Bisnis Militer Dibalik Penggusuran Rumah Purnawirawan di Makassar

Bisnis Militer Dibalik Penggusuran Rumah Purnawirawan di Makassar

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta warga komplek perumahan Purnawirawan (Rumpun) Makassar, meminta Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk menghentikan tindakan Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Arief Budi Sampurno, yang melakukan upaya pengosongan paksa terhadap rumah purnawirawan yang terjadi di Makassar. Kami mengidentifikasikan pengosongan terhadap 2500 rumah purnawiran (luas kl.90 Ha) yang diikuti dengan tindak kekerasan itu kental kepentingan bisnis. Komitmen TNI untuk tidak lagi berbisnis harus dapat diuji salah satunya dengan dengan menghentikan pengosongan dan membongkar motif dibalik itu.

Dalam catatan warga setidaknya ada 18 kali tindakan pengosongan paksa yang melibatkan aparat Kodam dalam jumlah besar yang diikuti dengan tindak kekerasan. Selain itu intimidasi yang dilakukan oleh pihak Kodam VII Wirabuana juga telah mengakibatkan tekanan psikis yang berakibat kematian terhadap 20 purnawirawan atau keluarganya.

Indikasi adanya kepentingan bisnis dibalik tidakan penggusuran yang dilakukan oleh Kodam Wirabuana diatas dapat dilihat dari gencarnya ruilslag yang dilakukan Kodam VII selama 2 tahun terakhir. Pada tahun 2006 saja berlangsung 4 kali ruilslag terhadap BEKANG (luas kl. 5000/m2), kantor Kodim (kl.5000/m2), Kaveleri (kl.15 Ha), dan komplek LINUD 700 (kl.20 Ha). Keterlibatan bisnis “keluarga Yusuf Kalla” dalam ruilslag (kantor Kodim dan Linud 700) ini juga perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat yang makin meluas.

Indikasi lain dari kepentingan bisnis Kodam Wirabuana ini juga terlihat dari berbagai modus praktek yang digunakan oleh Kodam bagi prajurit, kesatuan-kesatuan TNI atau kalangan bisnis maupun pribadi yang ingin memanfaatkan rumah para purnawirawan tersebut. Misal, terhadap rumah yang sudah kosong namun belum dipesan oleh prajurit, maka ditawarkan ke kesatuan-kesatuan lain untuk dijadikan mess/rumah perwakilan, dengan harga yang bervariasi berdasarkan taksiran rumah tersebut. Sementara bagi prajurit yang hendak mendapat rumah dinas yang saat ini dikuasai oleh purnawirawan, para prajurit itu dikenakan biaya berdasarkan taksiran nilai rumah. Setelah adanya kesepakatan harga antara prajurit dan Kodam maka rumah tersebut akan dikosongkan oleh Kodam dengan pengerahan pasukan. Namun, bila rumah kosong tersebut belum ditempati oleh prajurit, maka rumah tersebut ditawarkan kepada pihak swasta/pribadi baik untuk kepentingan tempat tinggal maupun usaha.

Selama ini pihak Kodam selalu menggunakan alasan pengosongan rumah para purnawirawan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah 700 prajurit. Selain itu Kodam juga mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk pengamanan asset. Dan mensterilkan kompleks tersebut dari penghuni yang tidak berhak. Dengan alasan ini pihak Kodam menolak memberikan ganti rugi terhadap para purnawirawan dan keluarganya.

Padahal disisi lain para purnawirawan ini ketika masih menjadi prajurit aktif dikenakan tabungan wajib perumahan yang hingga saat ini tidak pernah ada kejelasan realisasinya. Ini artinya penguasaan para purnawirawan terhadap komplek perumahan itu seharusnya dapat dilihat sebagai bentuk jaminan atau kompensasi dari ketidakjelasan terhadap tabungan wajib perumahan mereka terdahulu. Disisi lain Peraturan Pemerintah No.31/2005 sendiri telah mengatur hak warga untuk mengajukan kepemilikan terhadap rumah atau tanah yang telah ditempati selama 10 tahun. Hal serupa juga diatur dalam UU Pokok Agraria. Dan tanah diatas rumah itu sesungguhnya bukan merupakan tanah TNI, tanah tersebut hingga saat ini masih berstatus tanah negara. Sementara atas rumah itu sendiri, selama ini pihak Kodam tidak pernah mengucurkan dana bagi perbaikan maupun perawatan.

Secara hukum, baik UU TNI, UU Agraria apalagi UUD 1945 langkah kodam VII Wirabuana tidak bisa dibenarkan dan tidak bijaksana. Bahkan langkah ini melanggar SKEP KSAD tentang Kewajiban Prajurit TNI menghormati HAM.

Selama ini Pemerintah dan DPR tidak menjamin kesejahteraan TNI karena itu menjadi wajar bila ratusan purnawirawan TNI di Makasar dan dimanapun diberikan rumah yang layak. Pemberian ini tidaklah berlebihan karena ini adalah kebutuhan mendasar yang dibutuhkan oleh para Purnawirawan TNI.

Berdasarkan hal tersebut diatas, KontraS dan Forum Warga Peduli Rumah Negara (FWPRN) mendesak Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk menghentikan tindak kekerasan dan pengosongan yang dilakukan oleh Kodam VII Wirabuana. Kami juga meminta kepada Pemerintah untuk lebih dahulu mengembalikan tabungan atau memberikan relokasi yang layak kepada para purnawirawan tersebut, sebelum melakukan pengosongan, mengingat para purnawirawan itu sebelumnya telah memiliki tabungan wajib perumahan yang hingga saat ini belum terealisasi. Kami mendesak DPR RI untuk mengambil langkah-langkah efektif dan terbaik bagi penyelesaian kasus ini secara adil.

Jakarta, 1 September 2007

Kepala Div. Pendampingan Hukum KontraS
Abusaid Pelu

Perwakilan Purnawirawan/Keluarga Purnawirawan
1. Letkol Purn. Dj. Gultom
2. Peltu Purn. H. Kasman
3. Kol. Purn. Asmar
4. Ir. Herman T
5. Tony Tawas
6. Jony Gunawan
7. P. Pice, SH