Kasus Talangsari, Komnas HAM Panggil Pejabat Militer

SUKADANA, KAMIS – Komnas HAM segera melakukan pemeriksaan terhadap pejabat militer yang diduga terlibat dengan kasus Talangsari 1989. Komnas HAM sudah mengirim surat panggilan kepada para pejabat militer tersebut dan kini sedang menunggu respons mereka.

"Akan tetapi, apabila mereka tidak juga merespons kita, kita bisa memakai hak pemanggilan paksa atau hak subpoena yang kami miliki," kata anggota Komnas HAM untuk penyelidikan kasus Talangsari, Kabul Supriyadhie usai acara diskusi memperingati 19 tahun Peristiwa Talangsari di Dusun Talangsari III Desa Labuhan Ratu VIII Kecamatan Labuhan Ratu Lampung Timur, Kamis (7/2).

Selain dihadiri ratusan warga Talangsari, acara peringatan tersebut juga dihadiri pengurus Kontras, keluarga korban orang hilang Jakarta baik peristiwa Tanjung Priok ataupun kasus Trisakti Mei 1998, serta keluarga korban Peristiwa Talangsari.

Dalam peringatan tersebut Kabul mengatakan, tim Komnas HAM untuk penyelidikan kasus Talangsari merupakan tim keempat. Pada penyelidikan kali ini tim yang sudah bekerja sejak Januari 2008 tersebut selain menggunakan UU No.26 Tahun 2000 tentang penyelidikan pro yustisia atas peristiwa Talangsari, tim juga memakai UU No. 39 Tahun 1999 yang berisi mengenai pemanggilan paksa. "UU ini sebelumnya belum dipakai tim penyelidikan Talangsari pertama hingga ketiga," ujar Kabul.

Surat pemanggilan terhadap beberapa pejabat militer, baik yang berada di Lampung atau di Jakarta yang diduga terlibat dengan Peristiwa Talangsari sudah dikirimkan begitu tim selesai memeriksa 80 saksi korban. Tim tinggal menunggu respons pejabat militer tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, Kabul belum berani memastikan, peristiwa Talangsari termasuk peristiwa pelanggaran berat HAM atau tidak. Itu karena tim belum menemukan fakta-fakta lengkap serta unsur-unsur kejahatan lengkap dari kasus itu.

Padahal, dalam peringatan yang diisi dengan diskusi itu terungkap, korban tidak pernah lagi mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara atau sebagai pribadi. Yaitu setelah peristiwa pertempuran antara aparat militer dengan warga dan menewaskan sedikitnya 167 warga desa, 88 orang hilang, 164 orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, serta 48 orang diadili dengan tidak adil.

Amir, seorang korban menyatakan, karena kasus Talangsari, ia tidak mendapatkan haknya sebagai PNS. Pada 1989 usai penyerbuan militer ke Dusun Talangsari, tepatnya ketika ia mempertanyakan haknya, ia justru dipenjara selama 16 bulan di Korem 043/Garuda Hitam Lampung tanpa penjelasan. Ia juga dikeluarkan dari penjara tanpa surat bebas. Akibatnya, sebagai guru SD dengan golongan IIC ia mendapat skorsing dan pemotongan gaji.

"Gaji saya hanya Rp 700.000 dan dipotong separuh. Selama 15 tahun hingga pensiun pada 2005 saya mendapat gaji separuh. Karena tidak ada surat bebas saya tidak bisa memproses pemulihan hak saya," katanya.

Demikian juga dengan Parmo. Usai penyerbuan, ia justru ditangkap bersama tiga anaknya yang waktu itu berusia 18, 16, dan 14 tahun. Mereka berempat dipenjara selama lima tahun tanpa kejelasan. Sementara tanah dan harta mereka dirampas pihak militer. "Sudah dicap GPK, kami juga dibuat miskin. Kami minta pemerintah memulihkan hak-hak kami," ujarnya.

Sementara secara tampak mata, hak warga Talangsari yang tidak dipenuhi pemerintah diantaranya pembangunan infrastruktur jalan, listrik yang tidak kunjung masuk, air bersih, hingga fasilitas kesehatan. Selama 19 tahun warga Talangsari yang bertahan di dusun itu tidak mendapatkan hak-hak tersebut.

Hanya saja, bagi tim Komnas HAM, tampak pengungkapan-pengungkapan korban tersebut belum secara signifikan mengarah kepada pelanggaran berat HAM. Demikian juga dengan pengungkapan nasib korban setelah dicap GPK oleh militer. "Kami masih terus memeriksa dan menyelidiki kasus ini untuk bisa memastikan adanya pelanggaran HAM, untuk mendapatkan alat bukti, dan berbagai elemen yang mengarahkan ke pelanggaran HAM," katanya.

Komnas HAM berjanji secepatnya menyelesaikan kasus Talangsari tersebut. Sehinga begitu pemeriksaan selesai, Komnas bisa langsung memberi rekomendasi kepada kejaksaan.

Selain mempresentasikan peringatan dan tuntutan penyelesaian kasus dalam bentuk diskusi dan pemutaran film Munir "History" di Dusun Talangsari III, warga dan korban Talangsari juga akan melakukan aksi dan pembagian stiker Talangsari di Bundaran Gajah Bandar Lampung pada Jumat (8/2).

HLN