Warga Negara Berhak Tolak Wajib Militer

TEMPO Interaktif, Jakarta:Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), Usman Hamid, Rancangan Undang -Undang Komponen Cadngan berpotensi melanggar hak azasi manusia. "Dalam konvenan hak-hak sipil internasional disebutkan,
dalam konteks bela negara, warga berhak menolak untuk angkat senjata," ujarnya dalam diskusi yang digelar Radio Trijaya di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu
(10/11).

Usman justru mempertanyakan apakah kewajiban bela negara harus dengan ikut dalam komponen cadangan yang di dalamnya dilatih kemiliteran. "Kesan di masyarakat,
komponen ini adalah cadangan untuk TNI. Kalau menolak akan diancam hukuman setahun lebih," ujarnya.

Dalam draf RUU yang dibuat Direktorat Jendral Potensi Pertahanan, pasal 42 sampai 49 disebutkan bahwa bagi warga negara yang menolak ikut dalam komponen cadangan,
diancam hukuman maksimal satu tahun penjara. Bahkan bagi perusahaan yang menghalang-halangi karyawannya menjadi anggota komponen ini, pimpinan perusahaannya diancam hukuman dua tahun penjara. "Karena ini bukan kewajiban, maka pasal itu harus dihapuskan," ujar Usman.

Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letnan Jendral (Purnawirawan) Agus Widjojo, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini, mengatakan kalau alasan pembentukkan
komponen adalah bela negara, maka tidak harus dengan mewajibkan warganya dilatih kemiliteran. "Di negara lain, kalau tidak memenuhi wajib militer, warga negara harus
ikut wajib sosial namanya," ujar anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste ini.

Anggota Komisi Pertahanan DPR, Happy Bone Zulkarnaen, justru mempertanyakan urgensi dibuatnya aturan ini. Menurut politikus dari Partai Golkar ini, sebaiknya masalah pertahanan diprioritaskan pada pemenuhan kesejahteraan prajurit. Pada saat ini pemerintah baru bisa membayar uang lauk pauk Rp 35 ribu perhari dari yang seharusnya Rp 80 sampai 100 ribu. "Ini yang harus diprioritaskan dulu," ujarnya.

Padahal, kata dia, untuk membentuk komponen cadangan itu, perlu anggaran yang diperkirakan tidak sedikit. "Di sisi lain anggran pertahanan yang diperlukan Rp 100
triliun, yang baru bisa dipenuhi Rp 33 triliun. Mau tidak mau harus ada prioritas," ujarnya.

Direktur Jendral Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan, Budi Susilo Soepandji mengatakan bahwa aturan ini penting untuk dibuat pada saat ini. "Meski digunakan
dalam waktu yang panjang, tapi harus disiapkan sejak dini," ujarnya.

Dengan begitu, kata Budi, jika ancaman pertahanan benar-benar datang, perangkat hukumnya sudah siap. "Pemerintah bisa digugat oleh masyarakat kalau tidak menyapkan aturan ini," ujarnya.

Dia meminta agar masyarakat jangan khawatir dengan aturan ini. Menurutnya, proses pembuatan rancangan ini masih harus melewati tiga sampai empat kali pertemuan.

"Setelah itu ada sinkronisasi dengan aturan lain, sebelum diserahkan ke DPR," ujarnya. Raden Rachmadi