Kontras Aceh: Kekerasan Naik, Kontrol Perdamaian Lemah

Banda Aceh – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh menilai, aksi kekerasan meningkat sepanjang tahun 2007 dibanding tahun sebelumnya. Diduga, hal ini
disebabkan lemahnya kontrol terhadap perjanjian damai.

Ditambah lagi, konsep reintegrasi yang sudah salah sejak awal. Sedikitnya, dalam kurun waktu 2007, tercatat ada 51 kasus tindak kekerasan.

"Jumlah ini meningkat jika kita bandingkan dengan tahun sebelumnya dalam periode yang sama. Dalam monitoring dan investigasi kita, hanya ada 21 kasus dengan 32 korban. Sedangkan tahun 2007 mencatat, ada 79 korban dengan 51 kasus," terang Koordinator Kontras
Aceh, Asiah Uzia dalam jumpa pers di kantor Kontras Aceh, Banda Aceh, Senin (7/01/2008).

Pemicu lain dari peningkatan angka aksi kekerasan ini disebutkan Asiah karena proses hukum yang masih tidak fair dan cenderung diskriminatif. Apalagi, tidak ada sistem peringatan dini untuk mencegah konflik berulang.

"Salah kaprahnya proses reintegrasi sejak awal karena reintegrasi hanya dimaknai sebagai sebuah proses kompensasi. Di mana para mantan kombatan GAM diberi bantuan dana," tukas Asiah. Belum lagi, data korban konflik yang terkadang tidak sesuai karena hanya
berdasarkan verifikasi dari kepala desa.

Hal ini menurut Kontras Aceh, memicu hilangnya kemandirian para mantan kombatan, yang kini tergabung dalam organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA). Padahal harusnya, reintegrasi juga harus dimaknai sebagai sebuah proses reintegrasi sosial. Dimana para mantan kombatan yang biasanya bergerilya di hutan-hutan harus dibina kembali untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang non kombatan.

"Proses ini memang tidak mudah. Tapi setidaknya harus dilakukan pemerintah dan juga para pihak yang menjaga proses perdamaian ini. Misalnya, dalam berbagai kasus, polisi atau tentara dan juga GAM tidak memandang satu sama lainnya masih sebagai musuh. Karena jika begini, akan sulit sekali menanamkan kepercayaan," tutur Asiah.

Dalam beberapa kasus yang diinvestigasi Kontras Aceh -yang melibatkan mantan kombatan GAM- umumnya para mantan kombatan tidak mau bersaksi di kepolisian karena mereka tidak percaya dengan lembaga kepolisian. Hal lain lagi, kasus-kasus yang melibatkan TNI juga
terkesan diselesaikan lewat institusi TNI sendiri. Padahal seharusnya kasus-kasus tersebut ditangani pihak kepolisian.

"Polisi bukan tidak mampu menyelesaikannya. Tapi terkesan dibiarkan, karena beberapa kasus yang memiliki latar belakang kekuatan politik tertentu," bebernya.

Dicontohkan Kontras Aceh, seperti kasus teror bom yang terjadi paska Pilkada di Aceh
Tenggara.

KKR dan Pengadilan HAM Tak Kunjung Dibentuk

Tidak kunjung dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM juga membuat proses perdamaian yang tengah digagas terasa jalan di tempat. Keberadaan Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) yang dibentuk di bawah Menkopolkam sebagai
pengganti Aceh Monitoring Mission (AMM) ternyata tidak berfungsi efektif.

Padahal, desakan korban konflik dan korban pelanggaran HAM atas proses hokum dan keadilan semakin gencar dan menguat. Kejahatan masa lalu menurut Kontras Aceh
tidak bisa dilupakan begitu saja dan harus segera diselesaikan.

"Kita sekarang ini sedang melakukan penguatan kepada para masyarakat korban konflik. Setidaknya kita dapat mencegah dan memberi masukan ke mereka untuk mencegah
terjadinya aksi kekerasan di antara mereka," ungkap Asiah.

Sebab, sambung Asiah, sulit untuk mereduksi aksi-aksi kekerasan di masa mendatang jika para penegak hukum dan para pihak yang menjaga perdamaian tidak bekerja maksimal. ( ray / djo )