Korban Talangsari Desak Komnas HAM

BANDAR LAMPUNG, SELASA — Korban pembunuhan Talangsari 7 Februari 1989 mendesak Komnas HAM untuk tetap melanjutkan proses hukum, peradilan, pemulihan hak-hak korban, serta penuntasan kasus. Itu karena selama 19 tahun kasus tersebut seolah ditutup dan tidak ada kejelasan penyelesaian.

Suroto, salah satu saksi korban saat pertemuan dengan wartawan menjelang persiapan acara peringatan 19 Tahun Peristiwa Talangsari 1989, Selasa (5/2) di Bandar Lampung mengatakan, selama 19 tahun ia menerima stigma yang tidak baik dari masyarakat.

Selain itu, akibat pembantaian massal yang diotaki kalangan militer saat orde baru, menjadikan Suroto dan beberapa saksi korban hidup tersisihkan dan tidak mendapat hak hidup semestinya. “Akses sekolah, pekerjaan, hingga hak-hak lainnya sebagai warga negara sampai saat ini tidak kami dapatkan,” kata Suroto.

Peristiwa Talangsari sendiri merupakan peristiwa pembunuhan terencana yang menyebabkan 167 warga Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur tewas terbunuh, 88 warga hilang tanpa jejak, 164 warga ditangkap dan ditahan, serta 48 warga diadili secara tidak adil.

Peristiwa Talangsari bermula dari sebuah pengajian yang dipimpin Warsidi, warga Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur pada tahun 1980-an. Pada setiap pengajian yang diikuti warga dusun itu, pengajian diketahui banyak mengkritik pemerintah orde baru yang tidak bisa menyejahterakan masyarakat. Selain itu, pengajian juga banyak mengkritik azas tunggal Pancasila sebagai penyebab kemelaratan bangsa Indonesia.

Berdasarkan pembicaraan dengan korban Talangsari diketahui, pemerintah orde baru menelisik dan kemudian merencanakan pembantaian terhadap warga dusun. “Semua habis. Hingga kini dusun kami tidak bisa berkembang,” kata Suroto.

Krisbiantoro, Divisi Impunitas Kontras saat pertemuan dengan wartawan mengatakan, kasus kemudian dibiarkan begitu saja. Itu dibuktikan dengan adanya upaya islah oleh Korem 043/Garuda Hitam dengan DPRD Lampung Timur. Serta menyatakan kasus tersebut sebagai pertempuran biasa antara warga dan aparat militer. “Ini tidak betul. Kasus pelanggaran HAM berat itu harus diusut tuntas,” katanya.

Untuk itu, demi penegakan hukum yang adil bagi semua masyarakat, Kontras dan korban Peristiwa Talangsari mendesak keseriusan Komnas HAM melakukan penyelidikan pro yustisia kasus Talangsari sesuai UU No 26 Tahun 2000. Pasalnya, penyelidikan yang sudah dilakukan sejak Juni 2007 hingga sekarang masih berkutat pada pemeriksaan saksi korban. Hingga saat ini juga belum ada kejelasan untuk memeriksa pelaku, tempat-tempat penahanan dan penyiksaan, serta dokumen-dokumen yang relevan dengan kasus Talangsari.

Dengan kondisi demikian, korban Talangsari juga menegaskan enggan untuk memaafkan almarhum mantan Presiden Soeharto. Korban menyatakan hal itu tidak mungkin dilakukan selagi proses hukum atas Soeharto juga tidak jelas. Demikian juga kontroversi mengenai pemberian gelar pahlawan, korban Talangsari menyatakan tidak akan mendukung.

Pemerintah sebaiknya tidak terjebak pada “politik pemaafan“ dan gelar pahlawan bagi Soeharto. Tindakan reaktif tersebut hanya akan membunuh keadilan bagi korban. Pemerintah juga sebaiknya tetap memproses secara hukum kroni Soeharto. Hal tersebut penting bagi keberlangsungan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.