Polisi sipil seyogyanya bermakna sebagai sekelompok orang sipil yang dipersenjatai untuk melindungi masyarakat dalam keadaan damai. Sebagai seorang sipil polisi seharusnya sadar betul bahwa yang dihadapi dalam pekerjaannya adalah manusia yang berkehendak untuk diperlakukan sebagai manusia, bukan barang, dan adalah sesuatu yang kontraproduktif dengan jati diri yang sipil tersebut jika kemudian polisi belaku seolah-olah manusia yang dihadapi dalam pekerjaannya adalah barang. Jati diri sipil ini sesungguhnya telah termaktup dalam undang-undang No 2/2002 tentang kepolisian, yang menurut Kapolri Jendral Sutanto sebagai simbol dari reformasi kepolisian. Secara garis besar undang-undang ini ingin menampilkan institusi polisi sebagi the strong hand in society tetapi sekaligus the soft hand of society yaitu satu institusi yang memiliki kemampuan menegakkan hukum secara tegas tetapi tetap menghargai masyarakat sipil dengan semua haknya yang melekat sebagi warga negara.
Namun apa yang terjadi di lapangan sangat bertolak belakang, harapan Undang-Undang No 2/2002 ini sepertinya sangat jauh dari kenyataan. Sebab dari amatan KontraS Sumatera Utara sejumlah tindak kekerasan masih mewarnai tugas kepolisian sehari-hari. Pada periode Januari-Oktober 2007 KontraS Sumatera Utara mencatat ada 80 kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian Sumatera Utara. Angka ini naik 48 % jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2006 yakni hanya 61 kasus.
Harapan undang-undang ini terasa semakin jauh ketika kita menyaksikan ternyata pelaku-pelaku kekerasan ini masih bebas berkeliaran menghirup udara segar. Harus diakui memang, bahwa ada sebagian dari pelu kekerasan ini yang diadili, namun sayangnya mereka hanya diadili di tingkat pengadilan kode etik dengan hukuman yang sifatnya administratif, sedangkan yang lainnya bebas tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuataannya. Sebut saja misalnya Anggota Brimob yang melakukan penembakan terhadap masyarakat Gebang yang menyebabkan satu orang meninggal dunia, satu orang cacat permanen, dan yang lainnya luka ringan. Demikian juga dengan pelaku penembakan terhadap Syamsir Siregar sampai hari ini belum ada yang diadili, yang kemudian memberikan rasa keadilan pada korban.
Padahal pasal 71 dan 72 undang-undang No 39/1999 tentang HAM, jelas sudah dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia. Kewajiban tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya. Jika bercermin dari Undang-undang ini, maka negara tidak hanya diwajibkan mengadili pelaku, tetapi juga melakukan pemulihan (reparasi pada korban dan keluarga korban).
Bahkan untuk persolaan reparasi Komisi HAM PBB telah mengisyaratkan negara untuk secara sungguh-sungguh menjalankannya. Dalam Basic principil and guidelines on the right to a remedy an reparation. Pemulihan (reparasi) ini diterjemahkan oleh Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Ada empat bentuk reparasi yang diatur oleh hukum internasional; Restitusi, Kompensasi, Rehabilitasi, dan jaminan bahwa pelanggaran HAM tersebut tidak lagi berulang. Aturan ini juga menegaskan bahwa subjek yang harus bertanggung jawab atas kejadian baik yang dilakukan melalui tindakan (by Commission) atau pembiaran (by omission) adalah negara (state actor).
Bersama dengan siaran pers ini KontraS Sumatera Utara Bersama Korban dan Kelurga Korban menuntut negara agar segera :
Demikianlah siaran pers ini kami perbuat untuk menjadi perhatian dari semua pihak. Dan dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait. Terima kasih.
Medan, 07 November 2007
Diah Susilowati SH
Koordinator KontraS Sumut