Hak Asasi Manusia: Negara Cenderung Abaikan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Tahun 1965

Jakarta, Kompas – Terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik korban serta keluarga korban kasus kekerasan politik tahun 1965, negara cenderung mengabaikannya. Kecenderungan itu, tutur Komisioner Komisi Nasional HAM Yosep Adi Prasetyo, Rabu (16/1) di Jakarta, tampak dari belum dijawabnya surat Komnas HAM kepada Presiden terkait dengan kasus itu.

Padahal, kata Yosep, korban dan keluarga korban memerlukan rehabilitasi atas hak mereka. Kecenderungan pemerintah itu selama ini disebabkan kekerasan politik tahun 1965 termasuk kasus yang sensitif.

Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Usman Hamid mengemukakan, kecenderungan terabaikannya penyelesaian kasus itu lebih disebabkan konfigurasi politik di pemerintahan tidak berimbang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki legitimasi kuat untuk membuat keputusan, tetapi sayang dukungan terhadapnya di parlemen sering kurang memadai.

Usman melihat, ada upaya Presiden untuk menjawab kebutuhan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tahun 1965. Namun, sering kali upaya itu terhenti. Kekuatan politik mayoritas diduga menjadi penghalang dari upaya itu. Apalagi dalam ranah sejarah, kekuatan politik mayoritas itu merupakan bagian integral dari rezim yang melahirkan kekerasan itu.

Bagi Usman, Presiden Yudhoyono sebenarnya memiliki kesempatan dan kekuatan lebih dibandingkan dengan pendahulunya, terutama mantan Presiden Abdurrahman Wahid, untuk merampungkan kasus kekerasan itu. Namun, sayang hingga saat ini ia belum mengoptimalkan kekuatan politik dan dukungan politik dari rakyat.

Meskipun demikian, lanjut Usman, kondisi itu seharusnya tidak menyebabkan pemerintah berdiam diri. Di sisi lain, korban atau keluarga korban kasus 1965 pun berharap pemerintah mau membuat pelurusan sejarah dan pemulihan hak mereka sebagai warga negara.

Subur, salah seorang korban, berharap pemerintah tak mengabaikan korban. Ia mengaku tidak pernah memperoleh penjelasan mengapa dulu ia dipenjara. Tuduhan bahwa ia kader Partai Komunis Indonesia (PKI) tak pernah dibuktikan dalam pengadilan. "Saya ditangkap karena saya dianggap PKI," tuturnya.

Anggapan itu menyebabkan dia telantar, hingga kehilangan keluarga. (JOS)