifudin Simeleu.

"Perjuangan kemanusiaan adalah perjuangan menolak lupa," ujar Sandyawan.

Di San Francisco, AS, misalnya, dilakukan upaya untuk tidak melupakan tragedi Tiananmen di Beijing tahun 1989. Hal yang sama, lanjut Sandyawan, juga dilakukan di berbagai negara di Amerika Latin. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tetap diperingati setiap tahun, selain pembangunan monumen untuk mengingatkan agar kekejian seperti itu tidak terulang lagi.

Di hadapan gerakan diam para korban dan keluarganya itu, pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti tak berdampak. Gerakan akar rumput seperti ini adalah salah satu jawaban atas tindakan sewenang-wenang tersebut.

Dan, kita adalah saksi, yang, mengutip Elie Wiesel, korban kekejaman Nazi, harus terus mencatat agar pelaku kejahatan tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir.